close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
llustrasi seorang pria bekerja dari rumah./Foto Pexels.com
icon caption
llustrasi seorang pria bekerja dari rumah./Foto Pexels.com
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 20 Desember 2024 06:30

Sisi gelap bekerja dari rumah: Terisolasi dan overworking

Work from home (WFH) menjadi kelaziman usai pandemi. Namun, apakah selalu positif?
swipe

Seorang assistant content strategist di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, Dara Putri, mengaku work from home (WFH) atau bekerja dari rumah benar-benar fleksibel. Dia bisa mengatur waktu dan lingkungan kerjanya sendiri. Sedangkan jika bekerja di kantor, dia mengatakan, terkadang banyak gangguan.

“Entah itu suara bising atau rapat yang enggak ada habisnya,” kata Dara kepada Alinea.id, Rabu (18/12).

“Tapi di rumah, saya bisa fokus banget ngerjain tugas tanpa stres. Dan yang paling penting, saya bisa atur waktu istirahat, makan, atau santai. Intinya, saya lebih bisa produktif dan selesai lebih cepat, tanpa ngerasa tertekan.”

Dara mengaku, bekerja dari rumah membuat kualitas pekerjaannya lebih baik. Namun, ada pula tantangannya.

“Meskipun saya ngerasa lebih fokus, kadang-kadang saya ngerasa agak isolated gitu,” ujar Dara.

Menurut dia, kurang ada interaksi langsung dengan teman-temannya di kantor. Hanya saja, dia mengatasinya dengan jadwal panggilan video atau berkirim pesan singkat rutin, agar tetap terhubung.

“Kadang juga WFH bisa bikin waktu kerja dan pribadi jadi nge-blur, apalagi kalau deadline banyak,” ucap Dara.

“Saya harus disiplin banget, sih. Biar enggak terlalu larut dalam kerjaan. Saya atur jam kerja supaya tetap seimbang antara kerja dan waktu buat istirahat.”

Bekerja dari rumah menjadi hal yang baru—dan seiring waktu jadi lazim—selama pandemi Covid-19 pada 2020. Ada sisi positif dari pola kerja jarak jauh ini.

Penelitian yang dilakukan ekonom Stanford University, Nicholas Bloom, bersama peneliti asal The Chinese University of Hong Kong, Han Ruobing, dan asal Peking University, James Liang yang diterbitkan jurnal Nature (Juni, 2024) mengungkapkan bukti kuat kalau jadwal bekerja dari rumah merupakan keuntungan bagi karyawan dan atasan.

Para peneliti melakukan eksperimen terhadap lebih dari 1.600 pekerja di Trip.com—agen perjalanan daring terbesar di dunia. Mereka menemukan, karyawan yang bekerja dari rumah selama dua hari seminggu, sama produktifnya dan sama besar kemungkinannya untuk dipromosikan seperti rekan-rekan mereka yang bekerja di kantor.

“Pengunduran diri turun hingga 33% di antara pekerja yang beralih dari bekerja penuh waktu di kantor ke jadwal kerja campuran,” tulis Stanford Report.

Walau ada sisi positifnya, WFH juga punya sisi negatif. Direktur pelaksana grup dan pendiri spesialis layanan bisnis Peninsula Group, Peter Done, dalam Forbes menulis, mengaburkan batasan antara rumah dan kantor dapat membuat orang sulit untuk berhenti bekerja.

Done menulis, dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Eurofound disebutkan, sebesar 41% pekerja jarak jauh merasa stres dibandingkan mereka yang tetap bekerja di kantor, sebesar 25%. Dari kelompok yang sama, 42% mengalami kesulitan tidur.

Done pun menyoroti soal terisolasi. Menurutnya, bekerja dari rumah sering kali bisa menjadi pengalaman yang sepi atau terisolasi karena banyak yang merasa terputus dari budaya kantor, kehilangan kesempatan untuk mengobrol saat rehat, dan membangun hubungan dengan rekan kerja.

Terkait merasa terisolasi kalau bekerja dari rumah, psikolog klinis Stefany Valentia mengatakan, jika seseorang bisa mengatur aktivitas dengan baik, maka WFH tidak selalu berdampak negatif. Misalnya, meski seseorang tidak bertemu rekannya di tempat kerja, dia bisa menyeimbangkannya dengan tetap berinteraksi sosial di luar jam kerja.

“Namun, jika setelah jam kerja pun seseorang terus mengisolasi diri dan menghindari interaksi sosial, ini bisa memicu masalah kesehatan mental,” kata Stefany, Rabu (18/12).

“Pola menarik diri seperti ini dapat berkembang menjadi masalah yang lebih serius jika dibiarkan terus menerus.”

Sisi negatif lainnya, menurut Stefany, WFH dapat meningkatkan risiko bekerja berlebihan dan burnout karena batasan waktu kerja yang kabur. Dia menerangkan, seseorang bisa bekerja tanpa henti, bahkan sampai larut malam, tanpa sadar.

“Jam istirahat seperti makan siang juga sering kali tidak jelas karena fleksibilitas yang berlebihan,” tutur Stafany.

Oleh karena itu, Stefany mengingatkan, seseorang harus tetap punya struktur jadwal yang teratur, walau bekerja dari rumah. Misalnya menentukan jam kerja yang jelas dan menyediakan waktu istirahat. Jam kerja bisa disesuaikan sama seperti jadwal kantor.

“Intinya, meskipun lokasi kerja di rumah, kita tetap harus disiplin dalam menerapkan struktur harian agar tidak terjebak dalam pola overworking,” ucap Stefany.

Kemudian, menjadwalkan interaksi sosial dan meluangkan waktu untuk diri sendiri. “Dengan menerapkan langkah-langkah ini, kita bisa menjaga keseimbangan yang sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, meskipun bekerja dari rumah,” kata Stefany.

img
Irene Anggraini
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan