Setelah beberapa tahun tinggal di Jakarta, Maya Santosa memutuskan pindah ke Sukabumi, Jawa Barat. Maya memilih memperlambat tempo hidupnya dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama alam dan keluarga. Ia lelah dengan keseharian di ibu kota.
"Saya lebih banyak menikmati waktu tanpa gangguan teknologi, seperti membaca buku, berkebun, atau sekadar menikmati waktu bersama keluarga dan teman-teman. Saya merasa dengan memperlambat tempo ini, saya bisa lebih menikmati hidup," kata Maya saat berbincang dengan Alinea.id, Jumat (13/12).
Baik di Jakarta dan di Sukabumi, Maya bekerja sebagai seorang desainer grafis. Tetapi, di ibu kota, ia seperti tak pernah bisa lepas dari gadget dan aplikasi. Tuntutan pekerjaan seolah membuat dia tak pernah bisa "bernafas" lega.
"Teknologi memang sangat membantu dalam banyak hal, tetapi saya merasa ia sering kali mempercepat hidup kita dengan cara yang kurang bermakna. Kita sering merasa terdorong untuk selalu terhubung, selalu mencari informasi baru, dan mengikuti tren terbaru," ujar dia.
Diakui Maya, tak mudah untuk beralih dari gaya hidup serba cepat ke model slow living. Salah satu tantangan terbesar adalah mengubah kebiasaan yang sudah terbentuk di Jakarta, yakni harus produktif setiap saat. Di Sukabumi, ia memilih tak harus selalu sibuk.
"Tantangan lainnya adalah belajar untuk menghargai kesederhanaan—mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti berjalan kaki di alam atau menikmati secangkir kopi dengan tenang. Ini semua membutuhkan waktu, tetapi hasilnya sangat memuaskan," ujar dia.
Tantangan lainnya ialah menyiapkan mental. Menurut Maya, tak semua orang memahami keputusan ia dan keluarganya pindah ke kota kecil demi menjalani slow living. Apalagi jika hitung-hitungannya finansial. "Tetapi, saya merasa lebih damai dengan pilihan ini," kata dia.
Secara sederhana, slow living didefinisikan sebagai gaya hidup yang santai, sederhana, tetapi bermakna. Gaya hidup semacam itu berbanding terbalik dengan gaya hidup kebanyakan orang di era modern yang cenderung serba cepat dan sibuk.
Slow living kerap diidentikan sebagai gaya hidup orang-orang tua yang sudah memasuki masa pensiun. Hanya sedikit anak-anak muda yang memilih menjalani gaya hidup semacam itu saat masih produktif. Namun, Maya meyaknini akan banyak orang seperti dia di masa depan.
"Orang-orang mulai mencari cara untuk memperlambat hidup mereka, mencari kedamaian batin, dan menurunkan tingkat stres yang disebabkan oleh kecepatan dunia modern," kata Maya.
Pakar pengembangan destinasi pariwisata Sari Lenggogeni mengatakan tren slow living bukanlah hal baru. Slow living ialah bagian dari tren gaya hidup berkelanjutan atau sustainable lifestyle, termasuk di dalamnya slow tourism atau slow travelling.
"Selama ini, banyak orang terbiasa dengan fast life—gaya hidup serba cepat, instan, dan modern, penuh inovasi tanpa sempat menikmati prosesnya. Berlawanan dengan itu, slow tourism atau yang juga dikenal sebagai slow travel menawarkan pengalaman yang lebih mendalam, di mana wisatawan dikenal sebagai slow traveller," kata Sari kepada Alinea.id.
Kompas sempat merilis riset yang isinya merinci kawasan-kawasan yang cocok sebagai tempat untuk menjalani gaya hidup slow living berbasis biaya hidup, keamanan, dan infrastuktur. Lima kawasan terbaik ialah Kedu Raya, Tasikmalaya Raya, Banyumas Raya, Malang Raya dan Kedungsepur.
Menurut Sari, gaya hidup slow living tak harus fokus berbasis kawasan tertentu. Banyak kawasan dan desa-desa "biasa" yang bisa dikembangkan sebagai tempat menjalani slow living atau destinasi wisata bergenre slow tourism.
Mengutip laporan Airbnb, menurut Sari, pengalaman lokal dan keterlibatan langsung dengan masyarakat setempat menjadi hal yang semakin diminati kalangan wisatawan, terutama yang berasal dari generasi Z. Ini menjadi peluang untuk mengembangkan pariwisata berbasis slow living yang juga mendukung keberlanjutan.
"Penting untuk menjaga kapasitas lingkungan agar tidak berlebihan, serta merancang blueprint yang solid untuk menciptakan pengalaman slow living yang berkelanjutan. Dengan konsep yang matang, destinasi slow living dapat menjadi alternatif yang dicari oleh wisatawan yang ingin merasakan kehidupan yang lebih tenang, autentik, dan mendalam," tuturnya.
Ia mencontohkan sebuah desa di Solo yang warganya menjalankan konsep slow living. Didukung alamnya yang ciamik, menurut Sari, warga desa itu hidup dengan santai, damai, dan tanpa tekanan teknologi dan modernisasi.
"Destinasi tersebut perlu dirancang sebagai prototipe untuk memberikan pengalaman slow living yang terasa otentik. Edukasi kepada wisatawan menjadi bagian penting, agar mereka memahami dan merasakan konsep ini secara langsung," ujarnya.