Seberapa fatal serangan burung terhadap kecelakaan pesawat?
Penghujung 2024, beberapa kecelakaan pesawat terjadi. Yang paling buruk menimpa pesawat Jeju Air 7C 2216, yang mendarat di Bandara Muan, Korea Selatan usai lepas landas dari Bangkok, Thailand pada Minggu (29/12/2024). Pesawat yang membawa 175 penumpang dan enam awak itu, mengalami kecelakaan fatal saat mendarat: tergelincir, menabrak dinding di ujung landasan, dan terbakar. Tercatat, 179 orang tewas, sedangkan dua orang lainnya selamat.
Meski penyebab pasti kecelakaan itu masih dalam penyelidikan, tetapi ada spekulasi kawanan burung menjadi penyebabnya.
Seperti apa data kecelakaan karena bertabrakan dengan burung?
Tabrakan dengan burung, biasanya terjadi saat pesawat mendarat dan lepas landas, merupakan salah satu ancaman paling umum bagi pesawat. Sebuah penelitian yang dilakukan U.S. Department of Transportation Federal Aviation Administration (FAA) dan U.S. Department of Agriculture Wildlife Services (USDA) bertajuk “Wildlife Strikes to Civil Aircraft in the United States 1990-2023” mengungkap, sebanyak 296.613 kasus tabrakan dengan satwa liar dilaporkan di seluruh dunia antara tahun 1990 dan 2023. Sebesar 98,3% di antaranya terjadi di Amerika Serikat, sebagian besar melibatkan burung.
Temuan lainnya, jumlah insiden meningkat nyaris setiap tahun. Selama 33 tahun, sebanyak 83 serangan burung mengakibatkan hancurnya sebuah pesawat. Sekitar 70% insiden terjadi pada ketinggian 500 kaki atau lebih di atas permukaan tanah, sedangkan insiden yang terjadi di atas 500 kaki lebih mungkin menyebabkan kerusakan mesin pesawat.
National Public Radio (NPR) menyebut, di seluruh dunia, tabrakan satwa liar—entah itu dengan burung, rusa, atau hewan lainnya—dengan pesawat sipil dan militer sudah menwaskan lebih dari 491 orang dan menghancurkan lebih dari 350 pesawat dari tahun 1988 hingga 2023.
FAA mencatat, sebesar 61% tabrakan burung dengan pesawat sipil terjadi selama fase pendaratan, 36% terjadi selama lepas landas, dan 3% terjadi saat penerbangan.
Mengapa burung bisa sebabkan kecelakaan?
Pada 1912, penerbang terkenal Calbraith Perry Rodgers tewas akibat pesawatnya menabrak burung di Long Beach, California, Amerika Serikat. Ini adalah kasus serangan burung terhadap pesawat pertama yang berakibat fatal. Setelahnya, dunia makin sadar risiko nyata serangan burung di udara.
Menurut dosen senior operasi penerbanga di Buckinghamshire New University, Marco Chan, dikutip dari The Guardian, bahaya tabrakan dengan burung terhadap pesawat tergantung dari faktor ukuran burung, kecepatan pesawat, lokasi tabrakan, dan desain mesin.
Burung dengan berat hingga satu kilogram, kata Chan, jarang menyebabkan kerusakan fatal, tetapi dapat merusak bilah mesin atau komponen penting lainnya. Sedangkan burung yang beratnya lebih dari tiga kilogram, menimbulkan risiko tertinggi.
“Terutama jika tertelan ke dalam mesin,” kata Chan.
Chan menambahkan, burung yang lebih kecil juga bisa menyebabkan masalah yang signifikan pada kecepatan tinggi, terutama bila kawanan ini menabrak beberapa sistem. Sementara pakar keselamatan penerbangan Australia, Geoffrey Dell menuturkan, jika sekawanan burung terhisap ke dalam mesin, hal itu tidak akan langsung mematikan mesin. Namun, pilot masih bisa ada waktu untuk bertindak.
Jenis burung apa saja yang berisiko membuat kecelakaan pesawat?
Dikutip dari Bird Strike, ada tiga jenis burung yang berpotensi menyebabkan kecelakaan pada pesawat, yakni unggas air (31%), burung camar (26%), dan burung pemangsa (18%).
Merujuk data FAA dan USDA, burung yang paling banyak menabrak pesawat dari 1990-2023 adalah jenis burung merpati, dengan total 21.893 kasus dan 675 kerusakan. Diikuti burung walet sebanyak 17.149 kasus dengan 83 kerusakan dan burung pantai sebanyak 15.384 kasus dengan 259 kerusakan.
Pegiat konservasi Burung Indonesia, Achmad Ridha Junaidi, dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Jumat (3/1) mengatakan, kolaborasi antara pengelola Bandara Soekarno-Hatta dan Burung Indonesia mengidentifikasi burung blekok sawah dan kuntul kerbau sebagai dua spesies paling berisiko terhadap serangan burung.
“Penilaian ini didasarkan pada perilaku berkelompok, massa tubuh, ketinggian terbang rata-rata, dan tingkat pengendaliannya,” tulis Ridha.
Bagaimana dengan kerugian yang diakibatkan?
Tak hanya menimbulkan korban jiwa, pesawat yang mengalami tabrakan dengan burung pun berimbas pada kerugian materi. FAA mencatat, kerugian akibat tabrakan burung di Amerika Serikat dari tahun 1990 hingga 2019 diperkirakan mencapai 500 juta dolar AS per tahun.
Kerusakan pada mesin, sayap, bagian depan, atau kaca depan pesawat biasanya tidak mengancam jiwa. Dalam banyak kasus, pesawat masih bisa mendarat dengan aman.
“Namun, setelah mendarat, pesawat mungkin tidak dapat beroperasi selama berminggu-minggu karena menjalani perbaikan yang mahal,” ujar profesor di Center for Aviation Studies and Integrated Systems Engineering di Ohio State University, Shawn Pruchicki kepada NPR.
“Misalnya, jendela kokpit yang retak dapat dengan mudah menghabiskan biaya hingga 90.000 dolar AS untuk diperbaiki. Sayap yang penyok? Mungkin setengah juta dolar.”
Merujuk data dari International Civil Aviation Organization (ICAO), Achamd Ridha Junaidi menyebut, kerugian finansial global akibat serangan burung mencapai hingga 1,2 miliar dolar AS setiap tahun. Biaya itu meliputi kerusakan pesawat, penundaan penerbangan, dan kerugian operasional lainnya.
Bagaimana dengan kasus kecelakaan Jeju Air?
Menurut The Guardian, menara kontrol di Bandara Muan mengeluarkan peringatan serangan burung sesaat sebelum pilot membuat panggilan darurat.
Yang patut dicatat, The Guardian melaporkan, lokasi Bandara Muan dekat dengan tiga suaka burung utama, yang berfungsi sebagai tempat migrasi musim dingin bagi burung-burung. Survei pada Desember 2024 Institut Ekologi Nasional Korea Selatan mencatat, hampir 19.000 burung bermigrasi di suaka-suaka itu. Bandara tersebut sudah mengalami serangan burung tertinggi di antara 14 bandara regional Korea Selatan, dengan 10 insiden dilaporkan antara 2019 dan Agustus 2024.
Sebuah penilaian dampak lingkungan tahun 2020 untuk perluasan landasan pacu bandara, memperingatkan risiko itu, dengan mencatat kalau area luar bandara punya lahan pertanian yang luas dan sangat kaya sumber makanan burung.
Bagaimana solusinya?
FAA/APHIS Handbook “Wildlife Hazard Management at Airports” mengungkapkan beberapa strategi utama untuk mengatasi masalah ini, antara lain modifikasi jadwal penerbangan, pengelolaan habitat, pengusiran burung, pemindahan burung, dan pengendalian mematikan.
Radar juga bisa membantu pilot menemukan dan menghindari potensi bahaya bertabrakan dengan burung. Achmad Ridha Junaidi menyebut, idealnya bandara tidak dibangun di lahan yang menjadi habitat burung. Akan tetapi, kalau sudah telanjur, area di dalam dan sekitar bandara bisa dikelola dengan mengurangi atau menghilangkan sumber daya yang menarik burung, seperti makanan, air, atau vegetasi tertentu.
Menggunakan alat pengusir burung diperlukan, seperti memakai suara predator, laser, atau burung pemangsa terlatih. Pendekatan ini perlu pula diperkuat dengan pemantauan dan survei populasi burung secara berkala.
Lalu, kata Ridha, maskapai penerbangan pun mesti memastikan desain pesawat yang lebih tahan terhadap serangan burung dan bersikap proaktif dalam menghadapi risiko satwa liar, seperti menunda lepas landas atau mendarat kalau melihat burung di landasan pacu.