Siti, Bill Gates, dan kenapa kita terbuai teori konspirasi
Meskipun mendekam di Lembaga Permasyarakatan (LP) Pondok Bambu, Jakarta Timur, eks Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari masih bisa memantau penanganan Covid-19 di Indonesia. Dari balik jeruji, sesekali perempuan kelahiran Surakarta itu melontarkan kritik terhadap pemerintah.
Dalam salah satu pesan tertulis kepada awak media, Siti menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak menggunakan vaksin Covid-19 buatan perusahaan farmasi yang terkait dengan pendiri Microsoft Bill Gates. Ia menyebut vaksin buatan Bill Gates "mencurigakan".
"Kalau Bill Gates sudah siap dengan vaksin Corona sekarang, kapan dia punya seed (bibit) virusnya? Apa sebelum pandemic Corona? Apalagi, pada 2015, dia telah mengumumkan akan ada pandemik besar di 2020," ujar Siti.
Dalam pesan tertulis itu, Siti juga menyertakan sejumlah tautan berita dari media daring asing. Salah satunya ialah berita yang dirilis Nypost.com dengan narasumber utama konsultan politik kenamaan Amerika Serikat (AS) Roger Stone.
Dalam berita itu, Stone menyebut kemungkinan Bill Gates menciptakan Covid-19 supaya ia bisa menanamkan microchip dalam vaksin yang dibikin oleh perusahaannya. Microchip itu untuk menandai siapa saja yang sudah dites "bersih" dari Covid-19.
"Apa betul microchip itu hanya untuk tanda seperti yang dia katakan? Tidak ada bukti sama sekali. Kita wajib waspada karena Bill Gates mempunyai proyek ambisius, yaitu depopulasi demi mengatur populasi sedunia," komentar Siti.
Usul Siti agar pemerintah mewaspadai vaksin Bill Gates itu langsung menuai kritik. Dalam pesan singkat kepada Alinea.id, pengajar bidang kesehatan publik di University of Derby Dono Widiatmoko mempertanyakan pernyataan Siti itu.
Menurut Dono, ada dua kemungkinan yang menyebabkan pernyataan semacam itu keluar dari mulut Siti. Pertama, berita yang mengutip pernyataan Siti itu tidak benar alias hoaks. "Kedua, Bu Siti kemakan hoax," kata Dono.
Siti buru-buru mengklarifikasi pernyataannya itu. Melalui video call dari LP Pondok Bambu, pekan lalu, ia menyebut tak bermaksud menjelek-jelekan Bill Gates. Ia berkilah hanya meminta pemerintah tak sembarangan menggunakan vaksin dari luar.
"Nah, kan virusnya pasti enggak sama dengan beliau (Bill Gates) yang buat dahulu. Jadi, hati-hati. Karena tidak kompatibel atau tidak cocok, ya, dengan virus kita. Misalkan itu. Nah, kemudian dicampur urusan lain yang saya enggak ngerti," ujar Siti kepada Alinea.id.
Yayasan milik Bill Gates memang tengah merampungkan pembuatan vaksin Covid-19. Namun, rumor mengenai rencana depopulasi Bill Gates dan keterlibatan miliarder itu dalam penyebaran pandemi ialah bagian dari teori konspirasi.
Menurut laporan perusahaan analisis media Zignal Labs yang dikutip New York Times, Bill Gates jadi sasaran teori konspirasi sejak awal Januari. Total teori konspirasi yang menghubungkan Bill Gates dengan Covid-19 disinggung dalam 1,2 juta unggahan di media sosial dan siaran televisi.
"Ditemukan lebih dari 16.000 unggahan di Facebook mengenai Gates dan virus itu yang menghasilkan 900.000 likes dan komentar. Laporan Zignal Labs juga menyebut bahwa 10 video Youtube terpopuler pada Maret dan April juga menyebarkan misinformasi mengenai Gates," tulis New York Times.
Insinuasi terhadap Bill Gates terutama berasal dari sebuah video yang diunggah pada 2015. Dalam video itu, Gates sempat mewanti-wanti kemungkinan dunia bakal kembali dibekap pandemi pada 2020.
Kenapa teori konspirasi terus muncul?
Teori depopulasi Bill Gates hanya satu dari sekian banyak teori konspirasi yang merebak selama pandemi Covid-19. Selain itu, ada juga teori konspirasi yang menghubungkan virus Covid-19 dengan sinyal 5G dan teori yang meyakini bahwa pandemi ialah sebuah kebohongan besar.
Teori paling "klasik" ialah rumor mengenai kemungkinan virus itu sengaja diciptakan sebagai senjata biologi. Pada era pandemi Covid-19, teori konspirasi tersebut dialamatkan kepada China, Israel, dan AS. Pada era pandemi flu burung, teori konspirasi semacam itu juga berkembang dan menjangkau jutaan audiens.
Teori-teori konspirasi umumnya menyebar karena konsumennya banyak. Itu setidaknya tergambar dalam survei yang dirilis Pew Research Center pada 8 April lalu. Dari 8.914 orang dewasa di AS yang disurvei, sebanyak 43% percaya virus Covid-19 lahir secara alamiah dan 29% meyakini virus itu dibikin di laboratorium.
Menurut peneliti Pew Research Center Katherine Schaeffer, mayoritas responden yang disurvei percaya terhadap teori konspirasi tergolong masih muda (35%). Tingginya jumlah responden yang percaya teori konspirasi itu berkaitan dengan maraknya misinformasi selama pandemi.
"Sekitar 48% pria dewasa di AS melaporkan pernah melihat atau mendengar berita dan informasi mengenai Covid-19 yang sepertinya dibuat-buat," tulis Scaeffer.
Teori konspirasi lazimnya muncul pada masa ketidakpastian atau setelah peristiwa-peristiwa tragis berskala besar. Menurut psikolog sekaligus pendiri Psych Central, John Grohol, para kreator teori konspirasi memanfaatkan gagasan apa pun yang mereka punya untuk disesuaikan dengan fakta yang ingin mereka percayai.
"Dan, seringkali mereka menggunakan kepercayaan-kepercayaan berbasis paranoia untuk meyakinkan orang lain di sekeliling mereka," kata Grohol seperti dilansir dari Business Insider.
Menurut Grohol, para pecinta teori konspirasi seringkali ialah kumpulan orang-orang "bebal", introvert, dan penuh rasa curiga. "Memercayai teori konspirasi bersama orang-orang asing bisa memberikan rasa saling memiliki di antara mereka," kata dia.
Dalam "The Psychology of Conspiracy Theory" yang dirilis di jurnal Association for Psychological Science pada 2017, Karen M Douglas, Robbie M Sutton, dan Aleksandra Cichocka menyimpulkan setidaknya ada tiga motif yang mendorong orang-orang menciptakan dan memercayai teori konspirasi.
Pertama, motif epistemik atau didasarkan pada dorongan untuk memahami kondisi lingkungan seseorang. Kedua, motif eksistensialis yang didorong kebutuhan untuk merasa nyaman dan "berkuasa" atas kehidupannya sendiri. Terakhir, motif sosial atau didorong hasrat untuk mempertahankan imaji positif tentang diri sendiri atau kelompoknya.
"Kepercayaan akan konspirasi juga diindikasikan lewat narsisme kolektif--kepercayaan terhadap kehebatan kelompok ekslusif mereka yang dibarengi keyakinan bahwa orang-orang kurang mengapresiasi kelompok tersebut," tulis Karen dan kawan-kawan.
Dalam riset bertajuk "I Know Things They Don’t Know!: The Role of Need for Uniqueness in Belief in Conspiracy Theories" yang dirilis pada 2017, Anthony Lantian dan koleganya menggunakan pendekatan matematis untuk mengetahui motivasi dan jenis orang-orang yang rentan terpapar teori-teori semacam itu.
Dari hasil survei dengan melibatkan ratusan partisipan, Lantian menemukan bahwa tendensi untuk memercayai teori-teori konspirasi terkait erat dengan "rasa" memiliki informasi langka mengenai situasi-situasi yang dijelaskan teori-teori tersebut.
Orang-orang yang percaya teori konspirasi, disimpulkan Lantian, lazimnya adalah orang-orang yang cenderung "garing" hidupnya. "Orang-orang yang punya kebutuhan yang lebih tinggi untuk dianggap unik menunjukkan keyakinan yang lebih kuat terhadap sebuah teori konspirasi," tulisnya.
Teori konspirasi perlu diabaikan
Ketua Komite Cek Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Ariwibowo Sasmito mengatakan teori konspirasi sangat mirip dengan hoaks. Bedanya, teori konspirasi sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
"Hoaks kan gampang. Ini kejadiannya enggak ada, faktanya begini. Nah, kalau konspirasi itu, untuk membantah buktinya enggak ada. Yang mau dibantah apa nih?" ujar dia kepada Alinea.id di Jakarta, akhir pekan lalu.
Meski sulit dibuktikan, menurut Ariwibowo, teori konspirasi juga relatif mudah menyebar di kalangan masyarakat. "Pada dasarnya, banyak yang doyan, banyak yang suka. Apa pun temanya, (teori konspirasi) bakal nyebar," kata dia.
Pengamat terorisme dan intelijen dari Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib mengatakan, tak sepatutnya teori konspirasi terkait Covid-19 jadi dasar perdebatan ilmiah.
Sejauh ini, kata dia, belum ada bukti konkret yang bisa digunakan untuk menguatkan teori konspirasi yang menyatakan Covid-19 sebagai senjata biologis.
"Karena itu (teori konspirasi) membuat analisis enggak jernih. Sejauh ini, data yang masuk memang itu virus dan belum firm data yang mengatakan itu bio-terorism, generated weapon atau senjata buatan," kata Ridwan.
Pakar hubungan internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nanto Sriyanto sepakat teori konspirasi perlu diabaikan. Apalagi, pemerintah Indonesia masih berjibaku menekan penyebaran wabah Covid-19.
"Daripada ngurusin teori konspirasi, pengetahuan kita tentang Covid-19 jauh lebih sedikit. Bahkan, termasuk WHO. Isu konspirasi justru membuat kita tidak fokus pada persoalan yang ada di depan mata," katanya.
Ketimbang saling tuding, sebagaimana AS dan China, Nanto menyarankan agar negara-negara di dunia memperkuat koordinasi untuk menghadapi pandemi. Salah satunya dengan saling tukar informasi cerita sukses penanganan Covid-19.
"Rata-rata negara yang relatif sukses adalah negara yang pernah mengalami SARS (severe acute respiratory syndrom). Artinya, pernah punya pengalaman historis sebelumnya yang mereka rekam dengan baik," jelas Nanto.