Dalam peristilahan dunia seni rupa, Mooi Indie dimaksudkan sebagai corak karya lukisan abad ke-19 yang menggambarkan keindahan pemandangan alam Hindia Timur yang eksotik. Namun, di ruang galeri Salihara, sebuah karya berjudul “Mooi Indie 21st Century” tak hanya tampak indah tapi juga sarat pesan kritis tentang pencemaran lingkungan.
Andrita Yuniza, seniman pembuatnya, menampilkan jejeran bola warna-warni seukuran genggaman tangan yang terbuat dari resin. Ada yang berwarna coklat, merah muda, hijau, merah pekat, abu-abu, dan biru.
Lulusan Program Studi Seni Rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung itu, tergelitik dengan pencemaran air di Sungai Cikapundung, Jawa Barat. Dengan pengamatan ke lokasi, Andrita mengetahui asal warna merah yang mencemari Sungai Cikapundung bersumber dari limbah pabrik tekstil di sekitarnya. Ada pula letupan-letupan kecil berwarna coklat yang tampak di permukaan air.
“Kata warga setempat, itu dari kotoran ternak sapi yang dialirkan ke sungai. Jadi, gas dari feses sapi itu terlihat di sungai,” ucap Andrita, Sabtu siang (14/9).
Begitu pula dengan riset serupa yang dia lakukan di muara pertemuan Sungai Citarik dan Citarum di Kabupaten Bandung. Hasil amatan itu, dia olah menggunakan campuran cat air dan resin yang dibentuk menjadi bola-bola kecil dengan gradasi gelap-terang yang unik.
“Di balik keindahan itu, apakah alam Indonesia masih cantik? Saya ingin menyampaikan ironi. Bahwa di balik itu, pencemaran alam terjadi di mana-mana,” kata Andrita.
Karya Andrita yang disertai video visualisasi perubahan warna akibat pencemaran sungai adalah salah satu dari 24 karya yang ditampilkan pada Pameran Kompetisi Karya Trimatra Salihara 2019. Pameran digelar hingga 28 September di Gerai Salihara, Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Argya Dhyaksa, seniman lainnya, menghadirkan karya keramik bertulisan kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat penuh sindiran.
“Info dari paguyuban sebelah:
Pria tiga perempat baya tertangkap basah sedang berhubungan badan dengan Badan Meteorologi & Geofisika. Diduga pelaku tidak dapat mengontrol birahi karena terlalu sering melihat relief Candi Borobudur. Motif pelaku melakukan itu adalah motif polkadot Yayoi Kusumawardhani. Sebarkan jangan berhenti di kamu!! Pahamin kalau kamu mau masuk surga.
Argya menuturkan, ide karyanya muncul dari pesan-pesan di grup WhatsApp keluarganya yang menurutnya banyak berisi keganjilan. Struktur sintaktis kalimat di atas lantas disusunnya secara impulsif sebagai upaya menghancurkan tatanan dan makna. Muncullah plesetan kalimat dan plesetan makna.
Bentuk kalimat tersebut tak jarang kita terima pula dalam grup-grup komunikasi dalam ponsel kita. Bagi Argya, hal itu sering membuatnya sedikit kesal, tetapi juga tersentil. Dia juga tertarik dengan kekayaan kosakata bahasa Indonesia.
“Bahasa Indonesia banyak memiliki kata yang ambigu, itu jadi sumber keasyikan tersendiri. Kata ‘badan’, misalnya, ada yang berarti tubuh tapi juga lembaga atau organisasi,” ucapnya.
Selanjutnya, Argya yang menempuh studi Kriya Keramik di FSRD ITB itu memilih bentuk prasasti dari bahan tanah yang diolah dengan teknik keramik. Menurutnya, prasasti adalah salah satu medium komunikasi manusia pada zaman dulu.
“Saya tertarik membuat objek karya yang diberi narasi untuk menghancurkan maknanya. Misalnya plesetan kata-kata. Teks itu lalu menarik karena dibuat pada media keramik,” tutur Argya.
Asikin Hasan selaku kurator seni rupa Salihara mengatakan ada keunggulan teknik dan pemahaman para seniman terpilih yang memenangkan kompetisi Trimatra 2019. Terkait tema Speed/Laju, menurut Asikin, 24 karya yang dipamerkan mampu mengangkat isu dari fenomena yang terjadi dalam kehidupan nyata.
Kecepatan manusia modern untuk memenuhi kebutuhannya, di sisi lain telah mengakibatkan pencemaran lingkungan—seperti ditunjukkan karya Andrita. Sementara terhadap karya Agrya, Asikin melihat fenomena yang kuat dari fenomena kecepatan dan keberlimpahan arus informasi. Masyarakat menjadi tergoda menyebarkan pesan dari media sosial tapi jarang mencermatinya lebih dulu.
“Mereka (seniman dalam pameran Trimatra 2019) paham betul medium atau bahasa yang dipakai,” kata Asikin.
Karya-karya tiga dimensi yang dipamerkan dalam pameran ini merupakan hasil seleksi dari 200 pendaftar, yang lalu menghasilkan 24 karya, termasuk dari tiga pemenang dengan karya terbaik.