close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Salah satu potongan scene dalam 'Lady Bird'/ IMDB
icon caption
Salah satu potongan scene dalam 'Lady Bird'/ IMDB
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 25 Februari 2018 18:08

Lady Bird, sebuah ode untuk rumah dan kenangan

Disutradari dan diperankan perempuan, 'Lady Bird' tak lantas jadi produk feminis. Ia adalah romantisme yang dinyanyikan remaja di zamannya.
swipe

Setiap orang pernah merasakan canggungnya jatuh cinta pertama kali, pergumulan jati diri, dan pertengkaran kecil dengan orang tua. Siapa nyana, jika semua konstelasi itu begitu apik dipotret Greta Gerwig dalam film debut perdananya, ‘Lady Bird’ (2017). Alih-alih terjebak dalam narcisme, aktris langganan sutradara Noah Baumbach ini justru membingkai karakter umum remaja rebel, tapi sarat dengan kritik pada kelas ekonomi di Sacramento, AS.

Film ini berbeda dengan tontonan bergenre serupa ihwal ‘coming of age’ remaja dengan segala dinamikanya. Penonton tak akan menyaksikan adegan laiknya film ‘Mean Girls’ (2004) atau ‘Mamma Mia!’ (2008) yang sekadar bercerita proses pencarian atensi dan jati diri perempuan belasan tahun. Namun ia adalah narasi yang bernas tentang relasi anak dan ibu, anak dan teman, anak dan kekasih, di mana semua remaja barangkali pernah merasainya.

Diceritakan dengan jujur, ringan, dan dibalut dialog jernih seperti improvisasi, ‘Lady Bird’ jauh dari adegan mengharu biru, depresi berlebihan, atau dramatisasi yang memuakkan. Tak heran jika film yang rilis pada November 2017 ini panen pujian dari banyak kritikus. Ia mengalahkan film ‘Get Out’ dan’ I, Tonya’ dalam perebutan piala film terbaik di ajang Golden Globe 2018. Selain itu, film yang naskahnya digarap langsung oleh Greta ‘Si Ratu Indie’ ini mengantongi lima nominasi Oscar. Ia dirayakan sebagai 10 Film Terbaik 2017 oleh National Board of Review, American Film Institute, dan majalah Time. Bahkan situs agregator kritik terkenal, Rotten Tomatoes memberinya skor positif 99%, dari total 282 kritik yang mampir.

Semua penghargaan itu tak berlebihan, mengingat para pemain tampil sesuai porsinya tanpa menegasi satu sama lain. Gaya sinematografi yang unik di mana kamera berjalan singkat seiring langkah pemainnya juga cukup menyegarkan mata. Film berdurasi 93 menit ini juga tak berambisi menampilkan batasan tegas antara yang baik dan buruk dan penghakiman lainnya. Kendati ia rawan ke arah tersebut, karena latar utamanya adalah SMA Katholik yang lengket dengan stigma konservatisme dan religiusitas berlebihan. Ia hadir begitu saja dan menyeret pemirsanya untuk larut dalam nostalgia masing-masing.

‘Lady Bird’ menceritakan hidup Christine McPherson (Saoirse Ronan), remaja kelas tiga SMA Katholik di Sacramento, California. Impiannya berkuliah di New York terbentur kendala finansial keluarga. Ayahnya dirumahkan perusahaan tempatnya bekerja, sehingga Marion, sang ibu (Laurie Metcalf) harus ambil dua shift demi menanggung biaya rumah tangga. Kakaknya yang berpenampilan punk, lulusan kampus Berkeley namun memilih bekerja sebagai kasir supermarket bersama kekasihnya. Latar ekonomi yang biasa saja jadi tonggak penciptaan karakter memberontak tokoh utama, Christine atau Lady Bird. Ia sendiri lebih senang dipanggil Lady Bird, alih-alih nama pemberian orang tuanya untuk mengukuhkan pemberontakannya.

Karakternya yang keras, beradu dengan ibu rewel tipikal inilah yang jadi konflik utama film ini. Saat film belum berumur 10 menit, Christine bahkan nekat lompat dari mobil yang dikendarai ibunya, untuk mengakhiri debat dengan sang ibu. Ia juga menulis “Fuck You, Mom” di atas balutan gipsnya sebagai wujud protes. Relasi yang janggal ini akan terus kita jumpai di sepanjang film. Pertengkaran kecil, sindiran ibu, dan gengsi mengucap cinta atau rindu juga melahirkan eksekusi adegan yang romantik dan membuat penonton mungkin merasa seperti ‘de javue’.

Kesan bandel itu tak lantas membuat karakter Christine jadi antagonis. Pun ibunya yang kerap menyindir dan mengungkit, tapi diam-diam menyayangi Christine jadi sosok malaikat sekaligus musuh. Semua tokoh hadir dengan warna samar, layaknya kehidupan kita sehari-hari yang tak pernah pasti. Dialog antara dua tokoh inti ini juga terasa pas, kadang menggelitik, dan membuat penonton seperti masuk di dalamnya.

Semua itu jadi keunikan dalam film ini. Relasi yang romantik antara ibu dan anak tak terang dipertontonkan sehingga menimbulkan kesan tersendiri. Christine kerap bertengkar, saling meneriaki, di banyak potongan scene baik di toko pakaian bekas, rumah, mobil, dapur rumah. Tapi Christine selalu di garda depan yang membela ibunya saat perempuan itu diledek mengerikan oleh mantan kekasihnya yang gay. Romantisme dengan ibulah yang selalu membuat Christine rindu untuk pulang, rindu menyusuri kenangan saat ia jauh dari Sacramento yang jadi rumahnya kelak.

Rumah bagi Christine bisa apa saja. Tokoh utama ini piawai menceritakan pemahaman ia soal wujud rumah, Sekali waktu ia digambarkan ingin punya rumah gedongan di lokasi prestisius, berisi masyarakat kelas atas. Teman karibnya Jullia (Beanie Feldstein) juga bisa jadi rumah kembali untuknya, saat ia terbuang dari komunitas artifisialnya yang berisi orang-orang populer di sekolah. Rumah juga bisa berupa Tuhan dan gereja tempatnya mengadu. Bahkan duet berantem, ibu kandungnya juga bisa jadi rumah paling nyaman di dunia.

Sebab ide rumah yang diproduksi di film ini tak terikat fisik atau materi. Rumah adalah segala hal yang melahirkan semua kenangan, baik dan buruk. Rumah tak melulu tempat dilahirkan, tapi pasti jadi tempat kembali yang selalu dirindukan.

Film ini adalah sebuah memoar yang sangat realis dari Greta tentang rumah dan kenangan masa remajanya. Betapa tokoh Christine yang ia ciptakan di film, dibingungkan dalam ketidakadilan hidup saat tahu pria pilihan tempat ia melepas keperawanan, Kyle, ternyata tak perjaka lagi. Padahal susah payah ia mengejar pria emo ini dengan tingkah naif, ikut membaca ‘A People's History of the United States’, karya penulis kiri Howard Zinn, karena pria yang ditaksirnya membaca buku itu.

Rumah dan kenangan bisa lahir dari ketidakpeduliannya akan stigma pesta prom yang harus membawa pasangan laki-laki. Sebaliknya ia justru berdansa dengan sahabat perempuannya, dan momen itu jadi begitu berkesan dalam hidupnya. Bisa pula kenangan yang lahir akan jalan-jalan dan sudut Sacramento yang dari lahir biasa ia lalui. Semua menghasilkan pengalaman nostalgik sehingga tokohnya secara tak sadar meyakini itu semua sebagai rumah dari potongan kenangan yang ia alami. Buatmu, apa arti rumah dan kenangan?

img
Purnama Ayu Rizky
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan