Sisi kelam di balik mewahnya beach club
Beberapa hari lalu, lewat unggahan video singkat yang diunggah di akun Instagram @raffinagita1717 di tengah kesibukannya menjalani ibadah haji di Makkah, Arab Saudi, selebritas Raffi Ahmad memutuskan mundur sebagai investor dari proyek beach club di kawasan Pantai Krakal, Gunungkidul, Yogyakarta.
Keputusan itu diambil menyusul banyaknya protes warga terkait pembangunan proyek tempat hiburan itu. Ia memutuskan mundur karena proyek yang diumumkan pada Desember 2023 itu diduga melanggar peraturan hukum.
Proyek beach club itu menuai protes karena pembangunannya terletak di dalam kawasan bentangan alam karst Gunung Sewu, yang merupakan kawasan lindung geologi yang tak boleh dibangun apa pun. Selain itu, proyek tersebut belum memiliki analisis dampak lingkungan atau amdal.
Beach club merupakan pub atau bar yang berada di pinggir pantai, dengan menyuguhkan pemandangan pantai. Biasanya fasilitas yang ada dalam beach club, antara lain restoran, kolam renang, dan lain-lain. Beach club banyak dijumpai di daerah-daerah atau pulau yang dikelilingi laut. Di Bali atau Lombok, tempat semacam ini tak sulit ditemukan.
Di Bali, beach club Finns dan La Brisa di Canggu, sangat dikenal pelancong. Di Meksiko, ada beach club Taboo dan Mandala. Lalu, di Spanyol ada Hai Ibiza dan di Uni Emirat Arab ada Nikki Dubai yang tersohor.
Italia juga menjadi negara yang terkenal dengan beach club-nya. Melansir Salone Milano, Kota Viareggio memiliki jumlah beach club terbanyak, di antaranya Bagni Dori dan Stabilimento de’Bagni yang dibangun pada 1820-an. Setelah itu, mulai dibangun beach club di Kota Rimini dan Emilia-Romagna Riviera, Livorno, Venice Lido, sepanjang pantai Liguria, serta kota-kota pesisir, seperti Napoli dan Palermo.
“Pesisir Italia terbentang sepanjang 8.300 kilometer. Terdapat 27.335 konsesi pantai untuk tujuan pariwisata di negara ini. Diperkirakan 60% garis pantai Italia dibangun beach club,” tulis Salone Milano.
Kerusakan lingkungan dan privatisasi
Bisnis beach club memang menggiurkan bagi pengusaha berkantong tebal. Namun, tak jarang memunculkan resistensi, terutama bagi warga sekitar tempat wisata pantai.
Sebagai contoh, awal 2022 rencana pembangunan beach club menjadi kekhawatiran warga Queensland, Australia. Pemerintah Kota Gold Coast—sebuah kota pesisir di negara bagian Queensland—dilansir dari situs Wildlife Queensland, mengaku bahwa pantai dan kawasan bisnis terkena dampak manusia akibat tingginya urbanisasi, polusi, dan limpasan air hujan. Akibatnya, satwa liar di wilayah ini ikut terganggu.
Namun, hal itu tak menghalangi anggota Dewan Kota Gold Coast untuk melakukan uji coba pembangunan beach club yang membentang sekitar 20 mil di atas bukit pasir utama di Pantai Kurrawa dari Desember 2021 hingga 31 Januari 2022.
“(Sebanyak) 15 ton sampah dilaporkan dibersihkan dari Pantai Gold Coast setiap tahunnya, dan erosi serta degradasi bukit pasir telah menghasilkan pengerukan pasir senilai miliaran dolar selama 50 tahun terakhir,” tulis Wildlife Queensland.
“Mengizinkan bar pantai dan kegiatan mencari keuntungan langsung di bukit pasir utama pantai akan memperburuk kerusakan lingkungan, sampah, dan masalah sosial di Gold Coast.”
Pantai-pantai di Queensland menjadi habitat burung. Burung-burung yang rentan bakal terdampak, antara lain Australian painted snipe, burung penangkap tiram jelaga yang langka, dan burung migrasi curlew Timur yang sudah terancam punah. Pantai-pantai di Australia juga merupakan tempat bersarang enam dari tujuh spesies penyu laut di dunia.
Dikutip dari Luxiders, pantai adalah ekosistem yang rumit, dengan tantangan yang berbeda dibandingkan lingkungan perkotaan. Editor buku Overtourism: Lessons for a Better Future, yakni Martha Honey dan Kelsey Frenkiel menguraikan, kota-kota di tepi pantai sedang berjuang melawan erosi pasir, hilangnya terumbu karang, menurunnya kehidupan laut, pertumbuhan alga, dan hewan-hewan yang terdampar di pantai. Meski Honey dan Frenkiel mengakui adanya kontribusi signifikan terhadap perubahan iklim, tetapi banyaknya pengunjung yang tidak diatur merupakan dampak paling besar terhadap lingkungan pesisir yang sudah rapuh.
Dampak negatif wisata berlebihan di pantai tak semata-mata disebabkan kehadiran manusia, melainkan kombinasi beberapa faktor. Riset Institute of Environmental Science and Technology Universitat Autonoma de Barcelona pada 2021 menemukan, rekreasi di pulau-pulau Mediterania menyumbang 80% sampah laut di wilayah tersebut. Menjadikan pariwisata sebagai salah satu sumber utama sampah makro di pantai.
Penyebabnya adalah pembangunan infrastruktur yang berlebihan, seperti hotel, resor, restoran—termasuk beach club—yang dekat dengan laut. “Polusi cahaya dan suara dapat memengaruhi pola bersarang dan mencari makan biota darat dan laut,” tulis Luxiders.
Eksisnya banyak beach club di Bali pun menimbulkan persoalan serupa. Pada 2016, antropolog dari University of Queensland, Thomas Wright menulis di The Conversation bahwa Canggu menjadi “tempat tujuan” baru para turis setelah Kuta, Legian, dan Seminyak. Di daerah itu, baru dibangun beach club milik pengusaha Australia, tepatnya di Pantai Berawa. Beach club mengandalkan air tanah untuk konsumsi air sehari-hari. Seperti kebanyakan bisnis pariwisata dan rumah tangga di wilayah itu.
“Kurangnya pengelolaan dan konsumsi air yang berlebihan dapat menyebabkan akuifer mengalami penipisan air tanah dan penurunan permukaan tanah,” tulis Wright.
“Diperkirakan 60% air di Bali dikonsumsi oleh industri pariwisata. Hal ini tidak hanya berdampak pada sumber air, tetapi juga dapat merugikan pengguna di sekitarnya.”
Ia menyebut, permukaan air di Bali telah turun hingga 50 meter dalam 10 tahun terakhir di beberapa wilayah, dan 60% daerah aliran sungainya dinyatakan kering. Belum lagi, para pedagang di pantai yang sudah bertahun-tahun menjual minuman dingin dan makanan ringan di Pantai Berawa, tersingkir karena beach club baru itu.
Wright melanjutkan, asumsi jika semakin banyak bisnis pariwisata berarti semakin banyak kekayaan bagi penduduk Bali pun menyesatkan. Sebab, diperkirakan 85% bisnis pariwisata dimiliki orang non-Bali.
Pembangunan beach club juga kerap mengundang deforestasi. Semisal, awal Mei 2024 lalu beredar video di media sosial soal penebangan pohon berusia seabad di kawasan Seseh, Bali, yang diduga bakal dijadikan beach club baru. Video itu mengundang banyak protes.
“Di Bali, pengembang sering menebangi hutan dan bakau, serta mengeringkan lahan basah untuk membuka lahan bagi hotel, resor, dan pusat perbelanjaan baru,” tulis Changemakr Asia.
“Pola serupa juga terjadi di negara-negara, seperti Vietnam dan Meksiko, di mana lanskap alam diubah untuk mengakomodasi lapangan golf dan jalur kereta api.”
Di sisi lain, beach club adalah wujud dari privatisasi pantai. Seorang mahasiswa magister di Lund University Centre for Sustainability Studies (LUCSUS), Swedia, Mariarcangela Augello pernah menyinggung privatisasi pantai di situs Political Ecology Network.
Suatu hari, ia pergi ke sebuah pantai, yang pernah ia kunjungi sewaktu kecil. Situasi sudah sangat berubah. Ia menyaksikan, pantai itu sudah banyak berdiri beach club, hotel, serta resor. Padahal, dahulu merupakan teluk kecil tak terjamah atau hamparan pasir yang tak berujung.
Sementara itu, bagian pantai yang dapat diakses tanpa membayar, semakin menyusut dari tahun ke tahun, sehingga mendorong orang-orang yang tak mampu atau tak mau membayar memilih bagian kecil pantai yang terkonsentrasi.
“Sebaliknya di beberapa teluk (yang lebih sulit dijangkau), akses menjadi sangat mustahil. Saya menemukan situs web salah satu resor yang terletak di bagian atas sebuah teluk, galerinya penuh dengan turis dan influencer yang bersantai di tepi kolam renang atau menikmati makan malam dengan pemandangan,” tulis Augello.
Hal itu, kata Augello, adalah salah satu dari banyak contoh privatisasi pantai, di mana pantai tak dapat diakses sebagian besar orang. Privatisasi itu berarti menyerahkan kepemilikan sah dan penguasaan atas barang-barang tertentu—dalam hal ini pantai—di tangan seorang atau perusahaan. Ia mencontohkan, di Italia ada izin warga negara atau perusahaan untuk sementara waktu bisa menempati pantai guna menjalankan kegiatan ekonomi mereka melalui penerbitan konsesi.
“Pada 2021, 43% pantai Italia ditutupi oleh beach club menurut laporan Legambiente tahun 2022,” tulis Augello.
Padahal, privatisasi pantai punya konsekuensi sosial dan ekologi. Selain meningkatkan erosi dan degradasi lingkungan, menurut Augello, akumulasi kapitalisasi alam mengorbankan lahan publik.
“Terlebih lagi, meningkatnya jumlah hotel, beach club, dan lain-lain meningkatkan spekulasi dan sering kali kota-kota atau desa-desa di pesisir pantai menjadi terlalu mahal bagi penduduknya untuk ditinggali,” tutur Augello.
Salah satu dampak privatisasi yang paling nyata adalah mengganggu akses yang adil terhadap pantai. Menghalangi masyarakat secara fisik untuk mencapai laut yang dihalangi tembok, pagar, atau materi.
“Praktik privatisasi pantai ini melanggengkan kesenjangan, memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap komunitas marginal, dan menghambat akses mereka terhadap manfaat pemulihan alam,” kata Augello.