close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah (tengah) dalam acara Magelang Bersholawat di Magelang, Jawa Tengah./Foto Instagram @silaturahmikebangsaan
icon caption
Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah (tengah) dalam acara Magelang Bersholawat di Magelang, Jawa Tengah./Foto Instagram @silaturahmikebangsaan
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 11 Desember 2024 16:06

Sertifikasi pendakwah bisa menimbulkan persoalan

Wacana sertifikasi pendakwah mengemuka usai polemik Miftah mengolok-olok tukang es teh.
swipe

Presiden Prabowo Subianto menyebut, pemerintah bakal meminta pendapat majelis ulama dan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan guna usulan sertifikasi untuk pendakwah dari Kementerian Agama (Kemenag). Usulan sertifikasi pendakwah itu datang dari anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq setelah viral Miftah Maulana Habiburrahman yang meledek tukang es teh di acara pengajian di Magelang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.

Menurut Maman, pendakwah semestinya adalah orang yang paling tidak menguasai sumber-sumber nilai keagamaan, baik dari Alquran, hadis, atau sumber-sumber klasik. Ulama pun dianjurkan punya tema-tema pokok keagamaan pada setiap sumber ceramah. Dia menegaskan, tak boleh ada bahasa kotor atau candaan yang mengolok-olok orang lain saat berdakwah.

Menanggapi wacana itu, Menteri Agama Nasaruddin Umar, dikutip dari Antara, mengatakan pihaknya menerima dan menindaklanjuti usulan terkait dengan sertifikasi juru dakwah tersebut.

“Sedang kita kaji nanti dalam waktu dekat ini,” kata Nasaruddin di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (9/12), seperti dikutip dari Antara.

Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil menilai, rencana melakukan sertifikasi pendakwah tidak strategis. Bahkan, bisa menimbulkan “kericuhan”. Sebab, gelar ulama atau pendakwah adalah wilayah masyarakat sipil, bukan negara.

Di beberapa negara, menurut Sukron, memang ada yang mengatur ketat peran ulama atau juru dakwah. Semisal di Arab Saudi dan Malaysia. Di sana, seseorang tidak bisa menjadi ulama atau pendakwah, tanpa seleksi dari pemerintah. Gerak-geriknya juga selalu diawasi.

“Di Arab Saudi, orang tidak bisa jadi ulama atau kiai kecuali melewati semacam saringan pemerintah, apakah dia punya standar ilmu atau enggak,” kata Sukron kepada Alinea.id, Selasa (10/12).

Namun, jika meniru Arab Saudi atau Malaysia, maka akan sangat berpotensi pemerintah menjadi sangat otoriter terhadap ulama. Terlebih ulama yang kritis terhadap pemerintah.

“Walaupun Malaysia menjalankan demokrasi, tapi agama diatur banget oleh raja atau kepala negara,” ujar Sukron.

Selain itu, menurut Sukron, Indonesia merupakan negara sekuler moderat, yang menempatkan agama sebisa mungkin tidak terlalu terbirokratisasi. Sedangkan sertifikasi pendakwah bisa membuat agama menjadi terbirokrasi dan dikendalikan sesuai selera pemerintah.

“Sama halnya seperti di Mesir itu, diatur dengan adanya Kementerian Agama. Tapi, lebih bersifat administratif,” ucap Sukron.

“Jangan sampai lebih dari itu. Apalagi kalau kita lihat dari sisi penerapan demokrasi. Kita kan jauh indeks demokrasinya karena pemerintah terlalu suka, apa yang disebut dengan model negara totaliter.”

Di level akar rumput, Sukron khawatir sertifikasi pendakwah bisa membuat kericuhan. Semisal, ulama yang dipercaya masyarakat untuk memimpin salat di masjid, mengalami peminggiran oleh pendakwah yang tersertifikasi.

“Semua ditata ulang dan akan ada keterbatasan khatib. Apalagi selama ini ulama sebagai wilayah sosial itu memang yang menentukan masyarakat,” kata Sukron.

Meski begitu, dia memahami ulama “pilihan” masyarakat tidak selalu berkualitas. Bahkan banyak yang berperilaku feodal, sehingga yang terjadi pengkultusan secara berlebihan.

“Dalam masyarakat yang tidak terdidik, itu problem sosial kita. (Contohnya) para habib yang dihormati berlebihan, itu bertentangan dengan Alquran,” ujar dia.

“Oleh karena itu, sebagian dari mereka arogan. Padahal, Islam itu mengajarkan meritokrasi, bukan berdasarkan darah.”

Sukron mengatakan, sertifikasi pendakwah pun bertentangan dengan konsep negara modern, yang terdapat dua model. Pertama, model sekuler yang tidak mengintervensi dan menempatkan agama dalam ranah sosial. Kedua, model kapitalis yang menganjurkan negara tak terlalu banyak diintervensi agama.

Sukron menerka, sertifikasi pendakwah akan lebih memunculkan muatan politis untuk mengebiri juru dakwah yang punya sikap kritis. Terlebih, Kemenag yang akan berperan memberikan sertifikasi.

“Kita tahu, Kemenag itu sejak era reformasi masuk kategori wilayah kementerian yang hanya menguntungkan kalangan tertentu saja,” tutur Sukron.

Dia mengingatkan, sertifikasi pendakwah yang akan dilakukan pemerintah perlu diwaspadai sebagai upaya sistematis mengeliminir mereka yang kritis. Jika tidak dikelola dengan baik, maka akan timbul konflik antara ulama yang pro-pemerintah dan ulama yang kritis.

“Bahkan, akademisi muslim yang bisa berbeda pandangannya dengan para ulama MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang konservatif juga bisa terjadi. Karut-marut yang akan terjadi,” ujar Sukron.

Dia melanjutkan, bila memang ingin meningkatkan standar mutu pendakwah, sebaiknya pemerintah cukup memberikan anjuran agar mereka menempuh pendidikan tinggi di lembaga agama yang otoritatif.

“Minimal yang boleh jadi ustaz itu harus alumni perguruan tinggi Islam. Itu kan jauh lebih baik dibanding dibirokratisasikan,” kata Sukron.

Sementara itu, sosiolog Musni Umar berpendapat, sertifikasi pendakwah tidak tepat. Sebab, bisa bertentangan dengan perintah agama, yang tertera dalam Alquran surat Ali Imran ayat 104, yang intinya menyerukan berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim.

“Berdakwah dalam arti, mengajak untuk melaksanakan amar ma’ruf (berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah berbuat jahat),” ujar Musni, Selasa (10/12).

Dari sisi ideologis, kata dia, juga tidak tepat. Karena Pasal 28 E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memastikan negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama serta kepercayaannya.

“Selanjutnya, ditinjau dari aspek sosiologis, berdakwah telah dijalankan bangsa Indonesia yang beragama Islam menurut kemampuan dan caranya masing-masing,” ujar Musni.

“Hal itu didasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, ‘sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat’. Jadi, berdakwah adalah kewajiban dan merupakan bagian dari ibadah ghairu mahdhah (jenis ibadah yang mencakup aspek kehidupan sehari-hari),” kata dia.

Selain itu, sertifikasi pendakwah dapat menimbulkan persoalan di masyarakat karena akan terjadi fragmentasi antara juru dakwah yang pro-pemerintah dan yang tidak.

“Di samping itu, akan merusak salah satu prinsip demokrasi, yaitu kebebasan,” ujar Musni.

“Jika sertifikasi para pendakwah diberlakukan, maka akan sangat negatif karena pemerintah bisa dinilai dan dimaknai melakukan pengekangan, bahkan pembatasan kebebasan dalam berdakwah.”

Karenanya, Musni berpendapat, sebaiknya urusan “penilaian” pendakwah diserahkan kepada masyarakat. Dia menjelaskan, kasus Miftah yang mengolok-olok tukang es teh tidak bisa dijadikan dasar untuk memberlakukan sertifikasi pendakwah. Lagi pula masyarakat juga sudah memainkan peran kritisnya dalam kasus itu.

“Gus Miftah telah dikoreksi dan diberi pelajaran oleh masyarakat melalui opini negatif di media sosial, sehingga memaksanya untuk mengundurkan diri sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan,” ucap Musni.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan