Solusi tersendatnya transformasi kendaraan listrik
Jalanan di Kampung Rawa Bamban, Kota Tangerang, Banten yang rusak dan sering kali digenangi air, membuat Adrian, 30 tahun, ogah menggunakan sepeda motor listrik miliknya untuk sekadar keluar rumah atau bekerja. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai kepala gudang itu mengaku lebih memilih mengendarai sepeda motor matik berbahan bakar bensin untuk beraktivitas. Sebab, lebih praktis, “tahan” banjir, dan dapat dikendarai jarak jauh.
“Sementara kalau (mengendarai) motor vespa listrik saya, perlu pikir-pikir dulu. Karena belum tentu di daerah yang ingin kita tuju ada stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU),” kata Adrian kepada Alinea.id, Senin (1/7).
Namun, agar mesin sepeda motor listriknya tidak terlampau lama “menganggur”, sesekali Adrian mengeluarkannya untuk keliling atau pergi ke pesta pernikahan yang jaraknya tak jauh dari rumah. Dia mengaku membeli sepeda motor listrik karena tertarik dengan modelnya yang menyerupai vespa dan harganya yang murah, sekitar Rp9 juta.
“Walaupun saya tahu, bakal ribet kalau di tempat saya motor listrik. Onderdil sama bengkelnya belum ada yang siap. Terus tempat saya juga sering banjir,” ucap Adrian.
Adrian mengaku, masih lebih memilih sepeda motor berbahan bakar bensin karena lebih leluasa dibawa jalan jarak jauh. “Tapi kalau SPKLU mulai banyak, baru bisa enak dipakai motor listrik,” tutur Adrian.
Terlepas segala keluhan Adrian, transformasi kendaraan berbahan bakar bensin menjadi listrik sebagai solusi mengurangi polusi udara memang tersendat. Berdasarkan data Sistem Informasi Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Roda Dua (SISAPIRa)—program bantuan pemerintah untuk pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda dua—sepeda motor listrik bersubsidi yang tersalurkan pada 2023 hanya sebanyak 11.532 unit atau 5,7%. Hingga 4 Juli 2024, sisa kuota sebanyak 561.407 unit. Sedangkan 38.593 unit kendaraan diterima masyarakat pada 2024.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno menilai, transformasi kendaraan listrik tersendat karena sepeda motor listrik tidak terlalu diminati masyarakat. Penyebabnya, infrastruktur SPKLU belum memadai.
"Untuk ngisi di rumah juga makan listrik tidak sedikit," ucap Djoko, Selasa (2/7).
Menurut Djoko, proyek peralihan sepeda motor listrik merupakan permainan makelar yang diduga akal-akalan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk memuluskan kepentingan pebisnis. Semestinya transformasi kendaraan listrik berfokus pada modernisasi transportasi publik yang merata di seluruh daerah.
“Kalau kita mau mengembangkan mobil listrik dalam negeri, bisa menggunakan buatan PT. Industri Kereta Api (INKA). Produk bus listrik PT. INKA sudah bisa dilihat di Bandung dan Surabaya. Bagus ketimbang motor yang sebenarnya memanjakan (produk buatan) China,” kata dia.
Kenyataannya, kata Djoko, pemerintah malah terlihat lebih suka mengandalkan transformasi kendaraan listrik dari sisi bisnis agar publik membeli. Padahal, sulit dilakukan lantaran masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah sukar membeli sepeda motor listrik, meski sudah diberi potongan harga.
“Karena kalau orang berpenghasilan menengah ke bawah sudah punya motor, dia juga enggak mau uangnya buat beli motor listrik,” ucap Djoko.
Bila serius ingin melakukan transformasi kendaraan, Djoko memandang, semestinya pemerintah memulai dari pembenahan transportasi publik, dengan melakukan peremajaan armada menjadi kendaraan listrik.
“Banyak daerah juga, seperti di pulau-pulau, yang sulit BBM (bahan bakar minyak). Lebih baik menggunakan kendaraan listrik,” kata Djoko.
Terpisah, pemerhati masalah transportasi dan hukum Budiyanto menilai, sepeda motor listrik sepi peminat karena masyarakat masih ragu kualitasnya. SPLKU yang belum memadai di setiap daerah bila pengguna sepeda motor listrik ingin melakukan perjalanan jarak jauh pun menjadi alasan.
“Upaya yang dilakukan pemerintah ternyata belum mampu mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan dengan tenaga listrik,” ujar Budiyanto, Selasa (2/7).
Budiyanto berujar, pemerintah perlu mengevaluasi kurang berhasilnya program kendaraan listrik untuk menentukan langkah-langkah yang bisa menggugah masyarakat beralih menggunakan kendaraan berbasis listrik. Di samping itu, pemerintah perlu mendorong transportasi publik berbasis energi listrik di setiap daerah.
“Selain itu, (perlu diadakan) pembangunan SPKLU yang masif dan memadai untuk meyakinkan masyarakat bahwa SPKLU tersedia dan cukup,” ujar dia.
“Bila perlu, subsidi ditingkatkan dan pajak diringankan. Diawali dari kendaraan dinas instansi untuk menggunakan kendaraan bermotor listrik.”
Jika perlu, menurut Budiyanto, pemerintah memberikan intervensi dengan aturan yang ketat terhadap perusahaan otomotif untuk mulai mengurangi kuota produk kendaraan bermotor BBM, beralih memproduksi kendaraan energi listrik.
“Ada regulasi khusus untuk mengatur penggunaan kendaraan listrik, terutama instansi pemerintah. Mendorong pihak swasta berpartisipasi untuk mendukung program tersebut, semisal kewajiban kendaraan operasional menggunakan kendaraan listrik,” ucap Budiyanto.
Dia mengatakan, transisi kendaraan energi listrik bisa dimulai dari kendaraan yang umum digunakan masyarakat. Sebab, menurutnya, transisi kendaraan listrik untuk mengurangi polusi harus berjalan paralel antara transportasi publik dan kendaraan motor yang umum digunakan beraktivitas oleh masyarakat.
“Tanpa adanya langkah-langkah yang progresif sulit kelihatannya untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik,” kata Budiyanto.
“Tujuannya kan membangun transportasi yang ramah lingkungan.”