Sedot lemak bisa membunuhmu?
Seorang selebgram mati asal Medan, Sumatera Utara, Ella Nanda Sati Hasibuan meninggal usai diduga melakukan operasi sedot lemak di sebuah klinik kecantikan di Depok, Jawa Barat pada Senin (22/7). Saat itu, Ella melakukan operasi sedot lemak di lengan kanan dan kiri. Diduga, Ella meninggal dunia setelah pembuluh darahnya pecah.
Apa itu sedot lemak?
Para peneliti asal Korea Selatan dalam jurnal Archives of Plastic Surgery (2018) menyebut, sedot lemak adalah prosedur pembedahan untuk membuang jaringan lemak berlebih dari seseorang yang kelebihan berat badan. Menurut Medical News Today, seseorang yang melakukan sedot lemak atau juga disebut lipoplasti, biasanya memiliki berat badan yang stabil, tetapi ingin menghilangkan timbunan lemak tubuh yang tidak diinginkan di bagian tubuh tertentu.
Sedot lemak bukanlah metode penurunan berat badan secara keseluruhan. Ini bukan pengobatan untuk obesitas. Tujuannya adalah estetika. Sedot lemak secara permanen bisa menghilangkan sel-sel lemak dan mengubah bentuk tubuh. Namun, bila pasien tak menjalani pola hidup sehat pasca-operasi, maka ada risiko sel lemak yang tersisa akan bertambah banyak.
Area tubuh yang biasanya menjadi sasaran sedot lemak, antara lain perut, bokong, dada, lutut bagian dalam, panggul, garis leher dan area di bawah dagu, paha, dan lengan bagian atas.
Bagaimana metodenya?
Medical News Today menulis, seeorang akan menerima anestesi sebelum prosedur dilakukan, yang dapat berlangsung selama satu hingga empat jam. Epidural—metode pemberian obat yang disuntik ke dalam ruang epidural di sekitar sumsum tulang belakang—dapat digunakan pada tubuh bagian bawah. Hal ini membuat sebagian perut dan kaki mati rasa. Anestesi lokal kemungkinan digunakan saat sedot lemak dilakukan pada area yang sangat kecil.
Medical News Today menyebut lima teknik sedot lemak, antara lain sedot lemak tumescent, sedot lemak kering, sedot lemak dengan bantuan USG, power-assisted liposuction (PAS) atau sedot lemak dengan bantuan daya, dan sedot lemak dengan bantuan laser.
Sedot lemat tumescent dilakukan dengan beberapa liter larutan garam, yang menggunakan anestesi lokal dan konstriktor pembuluh darah dipompa di bawah kulit pad aarea yang akan disedot. Lemak disedot keluar melalui tabung pengisap kecil. Ini adalah bentuk sedot lemak yang paling populer.
Sedot lemak kering tak ada cairan yang disuntik sebelum lemak dihilangkan. Prosedur ini jarang digunakan dan lebih berisiko memar serta pendarahan yang lebih tinggi. Lalu, sedot lemak dengan bantuan USG dikenal pula sebagai sedot lemak ultrasonik.
Caranya, kanula—tabung plastik berukuran kecil yang dapat dimasukkan ke dalam vena untuk memasukkan cairan maupun obat-obatan secara langsung lewat aliran darah—diberi energi dengan USG. Hal ini membuat lemak meleleh. Getaran ultrasonik menghancurkan dinding sel lemak, sehingga mudah disedot.
Kemudian sedot lemak berbantuan daya menggunakan kanula khusus dengan sistem mekanis yang bergerak maju-mundur dengan cepat, sehingga ahli bedah bisa mengeluarkan lemak dengan lebih mudah.
Terakhir, sedot lemak berbantuan laser memerlukan penggunaan cairan tumescent. Caranya, sebuah tabung kecil dimasukkan melalui sayatan kecil untuk mengalirkan energi laser dan panas ke dalam lemak yang ada di bawah kulit.
Apa risikonya?
Medical News Today menyebut, sedot lemak berisiko mengalami memar, peradangan, tromboflebitis—gumpalan darah di pembuluh darah yang menyebabkan peradangan dan nyeri, ketidakteraturan kontur kulit, mati rasa, infeksi, tusukan organ dalam, masalah ginjal dan jantung, luka bakar pada kulit, emboli paru, serta edema paru.
Para peneliti asal Korea Selatan dalam Archives of Plastic Surgery (2018) melaporkan, tingkat komplikasi pasca-operasi sedot lemak hanya sebesar 5% hingga 10%. Sebagian besar komplikasi itu bersifat ringan, seperti nyeri, edema, hematoma, dispnea ringan, dan sakit kepala.
Apakah bisa berakibat fatal?
Kepala Bedah Plastik dan Estetika di CK Birla Hospital, India, Anmol Chugh dalam situs web dranmolchugh.com mengakui sedot lemak bisa menyebabkan kematian. Ada beberapa sebab. Pertama, terlalu banyak pembuangan lemak yang bisa menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan komplikasi.
“Penting untuk dicatat, dalam satu sesi hanya 10% dari berat badan yang harus dikeluarkan sebagai lemak selama sedot lemak,” kata Chugh.
Kedua, dilakukan oleh dokter yang tidak terlatih. Ketiga, dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan anestesi yang buruk dan tak ada cadangan ICU. Keempat, dosis yang berlebihan dalam anestesi lokal dan umum.
Para peneliti asal Korea Selatan dalam jurnal Archives of Plastic Surgery menyebut, sindrom emboli lemak yang disebabkan komplikasi utama sedot lemak, bisa berakibat fatal. Emboli lemak adalah partikel lemak yang terdapat di jaringan pembuluh darah.
“Gejala klasik sindrom emboli lemak, antara lain gangguan pernapasan, disfungsi serebral, dan ruam petekie,” tulis para peneliti.
Biasanya, gejala itu muncul dalam 24 hingga 72 jam setelah sedot lemak pada 85% pasien yang terkena. Sindrom emboli lemak mayor dapat menyebabkan gejala klinis, seperti takikardia (detak jantung cepat), takipnea (bernapas dengan cepat), demam, dan hipoksemia (kadar oksigen rendah dalam darah).
Selanjutnya, sindrom emboli lemak fulminan dapat terjadi jika ada pelepasan emboli lemak dalam jumlah besar secara tiba-tiba ke dalam pembuluh darah. Hal ini menjadi manifestasi parah dari obstruksi paru kardiovaskular akut.
“Hipertensi paru berat, gagal jantung kanan, syok, bahkan kematian sering terjadi dalam 48 jam pertama setelah cedera pada individu yang terkena,” tulis para peneliti.
Para peneliti asal Amerika Serikat dalam the New England Journal of Medicine (1999) menulis, sedot lemak tumescent bisa berakibat fatal karena interaksi obat terkait lidokain. Lidokain adalah obat yang digunakan untuk mematikan jaringan pada area spesifik. Obat ini juga bisa digunakan untuk memblok saraf.
Sementara para peneliti dari Meksiko dan Kolombia dalam jurnal Plastic and Reconstructive Surgery (2017) menyebut, komplikasi mayor yang paling sering terjadi dan menyebabkan kematian pada seseorang yang menjalani sedot lemak adalah tromboemboli paru, yang mewakili lebih dari 23% kematian.
Seorang dokter bedah plastik di Los Angeles, Amerika Serikat, Michael K. Obeng kepada People mengatakan, dia pernah menyaksikan di rumah sakit yang sangat besar, seorang ahli bedah terkemuka menusuk ginjal seseorang saat melakukan sedot lemak.
“Jadi, orang-orang mengira sedot lemak adalah operasi yang sangat mudah, padahal itu merupakan salah satu operasi yang setiap kali saya lakukan, saya harus tahu persis di mana ujung kanula (tabung pengisap) saya berada karena saya tidak menganggapnya remeh,” ujar Obeng. “Itu bisa berbahaya.”