Siasat dan semangat kolaborasi perupa dalam situasi pandemi
Di masa sulit akibat pandemi Covid-19, pelukis sekaligus Ketua Kilau Art Studio, Jakarta, Saepul Bahri harus putar otak agar dapur di rumahnya tetap ngebul. Ia menangkap peluang dengan menjual jasa melukis masker.
Maskini merupakan salah satu merek yang memasarkan masker yang telah dilukisnya. Penjualannya dilakukan lewat media sosial Instagram. Selembar masker yang dilukisnya dibayar Rp100.000-Rp200.000. Dalam sebulan, ia mampu mendapatkan untung Rp10 juta.
“Hal yang sederhana kayak masker, tetapi dikerjakan dengan senang hati, sama saja dengan berkarya yang besar,” ucapnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (25/10).
Saepul pun mencari peluang mengerjakan proyek seni, seperti mural yang melibatkan sejumlah perupa, serta pengemasan bingkisan kado.
Sementara itu, pelukis lainnya yang juga anggota Kilau Art Studio, Sugiarto mengatakan, sebelum pandemi ia memperoleh pemasukan utama dari kursus melukis. Namun, pada Maret hingga Juni 2020 kursus ditiadakan. Ia baru bisa membuka kursus kembali pada Juli 2020, hanya seminggu sekali. Dari situ, ia mendapatkan pemasukan Rp200.000.
“Inginnya sih bisa setiap hari, tapi pesertanya sedikit. Mungkin mereka juga ada perampingan pengeluaran dana,” tutur Sugiarto ketika dihubungi, Jumat (23/10).
Demi menambah pemasukan, Sugiarto pun menekuni jasa pembuatan cendera mata dari resin.
Kolaborasi karya
Saepul mengakui, saat pandemi para perupa kesulitan menggelar pameran karya secara offline. Peluang itu, kata Saepul, ibarat kemewahan di masa sekarang. Akibatnya, seniman merasa sangat terpukul secara materi dan psikologis.
“Hampir semua tak bisa berkomunikasi untuk merencanakan pameran. Pameran selama pandemi ini sangat tidak mungkin. Kalaupun ada, itu rezeki,” ucapnya.
Pandemi memang membuat beberapa pameran seni rupa harus ditunda, bahkan dibatalkan. Berdasarkan data Koalisi Seni Indonesia (KSI) yang dihimpun pada April 2020, setidaknya ada 234 acara seni tertunda karena pandemi. Dari jumlah itu, sebanyak 33 merupakan pameran seni rupa.
Tak menyerah karena situasi yang serba menjepit, Saepul lantas menjajal peruntungan lewat program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dana insentif yang diterima, dimanfaatkan untuk memproduksi karya selama nyaris sebulan.
Maka, sejak 19 September 2020, 10 orang perupa dari Kilau Art Studio mengerjakan karya kolaboratif, dengan difasilitasi program Kemendikbud tersebut. Mereka berkolaborasi dengan 30-an orang perajin resam dari Desa Batanghari dan Sukamaju, Jambi, membuat karya instalasi bertajuk “Instalasi Harmoni(S)”.
Menurut Saepul, karya instalasi itu berukuran tinggi 10 meter, panjang 13 meter, dan lebar empat meter. Instalasi tersebut diolah dari potensi masyarakat setempat sebagai perajin resam. Karya tersebut selesai pada 3 Oktober 2020.
Saepul mengatakan, karya instalasi itu memiliki makna mendalam, yakni menjalin keberagaman peradaban. Instalasi itu kemudian berdiri di depan bangunan kedaton, di dalam kompleks Candi Muaro Jambi.
Sugiarto, salah seorang perupa yang ikut dalam proyek seni “Instalasi Harmoni(S)” mengatakan, keterlibatannya bersama perajin resam di Jambi merupakan pengalaman berharga.
“Keterlibatan dalam kolaborasi karya dampak masyarakat itu nilainya lebih dari sekadar angka-angka,” ucap Sugiarto.
Selain mendapat kesempatan bertukar pengalaman budaya yang berbeda, Sugiarto menilai, proses dan hasil karya yang dikreasi bersama-sama mampu merangsang peluang ekonomi dan kemandirian warga di sekitar Candi Muaro Jambi.
Sedangkan bagi dirinya sendiri, keuntungan ekonomi yang didapat dari produksi karya, cukup untuk menghidupi kebutuhan selama sebulan dan membeli peralatan lukis.
Program FBK dibuka Ditjen Kebudayaan Kemendikbud sejak Maret 2020. Bagi seniman yang proposalnya disetujui, pelaksanaan produksi karya dijadwalkan berlangsung hingga November 2020.
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, program FBK hanya salah satu upaya pihaknya dalam memberi bantuan kepada seniman yang terdampak pandemi. Di samping itu, kata dia, bertujuan menyambut pertumbuhan karya seni yang semakin relevan dengan situasi di masyarakat.
“Dengan memanfaatkan FBK inilah, para seniman bisa terpacu untuk menghasilkan karya yang dapat menjawab kebutuhan itu,” kata Hilmar ketika dihubungi, Jumat (23/10).
Hilmar mengatakan, antusiasme tinggi peserta FBK menjadi penanda semangat berkesenian yang masih menyala, meski dalam kondisi tak menentu. Ia menuturkan, dari 1.200 proposal yang masuk, terjaring 80-an kelompok perupa untuk difasilitasi.
Para seniman yang terpilih dalam program ini, mendapatkan maksimal Rp750 juta untuk dokumentasi karya atau pengetahuan maestro, maksimal Rp1 miliar untuk karya kreatif inovatif, dan maksimal Rp1 miliar untuk pendayagunaan ruang publik.
“Yang terpenting ialah kreasi karya ini memilih gagasan tanpa terlalu berlebihan memikirkan secara teoretis,” ujarnya.
“Tetapi upayakan bagaimana interaksi publik dengan bentuk karyanya.”
Tetap pameran
Meski banyak pameran seni rupa harus ditunda dan batal, tetapi Art Jog 2020—salah satu pameran seni rupa yang popuer di Indonesia—tetap dihelat. Pameran itu diadakan pada 8 Agustus-10 Oktober 2020 di Jogja National Museum, Yogyakarta. Mengambil tema “Resilience”.
Direktur Her Pemad Art Management (HPAM) sekaligus pemrakarsa Art Jog, Heri Pemad mengatakan, penyelenggaraan Art Jog 2020 didorong antusiasme yang besar dari seniman untuk menampilkan karya mereka.
“Kami tak mungkin diam. Kalau diam itu sama saja kami menyerah,” kata Heri saat dihubungi, Jumat (23/10).
Lebih lanjut, Heri menuturkan, pandemi membuatnya berpikir untuk merancang konsep pameran Art Jog di masa depan, memadukan luring dan daring. Tahun ini, tim penyelenggara Art Jog mengemas sajian audiovisual secara daring, yang memudahkan publik melihat 170 karya dari 140 seniman.
“Kami bikin simulasi seakan-akan ada pengunjung. Ini kita buat seperti film yang mendokumentasikan kegiatan seniman, juga mengeksplorasi penampilan karya kepada publik,” katanya.
Ia mengatakan, penggunaan metode virtual akan dikembangkan, tak hanya karena pandemi, tetapi juga menyiasati keterbatasan ruang pamer di Jogja National Museum. Ruang pamer di Jogja National Museum terdiri dari dua lantai. Pengunjung yang banyak mustahil menerapkan anjuran jaga jarak.
“Inilah titik awal penerapan seni yang sejak 2017 kami upayakan, yaitu e-pameran. Kami juga menantang seniman untuk membuat karya digital yang ditayangkan secara online,” katanya.
Sementara itu, pelukis, dosen, serta kandidat doktor kajian tasawuf dan seni dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Hajriansyah tengah mempersiapkan pameran tunggalnya, bertajuk “Suluk: Journey to Indepth Memory”.
Rencananya, pameran itu diadakan pada 26 Oktober-8 November 2020 di Kampung Buku Banjarmasin. Puluhan karya lukisnya akan dipamerkan di acara itu, termasuk sejumlah karya lukis dengan media gerabah dan kayu.
Pameran tunggal ini sudah direncanakan Hajriansyah sejak 2017. Pandemi lantas tak menyurutkan rencana itu. Baginya, pandemi justru memberikan kesempatan untuk menggerakkan aktivitas berkeseniannya.
“Kegiatan-kegiatan seni di sini belakangan cenderung sepi. Jadi, kami lakukan ini secara mandiri,” kata Hajriansyah saat dihubungi, Jumat (23/10).
Dalam pameran tunggalnya nanti, Hajriansyah tetap berusaha menerapkan protokol kesehatan. Ia pun berharap, pameran itu bisa mendorong apresiasi warga yang berkunjung.
“Kami berani mengadakan (pameran) karena di Jakarta dan Jogja sudah mulai digelar lagi secara langsung,” ucapnya.
Hibah seni dan alih wahana
Kurator seni Bambang Asrini Widjanarko memandang, program bantuan dari Kemendikbud untuk perupa cukup mendukung produktivitas seniman dalam menghasilkan karya. Meski begitu, ia mengatakan, masih banyak kelompok seniman kecil yang belum terjangkau program itu.
“Penyebabnya, konsep pendampingan berkesenian cenderung hanya dalam jangka pendek. Semestinya, bisa berlangsung secara berkelanjutan,” ujar Bambang saat dihubungi, Rabu (21/10).
Ia memandang, produksi karya instalasi yang dikreasi Kilau Art Project di Jambi hanya salah satu wujud keberhasilan yang menyasar kolektif seniman yang belum mapan. Namun, ia menyebut, komunitas kolektif seniman yang belum mapan jumlahnya banyak.
“Seharusnya mereka didampingi oleh pemerintah. Sayangnya, pemerintah selalu hanya sekali bantuannya,” tuturnya.
Menurut Bambang, pendampingan simultan dari pemerintah dibutuhkan demi mendorong kemandirian warga dalam mengelola hasil berkesenian. Pendampingan itu, ujarnya, meliputi aspek manajemen dan olah kreativitas.
Terkait hasil karya dari program Kemendikbud, seperti “Instalasi Harmoni(S)”, Bambang menilai, pemantauan pemerintah diperlukan untuk memastikan karya yang dibuat lebih terasa manfaatnya bagi warga setempat. Beberapa aspek yang membutuhkan pengembangan, yakni pengemasan dan pemasaran kerajinan dari resam yang dihasilkan warga.
“Outcome dari karya ini belum ada, karena perlu waktu dan dorongan keterlibatan masyarakat setempat. Perlu minimal satu tahun untuk menghasilkan outcome yang memberikan manfaat bagi masyarakat,” katanya.
Di sisi lain, pandemi Covid-19 membawa tantangan dalam pola apresiasi dan penyajian karya. Ia berpendapat, peralihan pameran dari konvensional ke virtual masih butuh proses panjang. Menurut Bambang, ruang memengaruhi serapan dalam mengapresiasi sebuah karya seni rupa. Hal itu, kata dia, akan terhambat dalam aspek virtual.
“Kita masih perlu pembiasaan budaya online. Ciri dari seni itu harus dapat dirasakan atmosfer karyanya,” kata dia.
“Hanya kalangan usia muda yang terbiasa daring, sedangkan kolektor cenderung langsung melihat karya di lokasi.”