close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sampah puntung rokok. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi sampah puntung rokok. Foto Freepik.
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Senin, 05 Agustus 2024 16:01

Siapa jadi korban pelarangan menjual rokok eceran?

Presiden Jokowi sudah meneken PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang salah satu isinya melarang menjual rokok per batang atau eceran.
swipe

Presiden Joko Widodo atau Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keesehatan pada 26 Juli 2024.

Dalam pasal 434 aturan itu, pemerintah melarang menjual produk tembakau dan roko elektronik menggunakan mesin layan diri, kepada setap orang di bawah 21 tahun dan perempuan hamil, dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui, dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial, serta secara satuan per batang atau rokok eceran kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.

Dalam pasal 429 ayat (4) beleid itu disebutkan, produk tembakau yang juga dilarang untuk diperjualbelikan secara eceran, selain cerutu dan rokok elektronik, antara lain rokok, rokok daun, tembakau iris, tembakau padat dan cair, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

Salah seorang pedagang toko kelontong di daerah Petukangan, Jakarta Selatan, Acong, menyayangkan kebijakan ini. Sebab, keuntungan besar dari warungnya bersumber dari rokok eceran. Apalagi, dia mengaku hanya berani memberikan rokok jika pembelinya pelajar SMA.

“Kalau masih SMP mah kagak kita kasih (kalau mau beli rokok),” kata Acong kepada Alinea.id, Kamis (1/8).

Salah seorang pedagang lainnya yang berjualan di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rudi, memastikan pelajar di sekitar warungnya tidak ada yang membeli rokok. Dia mengatakan, mayoritas pembeli rokok adalah karyawan yang berkantor di dekat warungnya.

Menurutnya, rokok eceran yang dijualnya sering kali dibeli tukang parkir. Meski tidak banyak, tetapi dia mengaku, kebijakan ini membatasi pemasukannya.

“Padahal lumayan masih jualin (rokok) eceran. Biar kata dikit mah (pendapatnnya), kan nambahin untung juga,” ucap Rudi.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, berdasarkan data survei kesehatan Indonesia (SKI) 2023 jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.

Kelompok anak dan remaja, disebut Kemenkes, merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). Sedangkan data SKI 2023 menunjukkan, kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).

Dikutip dari Antara, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heriyanto mengatakan, larangan penjualan rokok eceran tak akan berdampak pada penerimaan negara.

Nirwala menuturkan, penerimaan cukai dari rokok dipungut pada tingkat pabrik. Maka dari itu, penjualan per batang tak berpengaruh terhadap pungutan cukai. Dia menilai, kebijakan pembatasan nonfiskal lebih menekankan usaha mengurangi prevalensi merokok. Dengan adanya larangan menjual rokok eceran, diharapkan bisa mengurangi keinginan warga membeli rokok karena harga yang mahal. Kebijakan itu pun diharapkan bisa mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansah mengaku heran dengan kebijakan ini. Dia tidak merasa ada urgensi yang harus ditangani soal rokok eceran. Justru, kata dia, pedagang kecil bisa menjadi korban secara langsung ketika dilarang menjualnya ke orang-orang yang tidak cukup mampu membeli rokok satu bungkus.

“Pedagang kelontong, starling (starbuck keliling, sebutan penjual kopi dan rokok yang menggunakan sepeda), dan warung hidup dari rokok (eceran),” kata Trubus, Minggu (4/8).

Menurut Trubus, kebijakan ini hanya akan membuat pintu lain yang membuka akses lebih liar kepada rokok selundupan dan tidak terlacak cukai. Akhirnya, tidak hanya pedagang kecil, industri rokok dalam negeri bisa juga tersingkir. Pemerintah, kata Trubus, juga harus memberikan solusi bagi industri rokok untuk mengatasi kemungkinan terburuk itu.

Bila tidak, maka pemerintah akan berhadapan kembali dengan buruh rokok yang berpotensi kehilangan mata pencahariannya. Selain itu, alasan mencegah anak kecil membeli rokok dalam kebijakan melarang menjual rokok eceran, dianggap Trubus ngawur.

Pasalnya, angka anak-anak yang merokok karena diduga membeli secara eceran dianggap data kasar. Menurut dia, hampir tidak ada pembandingnya. Karena itu, Trubus tidak melihat kegentingan yang harus diatasi dari rokok eceran.

“Akan ada jenis rokok baru selundupan untuk membunuh industri,” ucapnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan