Sejarah dan bahaya di balik nikmatnya gorengan
Tahu, bakwan, ubi, pisang, yang dibaluri tepung terigu dan digoreng—atau yang dikenal orang Indonesia dengan istilah gorengan—menjadi kudapan favorit saat berbuka puasa. Selain murah, rasa gurih gorengan menjadi pilihan untuk disantap sebelum menyantap makanan berat, seperti nasi.
Bulan puasa penjaja gorengan pun menjamur. Misalnya saja, di sepanjang Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tak sulit menemukan penjaja gorengan yang membuka lapak dadakan, hanya di bulan Ramadan.
Sumarni merupakan salah seorang penjaja gorengan dadakan di sini. Jelang buka puasa, gorengan dagangan Sumarni diserbu warga. Salah seorang pembeli gorengan, Dian, tampak sibuk menggendong bayinya sembari menjinjing kantong plastik penuh gorengan.
“Yang enak sih pastelnya,” kata Dian.
Seorang pembeli lainnya, Heru, justru menggemari gorengan tempe. Apa pun bahan bakunya, gorengan tetap jadi incaran saat berbuka puasa. Anak-anak hingga orang dewasa kerap mencari gorengan untuk mengganjal perut.
Muasal gorengan
Meski populer jadi kudapan berbuka puasa, namun sejarawan kuliner Fadly Rahman tak menganggap gorengan sebagai makanan yang identik dengan bulan Ramadan.
“Sebetulnya, dalam bulan puasa, kolak dan kurma jauh lebih identik daripada gorengan,” ujar dosen Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran itu saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (28/5).
Seiring waktu, lanjut Fadly, menu makanan dalam tradisi berbuka puasa pun mengikutsertakan gorengan. Fadly menuturkan, gorengan menjelma menjadi makanan populer di masyarakat karena proses pembuatannya terbilang mudah. Bahan-bahannya pun tak sulit didapat.
“Melimpahnya produksi minyak goreng dan konsumsi tepung terigu mendorong bahan-bahan tersebut dikreasikan sedemikian rupa untuk dibuat gorengan,” kata Fadly.
Penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) ini mengatakan, gorengan muncul karena ketidaksengajaan. Makanan sejuta umat ini mulanya dibuat dari bahan-bahan makanan sisa, yang diolah lagi agar tak terbuang sia-sia.
Orang Indonesia, terutama di wilayah Jawa, kata Fadly, sudah terbiasa memanfaatkan aneka bahan makanan yang tersisa untuk diolah dengan adonan tepung terigu.
“Tradisi ini sudah ada sejak awal abad ke-20. Olahan-olahan awalnya seperti rempeyek dan rengginang,” tutur Fadly.
Kemudian, dalam perkembangannya, diolah menjadi makanan, seperti bakwan. Makanan ini, kata dia, dikonsumsi secara tak sengaja oleh masyarakat, dengan mencampurkan bahan-bahan macam kol atau wortel lalu dicampur dengan tepung terigu.
Fadly mengatakan, tradisi menggoreng aneka bahan bersama adonan tepung terigu lekat dengan masyarakat di pedalaman. Lebih lanjut, ia menjelaskan, industri perkebunan kelapa sawit yang masif pada abad ke-20—yang menyulapnya menjadi minyak goreng—ikut andil membuat aneka kreasi kuliner gorengan.
“Dan masyarakat terlanjur bergantung pada minyak kelapa sawit ini, yang memang produksinya melimpah ruah. Hal ini juga terjadi mulai tahun 1970-an sampai sekarang,” ujarnya.
Industri kelapa sawit memang banyak menyasar konsumen rumah tangga. Peran minyak goreng itu mengangkat pamor gorengan sebagai kreasi makanan yang mudah dibuat dan memenuhi selera penikmatnya.
“Gorengan menjadi bagian juga dari sirkulasi distribusi kepala sawit ini. Bukan saja di ruang domestik, tetapi juga ada di usaha-usaha kecil menengah. Ini membuat gorengan menjadi makanan yang semula domestik menjadi diusahakan oleh pedagang-pegadang kecil menengah untuk konsumsi atau cemilan sehari-hari,” kata Fadly.
Sementara itu, bahan pokok gorengan, yakni tepung terigu, kata Fadly, digunakan untuk olahan gorengan karena paling murah, gampang diolah, tak lengket, dan renyah. Tepung terigu, lanjut Fadly, kebanyakan diolah dari bahan baku gandum. Ia menuturkan, tepung terigu dari gandum ini sangat digemari orang Indonesia.
“Terutama pada periode tahun 1970-an hingga 1980-an. Kalau kita perhatikan, impor terigu pada periode tahun 1970 sampai sekarang jumlahnya terus meningkat. Ini yang menjadi katalisator mengapa tukang gorengan juga semakin banyak,” ucap Fadly.
Berbahaya bagi kesehatan
Nyatanya, tak selama yang enak itu berdampak baik bagi kesehatan. Menurut dokter spesialis kardiologi yang berpraktik di Rumah Sakit Premier Jatinegara, Bambang Budi Siswanto, gorengan bisa memicu kolesterol.
Yang paling berbahaya dari gorengan, kata Bambang, ada di minyak gorengnya. Bambang mengatakan, penjaja gorengan jarang mengganti minyak yang mereka pakai untuk menggoreng.
“Minyak tersebut bisa dipakai untuk beberapa hari. Padahal, minyak goreng seperti itu sudah dikotori sama makanan yang digoreng sebelumnya. Sudah pasti kadar kolesterolnya meningkat,” kata Bambang saat dihubungi, Selasa (28/5).
Lebih lanjut, Bambang mengatakan, kolesterol dari gorengan bisa menyumbat pembuluh darah, dan bisa menyempit. Akibatnya, jantung kian berat memompanya.
“Bisa hipertensi dan berakhir strok. Selain itu, minyak gorengan bisa membuat tenggorokan gatal dan menyebabkan batuk-batuk,” ujar Bambang.
Minyak goreng yang digunakan berulang kali, kata Bambang, bisa membuat komponen minyak itu berubah menjadi unsur lain yang tak baik bagi kesehatan. Minyak itu kemudian mengiritasi jaringan lunak yang berada di dalam mulut, lidah, dan tenggorokan.
“Sebelum menyentuh lambung, minyak yang enggak bagus tersebut menggores jaringan lunak. Ya pasti mengiritasinya, makanya bisa batuk-batuk dan lain sebagainya,” tutur Bambang.
Bambang menyarankan untuk membuat gorengan mandiri di rumah, dan mengganti minyak secara berkala. Takaran minyak dan cara penggunaannya, kata dia, merupakan bagian terpenting untuk meminimalisir dampak buruk makan gorengan.
Bambang pun mengingatkan, untuk orang yang sedang menunaikan ibadah puasa, jangan langsung makan, sebelum minum air manis atau mencicipi kurma. Sebab, usai berpuasa berjam-jam, tiba-tiba dijejali makanan, produksi asam lambung akan naik berlebih.
“Apalagi itu gorengan. Produksi asal lambung meningkat, bikin sakit mag. Ini puasa niatnya untuk menyembuhkan, malah makin parah,” tutur Bambang.