Sisi muram kebun binatang
Medan Zoo menjadi sorotan usai ada tiga harimau mati dalam kurun waktu tiga bulan. Selain itu, Medan Zoo juga disebut-sebut memiliki utang ke vendor terkait pakan satwa dan gaji pegawai belum dibayar selama empat bulan terakhir. Tempat wisata ini pun kotor dan tak terawat, dengan kandang satwa yang tak sesuai standar kelayakan dan banyak yang rusak.
Kisah muram kebun binatang, beberapa waktu lalu juga menimpa Natural Bridge Zoo di Rockbridge County, Virginia, Amerika Serikat. Menurut the Roanoke Times, pada Desember 2023 dalam penyelidikan kepolisian dan Kejaksaan Agung Virginia, ditemukan 27 satwa mati.
Hewan yang mati, di antaranya burung bangau, aligator, llama, kucing serval, dan burung macaw. Pihak berwenang juga menemukan bagian tubuh hewan, seperti kepala jerapah, kaki zebra, dan kepala monyet mandril.
Beberapa hewan ditemukan di kandang yang kotor, tanpa makanan atau air. Seorang informan, seperti dikutip dari the Roanoke Times menyebut, kondisi kesejahteraan gajah di bawah standar, termasuk seekor zebra yang diduga telah diberi obat kedaluwarsa.
Ini bukan pertama kalinya Natural Bridge Zoo yang sudah dibuka sejak 1972 itu tersandung masalah. Pada 2015, kebun binatang tersebut menerima tuntutan Undang-Undang Kesejahteraan Hewan Federal karena gagal memberikan perawatan hewan yang memadai terhadap seekor gajah bernama Asha. Tahun 2022, kebun binatang itu kembali dikiritik lantaran memaksa gajah bernama Asha itu ditunggangi pengunjung.
Seorang mahasiswa ilmu politik University of Toronto yang mencintai satwa bernama Rashmi Ryan-Brundin pernah mengisahkan sisi kelam industri kebun binatang dalam artikel berjudul “Zoos: The light and the dark” di situs the Strand.
Ia menulis, pada 2022 bekerja magang di bidang konservasi satwa liar di Denver Zoo, Colorado, Amerika Serikat. Pekerjaannya seputar mendidik masyarakat tentang biologi spesies, metodologi satwa liar dan konservasi, perawatan hewan eksotik, serta fungsi dan praktik kebun binatang.
“Kebun binatang menghubungkan manusia dan satwa liar dengan cara baru,” kata Ryan-Brundin.
“Ini adalah kesempatan yang luar biasa, terutama bagi anak-anak untuk memperoleh pemahaman tentang dunia di sekitar mereka, dan betapa kecilnya kita.”
Selain itu Species Survival Plan (SSP)—program konfigurasi data yang mempertimbangkan semua hewan di fasilitas terakreditasi the Association of Zoos & Aquariums (AZA) untuk mengelola satwa beserta pembiakan—memungkinkan pengelolaan spesien yang telah punah di alam liar dan membantu perawatan hewan.
Ryan-Brundin pun menyaksikan bagaimana para penjaga di kebun binatang itu peduli terhadap satwa. “Saya telah melihat dan mendengar cerita tentang penjaga yang tidur di area belakang dengan hewan yang sakit, keluar dari operasi, atau baru saja pindah ke fasilitas baru,” kata dia.
“Saya pernah mendengar cerita tentang penjaga yang begadang semalaman untuk memastikan bayi hewan di kebun binatang tetap bernapas dan sehat.”
Akan tetapi, di balik itu semua, Ryan-Brundin juga merasakan pula bahwa kebun binatang punya sisi negatif. Ia mengatakan, beberapa hewan di Denver Zoo mengalami depresi.
“Saya telah melihat, singa-singa di Denver Zoo bertarung dengan sangat agresif di kandang terbatas, sehingga salah satu dari mereka harus dirawat di rumah sakit,” tutur Ryan-Brundin.
“Hal ini memunculkan pikiran bahwa hewan sama seperti kita, Anda tidak akan suka berada di dalam sangkar, begitu pula mereka.”
Kata Ryan-Brundin, SSP dan AZA bekerja sama dalam pembiakan satwa. Dalam proses pekerjaan itu, anak hewan dipisahkan dari induknya. Anak satwa itu tetap ada di penangkaran, tak diberi waktu berada di alam liar.
“Hewan-hewan ini berharga untuk dipelihara di fasilitas kebun binatang—semua orang ingin melihat bayi orangutan, badak, atau jaguar—mereka tidak akan melepaskannya untuk membangun kembali populasi liar,” ujar Ryan-Brundin.
Di Denver Zoo, Ryan-Brundin juga menyaksikan dua zebra grévy yang hidup bersama. Padahal, kata dia, jumlah kawanan spesies ini berkisar antara 20 hingga 30 ekor.
Di samping itu, menurutnya, kebun binatang sangat cermat menggunakan kalimat atau ungkapan untuk meningkatkan citra mereka. Misalnya, bukan hewan yang ditawan, tetapi berada dalam perlindungan manusia. Pameran yang disaksikan pengunjung bukan kandang, melainkan rumah. Atau bukan industri kebun binatang, melainkan komunitas kebun binatang yang terakreditasi.
“Sebagai staf, kami diberikan daftar sekitar 30 istilah yang tidak boleh kami gunakan untuk mendeskrisikan kebun binatang,” tutur Ryan-Brundin.
Terlepas dari itu, sesungguhnya ada standar bagi satwa yang hidup di kebun binatang. Wild Welfare, menyoroti tiga standar utama dalam pengelolaan kebun binatang.
Pertama, standar manajemen kelembagaan yang mengacu pada kebijakan yang dikembangkan secara internal dalam suatu fasilitas. Kedua, standar akreditasi, yang mengacu pada kebijakan yang dikembangkan oleh asosiasi kebun binatang nasional atau regional, yang harus dipenuhi melalui proses akreditasi atau sertifikasi.
“Ketiga, standar nasional yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di otoritas terkait,” tulis Wild Welfare.
Menurut Wild Welfare, proses akreditasi biasanya dilakukan pada suatu badan industri untuk menunjukkan kemampuan dalam memenuhi standar. Proses tersebut, biasanya mengharuskan standar-standar dikaji ulang dan dievaluasi secara berkala.
“Akreditasi membantu memberikan posisi publik mengenai standar yang diharapkan klien dari badan industri. Untuk kebun binatang, kliennya beragam, mencakup masyarakat, LSM, dan mitra komersial atau badan amal.
Standar dan proses akreditasi yang baik, menurut Wild Welfare, antara lain menentukan siapa yang memenuhi standar atau kualitas tinggi, skema standar yang menjamin, mendukung tolok ukur kinerja, dan menjamin narasi asosiasi kebun binatang.
“Sementara standar dan proses akreditasi yang buruk, antara lain gagal mengatasi masalah kesejahteraan hewan, melemahkan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan hewan, mengurangi kredibilitas, dan menyebabkan depresi pada hewan.