close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi satir./Foto geralt/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi satir./Foto geralt/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Minggu, 16 Februari 2025 06:16

Satir punya sisi gelap, lebih merusak reputasi seseorang

Dehumanisasi bisa terjadi dalam satir di media sosial.
swipe

Di era keterbukaan informasi digital, kita dibanjiri video YouTube atau TikTok yang viral, meme, hingga media sosial, satir menyebar di mana-mana. Membuat kita tertawa, menggumam, atau mengernyitkan dahi. Kita terkadang gembira menikmati itu. Namun, penelitian yang diterbitkan Journal of Experimental Psychology: General baru-baru ini mengungkap, konten satir lebih merusak reputasi seseorang ketimbang kritik langsung.

Penelitian yang dikerjakan Hooria Jazaieri dari Universitas Santa Clara dan Derek D. Rucker dari Universitas Northwestern itu menemukan, satir yang tampak tak berbahaya justru bisa merendahkan martabat seseorang dan merendahkan mereka.

“Kebanyakan orang menganggap satir hanya sekadar humor atau candaan, tetapi dehumanisasi ada dalam spektrum tertentu dan dapat mencakup hal-hal, seperti melupakan bahwa orang lain punya emosi dan perasaan yang rumit,” ujar peneliti Hooria Jazaieri, dikutip dari American Psychological Association.

“Kita dapat mengambil sedikit kritik humor dan membuat generalisasi tentang aspek lai dari seseorang, yang mungkin benar atau mungkin juga tidak.”

Para peneliti melakukan eksperimen terhadap 1.311 peserta yang menonton video di YouTube yang bersifat satir maupun kritis terhadap beberapa atlet, musisi, tokoh televisi, atau tokoh bisnis terkemuka. Misalnya, beberapa video menampilkan skorsing mantan quarterback National Football League (NFL)—liga rugbi di Amerika Serikat—Tom Brady atas skandal deflategate.

Skandal deflategate mengacu pada tuduhan terhadap quarterback klub New England Patriots, Tom Brady, yang diduga memerintahkan mengempiskan bola yang digunakan dalam kemenangan Patriots melawan Indianapolis Colts selama pertandingan 2014 AFC Championship Game pada 18 Januari 2015. Kontroversi itu mengakibatkan Brady diskors selama empat pertandingan pertama musim NFL 2016 dan Patriots didenda 1 juta dollar AS pada 2016.

Atau video tentang CEO Meta Mark Zuckerberg terkait skandal berbagi data pribadi Cambridge Analytica. Skandal itu ramai pada 2010-an, di mana data pribadi milik jutaan pengguna Facebook dikumpulkan perusahaan konsultan Inggris Cambridge Analytica untuk iklan politik, tanpa persetujuan dari pengguna.

Hasilnya, peserta yang menonton video satir ataupun kritis memandang tontonan tersebut sama-sama kritis terhadap target, tetapi penonton video satir memiliki persepsi lebih negatif terhadap reputasi target.

Eksperimen lainnya dilakukan terhadap 373 peserta menggunakan meme tentang kecelakaan ski dan gugatan Gwyneth Paltrow. Insiden itu terjadi saat aktris Amerika Serikat Gwyneth Paltrow diduga menjadi penyebab kecelakaan yang dianggap tabrak lari ketika bermain ski di Park City, Utah, Amerika Serikat pada 2016. Kecelakaan itu menyebabkan pensiunan dokter mata Terry Sanderson menggugat Paltrow. Namun, dalam persidangan pada Maret 2023, juri menolak gugatan Sanderson atas cedera yang dideritanya usai keduanya jatuh saat bermain ski.

Hasilnya, serupa dengan eksperimen pertama. Dalam eksperiman lain, 299 peserta melihat meme satir, meme kritis, atau sekadar foto manajer sepak bola Jose Mourinho yang telah dipecat beberapa kali dari berbagai tim. Hasilnya, meme satir dan kritis lebih merusak daripada foto, tetapi peserta yang melihatmeme satir punya persepsi paling negatif terhadap pelatih asal Portugal itu.

Meski satir sering ditujukan pada selebritas, menurut penelitian itu, satir juga dapat merusak reputasi orang-orang yang kurang dikenal atau bahkan fiktif. Secara khusus, eksperimen lain yang mengganti nama dan foto Mourinho dengan “Steve Randall” fiktif dalam meme yang sama memiliki temuan serupa—dengan satir yang menimbulkan kerusakan reputasi paling parah.

Eksperimen terakhir menemukan, membayangkan interaksi positif singkat dengan sasaran sindiran atau kritik dapat mengurangi persepsi negatif terhadap reputasi mereka dengan memanusiakannya.

“Humor, tawa, dan bahkan kritik memiliki manfaat positif dan punya fungsi penting dalam masyarakat,” ujar Jazaieri dikutip dari American Psychological Association.

“Harapannya, ketika seseorang menjadi sasaran satir, kita akan menyadari jika kita melakukan semacam dehumanisasi atau asumsi tentang orang tersebut yang mungkin tidak benar.”

Para peneliti memilih fokus pada tokoh non-politik guna memperluas cakupan penelitian tentang satir. Penelitian sebelumnya tentang satir terutama berfokus pada tokoh politik dan menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa penelitian menemukan, satir tidak berbahaya, sedangkan lainnya menganggap satir merusak reputasi politik.

Penelitian ini juga berfokus pada video dan meme, sehingga temuannya mungkin tidak berlaku untuk sindiran yang hanya diungkapkan dalam bentuk teks atau audio, seperti artikel atau podcast. Temuan ini pun tidak berlaku untuk anak di bawah umur karena hanya orang dewasa yang diikutsertakan dalam riset.

Menurut Science Blog, temuan tersebut relevan di era digital saat ini, di mana konten satir dapat menyebar dengan cepat di berbagai platform media sosial dan berpotensi menyebabkan kerusakan reputasi yang berkepanjangan. Penelitian ini menunjukkan, satir mungkin menghibur, namun dampaknya terhadap cara kita memandang orang lain perli dipertimbangkan lebih cermat.

Peneliti Derek D. Rucker juga menekankan, temuan mereka tidak hanya terbatas pada target selebritas. “Penelitian tersebut menunjukkan efek dehumanisasi satir terjadi terlepas dari profil publik target, yang menunjukkan perlunya kesadaran lebih besar tentang bagaimana kritik humor dapat memengaruhi siapa pun yang menjadi subjeknya,” tulis Science Blog.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan