Slow living: Gaya hidup santai mengerem rutinitas
Dunia saat ini seakan bergerak sangat cepat. Setelah lelah beristirahat di malam hari, bangun tidur kita harus kembali bergegas pergi ke kantor, sekolah, atau aktivitas lainnya. Perjalanan dari rumah ke tempat beraktivitas pun ditempuh dengan perjuangan.
Jika naik kendaraan umum, seperti kereta atau bus, orang-orang saling berebut masuk dan keluar. Di dalam kereta atau bus yang melaju, saat jam-jam sibuk, mereka berdesak-desakan. Jika naik kendaraan pribadi, mobil atau sepeda motor, macet menjadi makanan sehari-hari. Lalu, seperti beradu balap bila jalanan agak longgar.
Kehidupan yang serba terburu-buru itu bisa berdampak buruk. Menurut American Psychological Association (APA), seperti dikutip dari Newsweek, menghadapi tekanan terus-menerus bisa menyebabkan stres kronis, masalah kesehatan fisik dan mental, termasuk depresi, kecemasan, masalah pencernaan, sakit kepala, tekanan darah tinggi, gangguan tidur, serta problem konsentrasi.
Akhirnya, alih-alih menghindar dari kehidupan yang serba kilat, sebagian orang menerapkan gaya hidup slow living—menjalani kehidupan dengan lambat dan santai.
“Slow living berarti (hidup) melambat dan berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu,” ujar pendiri Strolling of the Heifers, Orly Munzing kepada HuffPost.
Dengan kata lain, menurut Munzing, kita menyadari bahwa lebih cepat tak selalu berarti lebih baik. Dalam jangka panjang, kecepatan justru membahayakan kita.
Dikutip dari Slow Living Idn, slow living dipicu dari gerakan pada 1980-an di Italia. Saat itu, di Kota Roma, Carlo Petrini dan kelompok aktivis membentuk gerakan slow food, sebagai bentuk protes terhadap pembukaan restoran cepat saji McDonald’s. Gerakan slow food punya visi “membela” tradisi pangan daerah untuk melindungi budaya gastronomi setempat.
Lalu, pada 2004 jurnalis Kanada Carl Honore—yang juga salah seorang penulis dan pembicara paling terkemuka tentang gaya hidup slow living—membawa konsep slow living ke dalam arus utama dengan menerbitkan buku In Praise of Slowness.
“Honore mengeksplorasi bagaimana slow food memicu gerakan hidup lambat yang lebih luas, dan istilah ‘slow’ kini diterapkan pada bidang kehidupan lain yang mengalami kecepatan tinggi, termasuk pekerjaan, mengasuh anak, dan bersantai,” tulis Slow Living Idn.
Melansir The Swaddle, beberapa sumber menyebut, istilah “slow” sebenarnya adalah akronim sustainable (berkelanjutan), local (lokal), organic (organik), dan whole atau non-processed (utuh, tak diproses).
Pandemi disebut-sebut ikut mengubah orang beralih ke gaya hidup santai ini. Slow Living Idn menulis, selama pandemi Covid-19 lalu, semakin banyak orang yang terpaksa memperlambat dan menyederhanakan gaya hidup mereka. Minat terhadap slow living pun meningkat.
Menurut penulis buku The More Beautiful World Our Hearts Know is Possible, Charles Eisenstein kepada HuffPost, keliru bila memahami slow living dengan mengatakan hal itu selalu menganjurkan untuk melakukan segala sesuatu dengan lambat.
“Sebenarnya, apa yang perlu diperhatikan adalah ketika saatnya lambat, bergeraklah lambat. Ketika saatnya cepat, lakukan itu. Pelajari untuk mengenali perbedaannya,” ujar Eisenstein.
“Saya pikir dalam budaya kita, kita terbiasa untuk selalu melakukan segala sesuatu dengan cepat dan efisien. Bahkan, ketika itu tidak sesuai, ketika kita menyadari cara kita melakukan sesuatu sebenarnya membuat masalah menjadi lebih buruk.”
Slow living juga kerap dikonotasikan negatif dengan gaya hidup malas dan tidak produktif. Padahal, menurut Honore, slow living adalah tentang melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat.
“Salah satu dasar dari slow living adalah memprioritaskan, mengambil waktu untuk berhenti, merenung, dan melihat kehidupan Anda dengan mengatakan apa yang benar-benar penting. Kemudian fokuskan waktu dan perhatian pada hal-hal itu,” ujar Honore, dikutip dari The Swaddle.
Honore, dikutip dari Slow Living Idn, sering kali menyebut perbedaan antara “lambat yang baik” dan “lambat yang buruk”. Lambat yang baik berarti secara sadar mengurangi kecepatan untuk melakukan sesuatu dengan kecepatan yang tepat dalam mencapai hasil yang lebih baik. Sedangkan lambat yang buruk merupakan sesuatu di luar kendali kita, seperti antrean atau kemacetan.
The Daily Star menulis, salah satu manfaat utama slow living adalah mendorong kita untuk bersantai dan menikmati hal-hal kecil dalam kehidupan, seperti suara kicauan burung, menikmati hangatnya sinar matahari, atau menyicipi masalah yang lezat.
“Selain meningkatkan rasa syukur, slow living juga dapat menjaga kesehatan fisik dan mental kita,” tulis The Daily Star.
“Slow living mendorong kita untuk mengutamakan kesehatan dengan mengonsumsi makanan bergizi, rutin berolahraga, dan istirahat yang cukup.”
Di sisi lain, dilansir dari The Swaddle, tren slow living didorong rasa frustasi terhadap masyarakat kapitalis. Akan tetapi, seperti kebanyakan tren kesejahteraan lainnya dengan motivasi serupa, seperti self-care, detoks digital, atau diet berbasis tanaman, tak semua orang memiliki keistimewaan untuk mempraktikan slow living.
“Penting untuk diakui bahwa slow living sering kali memerlukan waktu, stabilitas keuangan, dan sumber daya yang mungkin tidak secara mudah tersedia bagi individu dari tangga sosial-ekonomi yang memaksa mereka berdamai dengan rutinitas harian untuk bertahan hidup, meninggalkan sedikit ruang kemewahan, seperti jalan-jalan santai atau waktu panjang merefleksikan diri,” tulis The Swaddle.
“Selain itu, komunitas marginal sering menghadapi hambatan sistemik dalam akses ke layanan kesehatan berkualitas dan dukungan kesehatan mental—yang merupakan komponen penting slow living.”