Sebelum Omicron: Bagaimana pandemi-pandemi besar berakhir?
Varian Omicron "menggila". Sejak diumumkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai varian berbahaya pada akhir November 2021, varian Sars-Cov-2 teranyar itu kini telah menyebar di setidaknya 83 negara. Secara global, tercatat sudah ada 32.963 kasus pasien positif Covid-19 karena terinfeksi varian tersebut per 24 Desember lalu.
Data teranyar menunjukkan varian Omicron menyebar lebih cepat ketimbang varian Delta yang pertama kali terdeteksi di India pada akhir 2020. Omicron juga potensial mampu menggerus efektivitas vaksin yang saat ini tengah didistribusikan.
Meski begitu, Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus optimistis pandemi Covid-19 bakal berakhir pada 2022. Target itu, kata dia, bakal kesampaian jika negara-negara di dunia bahu-membahu mendistribusikan vaksin secara merata.
"Jika kita ingin kembali hidup normal, kita harus melindungi diri kita sekarang, terutama saat kasus-kasus positif varian Omicron naik. Jika kita ingin mengakhiri pandemi tahun depan, kita harus mengakhiri ketimpangan," kata Tedros.
Dalam sebuah riset yang dirilis pada April 2021, Bank Dunia memprediksi pandemi bakal berakhir pada Maret 2022. Syaratnya, setidaknya 60% populasi di tiap negara sudah diimunisasi dan kekebalan kawanan (herd immunity) terbentuk.
"Namun demikian, untuk mencapai target ini, kita harus menangani kesenjangan kebutuhan setidaknya 350 juta dosis vaksin di 91 negara berpendapatan menengah dan rendah yang terjadi karena ketimpangan distribusi," tulis Ruchir Agarwal dan Tristan Reed, peneliti Bank Dunia yang menggarap riset itu.
Jelang 2022, target itu sepertinya bakal sulit tercapai. Menurut catatan Our World in Data, sudah ada 57,4% penduduk dunia yang mendapat dosis pertama vaksin Covid-19 per 26 Desember. Namun, hanya 8,3% populasi di negara-negara berpendapatan rendah yang menerima setidaknya satu dosis vaksin.
Meskipun tanpa vaksinasi yang merata secara global, virolog dari Columbia University, David Ho meyakini pandemi bisa berakhir "sesuai target" karena kehadiran varian Omicron. Menurut dia, kekebalan kawanan bisa terbentuk karena karakateristik Omicron yang jauh lebih cepat menyebar ketimbang varian Delta.
"Sebagaimana diperbincangkan pakar kesehatan, ini (Omicron) bakal menjalar di populasi. Dan terkadang, api bisa membakar dengan sangat cepat dan kemudian mati dengan sendirinya," kata Ho seperti dikutip dari CNBC.
Bruce Farber, pakar penyakit menular di New Hyde Park, New York, sepakat Omicron bisa jadi "skenario terbaik" mengakhiri pandemi. Ia berkaca pada data rendahnya tingkat kematian dan jumlah pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit di Afrika Selatan.
"Ini (Omicron) tentu saja bisa membantu mengakhiri melonjaknya jumlah kasus Covid-19 yang mematikan dan tingginya jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit," kata Farber.
Wabah pes dan flu Spanyol
Jika mengacu pada catatan historis, kebanyakan pandemi besar berakhir tanpa intervensi medis yang memadai. Pandemi pes, misalnya. Mampu membunuh puluhan juta orang ketika pecah dan mewabah, ancaman penyakit yang disebabkan bakteri Yersinia pestis itu meredup dengan sendirinya.
"Orang-orang tidak paham bagaimana melawannya. Terkaan terbaik ialah karena mayoritas orang yang dihantam pandemi selamat dan mereka yang selamat menciptakan imunitas alamiah," kata sejarawan dari DePaul University, Thomas Mockaitis.
Sepanjang sejarah, setidaknya ada tiga gelombang pandemi pes yang menghantam dunia. Gelombang pandemi pertama pecah di Konstantinopel, ibu kota Kekaisasaran Romawi Timur, pada tahun 541. Ketika itu, pes ditularkan oleh kutu yang nongkrong pada tikus-tikus pemakan gandum yang diimpor dari Mesir.
Gelombang kedua pecah di Eropa pada abad ke-14 dan gelombang ketiga pecah di sejumlah negara Asia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Salah satu wabah pes terparah menyebar dari China ke India pada 1855. Ketika itu, setidaknya 12 juta orang tewas karena terjangkit pes di India.
Menurut sejarawan Yale School of Medicine, Frank Snowden, ada banyak teori yang mencoba menjelaskan kenapa pandemi pes berakhir. Sejumlah pakar kesehatan berargumen pes meredup karena kutu-kutu pembawa bakteri Yersinia pestis mati karena cuaca dingin.
Para pakar lainnya berpendapat pes menghilang karena regenerasi pada tikus-tikus pes. Pada abad ke-19, kutu penyebar wabah ini digendong tikus-tikus berwarna cokelat. Berbeda dengan tikus hitam pendahulunya, tikus-tikus cokelat cenderung lebih kuat dan tak mau hidup berdekatan dengan manusia.
Teori lainnya terkait intervensi oleh manusia. Saat India dibekap wabah pes, misalnya, pemerintah di Kota Bombay membakar permukiman warga yang terdeteksi menjadi sarang penyakit untuk mencegah penularan penyakit meluas. "Tak ada yang tahu jika tindakan itu efektif," kata Snowden seperti dikutip dari New York Times
Serupa dengan pes, pandemi flu Spanyol juga meredup dengan sendirinya. Flu Spanyol pertama mewabah di Eropa, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di Asia pada 1918. Total sekitar lima puluh juta orang diperkirakan mati karena mengidap flu yang disebabkan virus H1N1 itu.
Ketika itu, tidak ada obat atau vaksin yang efektif untuk mengobati flu Spanyol. Warga hanya diminta untuk memakai masker dan menjauhi orang-orang yang sakit. Sekolah, bioskop, dan pusat-pusat bisnis ditutup untuk mencegah virus tersebut menyebar.
Setelah menyapu seluruh belahan dunia, pandemi flu Spanyol meredup pada musim panas 1919. Flu itu, kata Snowden, berevolusi menjadi varian yang lebih jinak. "Mungkin itu seperti api yang, setelah berkobar membakar kayu-kayu terdekat yang ada, padam dengan sendirinya," imbuh dia.
Setelah flu Spanyol, pandemi-pandemi kecil lainnya yang disebabkan virus flu menyusul. Pada 1968, misalnya, flu Hong Kong yang disebabkan virus H3N2 merebak dan membunuh satu juta orang di seluruh dunia. Seperti flu Spanyol, flu Hong Kong juga berevolusi menjadi penyakit musiman.
Wabah kecil lainnya yang berakhir tanpa intervensi vaksin terjadi pada 2003. Dalangnya adalah virus Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS-1). Pertama kali terdeteksi di Guangdong, sebuah provinsi pelabuhan di tenggara China, sepupu Sars-Cov-2 itu menyebar ke 29 negara dan menewaskan lebih dari 700 orang.
Seperti SARS-Cov-2, SARS-1 ialah virus RNA yang bisa bermutasi sejuta kali lebih cepat ketimbang virus DNA. Meski begitu, SARS-1 tak berumur panjang. Dideteksi pada Februari 2003, WHO mengumumkan virus epidemi SARS-1 berakhir Juni 2003. Ketika itu, vaksin SARS-1 belum ditemukan.
Akhir sosial pandemi
Lantas, bagaimana dengan pandemi Covid-19? Profesor ilmu politik Johns Hopkins University, Yascha Mounk memprediksi pandemi bakal "berakhir" jauh lebih cepat sebagai fenomena sosial sebelum intervensi medis rampung. Itu terlihat dari tren kian longgarnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di berbagai negara untuk membendung Omicron.
"Meskipun jumlah kasusnya meroket, hanya sedikit pakar dan politikus yang mau mengusulkan kebijakan-kebijakan keras untuk menyetop penyebaran virus. Hasrat untuk karantina atau intervensi sosial berskala besar tidak ada sama sekali," kata Mounk seperti dikutip dari The Atlantic.
Pergeseran itu, kata Mounk, tergambar dari instruksi teranyar Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam menangani pandemi. Gedung Putih berencana mengirimkan pasukan militer untuk membantu penanganan pasien Covid-19 di rumah sakit, mendistribusikan ventilator, mengakselerasi tes Covid-19, dan membuka lebih banyak klinik vaksin.
"Ini adalah kebijakan-kebijakan masuk akal. Akan tetapi, meminjam metafora dari wacana perubahan iklim, kebijakan-kebijakan itu utamanya berada di ranah adaptasi. Tujuannya untuk membantu kita mengatasi peningkatan jumlah kasus, bukan untuk mencegah kasus baru terjadi," jelas dia.
Naomi Rogers, sejarawan dari Yale School of Medicine lainnya, sepakat pandemi Covid-19 bakal dianggap seolah-olah telah berakhir meskipun virus Sars-Cov-2 masih beredar di tingkat komunitas. Setelah menjalani beragam restriksi sosial, publik bakal menolak kembali ke masa-masa kelam saat pandemi baru merebak.
"Ada semacam isu psikologis kelelahan dan frustrasi. Kita mungkin tengah berada pada momen ketika orang-orang mulai berkata, 'Sudah cukup. Saya berhak untuk kembali menjalani hidup dengan normal'," jelas Rogers.
Normalisasi kehidupan itu sudah terlihat di mana-mana. Restoran, kafe, bahkan salon kecantikan sudah boleh kembali buka. Meskipun dikritik para pakar kesehatan sebagai langkah prematur, banyak pemerintah tak lagi "tega" mengekang kebebasan kebebasan warganya dengan menggelar karantina atau membatasi pergerakan warga.
"Ada konflik semacam itu sekarang. Pejabat kesehatan publik berpandangan pandemi harus berakhir dari sisi medis, tetapi sebagian kelompok masyarakat melihat akhir sosial dari pandemi. Siapa yang bisa mengklaim akhir pandemi sebenarnya?" kata Rogers.