

Somnofilia dan kejahatan seksual saat korban tak sadarkan diri

Seorang dokter yang tengah menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Priguna Anugrah Pratama, 31 tahun, menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
Peristiwa itu terjadi saat korban tengah mendampingi ayahnya yang dalam kondisi kritis. Di hari kejadian, pada pukul 01.00 WIB, Priguna meminta korban melakukan transfusi darah di Gedung MCHC lantai tujuh di RSHS Bandung.
Korban diminta berganti pakaian dengan baju operasi dan melepas seluruh pakaiannya. Lalu, tersangka menyuntikkan cairan bius lewat infus setelah menusukkan jarum ke tangan korban sebanyak 15 kali. Korban lantas merasa pusing dan tak sadarkan diri. Kemudian, pelaku diduga memperkosanya.
Korban baru sadar sekitar pukul 04.00 WIB. Saat buang air kecil, korban merasa perih di bagian tubuhnya yang terkena air. Belakangan, korban bertambah dua orang.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Surawan mengatakan, ada indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku.
“Dari pemeriksaan beberapa hari ini memang kecenderungan pelaku ini mengalami sedikit kelainan dari segi seksual,” kata Surawan di Bandung, Rabu (9/4), seperti dikutip dari Antara.
“Begitu juga dengan hasil pemeriksaan dari pelaku ini nanti kita akan perkuat dengan pemeriksaan dari psikologi forensik, ahli psikologi untuk tambahan pemeriksaan.”
Ada dugaan, pelaku punya fantasi seksual jika melihat orang yang pingsan. Membius dan memperkosa, memunculkan istilah psikologis somnofilia—sebuah fetis seksual yang terangsang terhadap seseorang yang tidak sadarkan diri. Istilah ini juga dikenal dengan sindrom putri tidur.
Istilah somnofilia mengemuka ketika kasus komedian Bill Cosby yang dituding membius dan memperkosa banyak perempuan sejak 1970-an terangkat pada 2015 lalu.
Dalam Manual Diagnostik dan Statistik—sebuah “kitab suci” kesehatan mental yang diteritkan American Psychiatric Association, fiksasi seksual yang tak biasa digambarkan sebagai parafilia. Kategori ini mencakup segala hal, mulai dari yang “jinak”, misalnya obsesi dengan sepatu, hingga yang berbahaya, seperti pedofilia.
Neuropsikolog klinis serta peneliti seks, musik, dan memori, Amee Baird dalam Psychology Today menyebut, parafilia umumnya adalah fetisisme—preferensi terhadap bagian tubuh tertentu atau benda mati. Sedangkan simnofilia termasuk parafilia yang langka.
“Sindrom ini pernah ditampilkan di layar kaca dalam film Sleeping Beauty (2011) dan The Little Death (2014),” tulis Baird.
Dikutip dari Daily Mail, sebuah studi di Kanada pada 2021 menemukan, 9% peserta menunjukkan ketertarikan dalam berhubungan seks dengan seseorang yang tidak sadarkan diri atau sedang tidur, dan 7,7% sudah terlibat dalam perilaku itu.
Bila fiksasi seksual membuat seseorang tertekan atau menyakiti orang lain, maka hal itu melewati batas menjadi gangguan parafilik.
Penyebab dan ciri-ciri
Ada penyebab mengapa seseorang punya kecenderungan somnofilia. Menurut Baird, dalam sebuah studi kasus seorang pria dengan somnofilia yang dikerjakan psikiater Swiss Francesco Bianchi-Demicheli dan rekan-rekannya pada 2010, ditemukan adanya hubungan antara parafilia ini dan cedera otak masa kanak-kanak.
Cedera ini menyebabkan kerusakan pada daerah frontal dan parietal kanan, terutama atrofi sedang di daerah frontoparietal dengan cedera materi putih yang parah dan menyebar sesuai dengan trauma kepala sebelumnya.
Lalu, penilaian neuropsikologis menunjukkan sindrom diseksekutif sedang, yang berarti tidak melakukan dengan baik pada tugas-tugas yang memeriksa fungsi lobus frontal, seperti pengendalian respons. Lobus frontal mengendalikan serangkaian fungsi sosial dan emosional yang kompleks. Lobus ini memproses data sensorik yang memungkinkan kita memahami informasi spasial atau kesadaran tubuh.
“Orang dengan kerusakan lobus parietal dapat memiliki kelainan dalam cara mereka memandang tubuh sendiri,” tulis Baird.
Psikiater forensik Sohom Das, dilansir dari Daily Mail mengungkapkan, ciri-ciri paling kentara dari seseorang yang melakukan serangan seksual jenis ini adalah sikap tidak berperasaan dan kurangnya empati.
“Pada dasarnya, mampu menyakiti orang lain tanpa merasa menyesal,” kata Das.
Ciri lainnya adalah narsisme. Menurut Das, pelakunya punya rasa berhak. Pelaku memperlakukan korbannya sebagai objek kepuasan seksual, bukan manusia.
“Sifat lainnya adalah impulsivitas,” ujar Das.
Das mengatakan, terkadang pelaku sudah merencanakannya hingga taraf tertentu. Namun, terkadang pula hal itu dilakukan dengan spontan.
“Manipulasi bentuk yang cukup jelas. (Pelaku) menggunakan manipulasi untuk mendapatkan kepercayaan para korban sejak awal,” tutur Das.
Selain itu, kata Das, orang yang melakukan kekerasan seksual cenderung antisosial dan terlibat dalam perilaku berisiko, misalnya menggunakan narkoba.
Di sisi lain, Das menjelaskan, motivasi utama dalam sebagai besar kasus somnofilia adalah lebih mudah melakukan kekerasan seksual ketika korban berada dalam kondisi tak sadarkan diri. Namun, ada sesuatu yang lebih dari itu, yakni kekuasaan dan kendali.
“Menurut saya, pelaku ingin membuat korbannya setengah sadar, bukan tidak sadar, karena mereka benar-benar mendapatkan semacam kenikmatan sadis saat melihat korban menderita,” kata Das.
“Ini tentang kekuasaan dan kontrol, semacam mendominasi seseorang. Bukan (memiliki) pengalaman seksual yang bahagia dan suka sama suka.”
Meski begitu, menurut Live Science, penggunaan istilah somnofilia yang termasuk parafilia sangat berbeda dalam psikologi dan sistem hukum.
“Parafilia dan hal-hal seperti sadisme seksual tidak benar-benar digunakan oleh psikolog dan terapis,” kata psikolog klinis di San Fransisco dan Silicon Valley, Anna Randall kepada Live Science.
“Kami biasanya tidak mendiagnosis seseorang dengan hal itu.”
Menurut Randall, jika seseorang menyakiti orang lain atas nama fetis, maka fetis itu sendiri jarang menjadi masalah.
“Jika seseorang melakukan sesuatu yang melanggar hak pribadi orang lain, kemungkinan besar mereka memiliki gangguan kepribadian antisosial atau mereka adalah seorang psikopat atau sosiopat—mereka tidak tahu apa yang benar atau salah atau tidak peduli,” ujar Randall.
Lebih jauh, Randall mengungkap, tuduhan pemerkosaan itu kemungkinan tidak ada hubungannya dengan somnofilia. Jika Bill Cosby bersalah, kata Randall, mungkin saja dia berfantasi berhubungan seks dengan perempuan yang sedang tidur. Mungkin pula obat-obatan yang membuat seseorang tak sadarkan diri hanya cara untuk mencegah perempuan melawan.
“Jika kita mengatakan setiap mahasiswa yang berhubungan seks dengan gadis pemabuk adalah seorang somnofilia, itu akan menjadi sesuatu yang sangat berlebihan. Atau setiap orang yang membius seseorang di bar dengan obat bius adalah seorang somnofilia, kita akan memiliki banyak sekali somnofilia,” kata Randall.
Faktanya, kata Randall, somnofilia jarang ditemukan dalam praktik klinis. “Ini tidak termasuk dalam 10 besar fetis umum,” ucap Randall.
Walau demikian, Sohom Das mengakui, sulit menemukan statistik pasti seputar kejahatan seksual itu karena beberapa alasan. Menurut Das, kejahatan sepeti itu sangat kurang dilaporkan. Sebabnya, para korban tidak selalu menyadari kalau mereka tengah dibuat tak sadarkan diri.
“Hal itu membuat sulit untuk mengidentifikasi tindak kejahatan sejak awal. Bahkan, ketika mereka mengira obat (zat-zat yang membuat tak sadarkan diri) itu telah diberikan, terkadang sulit untuk mendapatkan bukti forensik karena efeknya bisa hilang dengan cepat,” ujar Das kepada Daily Mail.
“Sering kali korban mungkin ragu untuk melaporkan kejahatan tersebut karena ada rasa malu atau stigma.”


Berita Terkait
Supaya kasus kekerasan seksual dokter PPDS tak terulang lagi
Jumlah korban kejahatan seks digital di Korea Selatan mencengangkan
Mewaspadai predator anak di sekitar institusi pendidikan
Perlunya memperketat pengawasan di panti asuhan

