Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI) mengajukan pengajuan yudisial atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dua hal yang disorot adalah terkait aturan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan antara 40% hingga 75%, serta mengeluarkan kategori bisnis spa dari jasa hiburan. Selain spa atau mandi uap, jasa hiburan yang dikenakan pajak 40% hingga 75%, antara lain diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.
Menurut Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana, I Putu Anom, spa bukan kategori hiburan. Spa, kata Anom, sekarang banyak yang berkembang sebagai wellness tourism atau wisata kebugaran. Terlebih, spa kini tak cuma ada di industri perhotelan atau tempat usaha khusus.
“Tapi banyak berkembang di desa-desa yang dikelola masyarakat lokal,” ujar Anom kepada Alinea.id, Minggu (14/1).
“Ada yang dengan ramuan tradisional atau teknik pemijatan tradisional.
Di Bali misalnya, menurut Anom, usaha spa banyak berkembang di desa-desa yang masih alami dan dijalankan masyarakat setempat. Usaha ini pun diminai wisatawan mancanegara, domestik, maupun warga setempat.
“Untuk itu, tidak cocok spa dimasukkan ke dalam kelompok hiburan,” tutur Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) wilayah Bali itu.
Merujuk Global Wellness Institute, industri kebugaran Indonesia tumbuh dari 35 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 36,5 miliar dolar AS pada 2020. Hal ini menempatkan Indonesia di posisi ke-19 dari 218 negara di seluruh dunia dan peringkat ke-7 di kawasan Asia-Pasifik.
Sementara pada 2023, Indonesia berada di peringkat ke-17 sebagai pasar tujuan wisata kebugaran. Dilansir dari Antara, wellness tourism ini menciptakan 1,3 juta lapangan kerja yang baru dan berkualitas. Sepanjang 2017 hingga 2019, jumlah spa di Indonesia meningkat signifikan, mencapai 15%.
Maka, berdasaran kategori bisnisnya, Anom mengatakan, tak cocok bila spa dikenakan pajak 40%. Bagi Anom, pajak yang dikenakan untuk spa lebih tepat masuk ke pajak hotel dan restoran, antara 10% hingga 11%.
“Spa banyak diminati untuk treatment atau semacam wisata kebugaran untuk memulihkan kelelahan fisik dan batin,” ujar Anom.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menilai, gugatan ASTI yang ingin mengeluarkan spa dari kategori hiburan sangat wajar. Namun, menurutnya, biang kerok utama yang menjerat bisnis spa bukan terletak pada kategori, tetapi jeratan pajak hiburan 40% hingga 75%.
“Itu membuat usaha jasa hiburan, bukan hanya spa, sangat memberatkan,” kata Hariyadi, Sabtu (13/1).
Sama seperti ASTI, kata Hariyadi, GIPI pun menggugat besaran pajak hiburan 40% hingga 75% itu ke MK. Ia mengatakan, pajak hiburan yang sangat besar itu sudah banyak dikeluhkan pengusaha.
“Saya sebagai Ketua Umum GIPI akan memperjuangkan jasa hiburan yang terkena (pajak 40% hingga 75%). Kita minta juga nanti tarif (pajak) 40% sampai 75% itu dibatalkan,” tutur Hariyadi.
Pasal 58 ayat 2 UU HKPD adalah yang disasar Hariyadi. Pasal 58 ayat 2 tersebut berbunyi, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
“Bagi kami, kalau mau fair (pajaknya) itu 10%,” tutur Hariyadi.
Ia melanjutkan, pajak hiburan sebesar 40% hingga 75% telah membuat banyak usaha hiburan terancam gulung tikar. Hal ini akan berimbas pada banyaknya pengangguran. Sebab, jasa hiburan banyak menyerap tenaga kerja.
“(Selain itu bakal) timbul usaha hiburan ilegal atau perusahaan ilegal. Semisal, karaoke ilegal, spa ilegal. Jadi usaha liar nantinya,” ucap dia.
Apalagi, menurut Hariyadi, ketentuan aturan pajak hiburan 40% hingga 75% yang ditetapkan pemerintah tak pernah dibahas bersama dengan pelaku usaha hiburan. “Ini yang bikin aturan enggak paham. Kita enggak diajak bicara,” kata Hariyadi.
Sementara itu, Presiden Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Asnawi Bahar berpendapat, pemerintah sangat ceroboh dalam menetapkan pajak hiburan 40% hingga 75%. Sebab, katanya, sangat egois dan tak melihat kepentingan pelaku usaha.
“Pemerintah dalam memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan sebuah kegiatan bisnis atau industri, (seharusnya) melibatkan banyak pihak agar keputusan tidak perlu digugat-gugat,” ucap Asnawi, Sabtu (13/1).
“Saatnya pemerintah meihat kepentingan dunia usaha dan tidak hanya ansich memikirkan pendapatan negara saja.”
Asnawi memandang, semestinya pajak hiburan disetarakan dengan pajak restoran sebesar 10% atau maksimal 20% agar tak terlalu mencekik pengusaha. Menurut Asnawi, bisnis hiburan yang rusak akibat tarif pajak yang terlampau besar bisa membuat pasar hiburan malam loyo. Bahkan, bisa berdampak luas pada menurunnya daya saing wisata di level regional Asia Tenggara.
“Terutama jika kita komparatif dengan Thailand. Lambat laun akan berdampak luas bagi tenaga kerja,” ucap Asnawi.