close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tengkorak manusia purba./Foto PeterDargatz/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi tengkorak manusia purba./Foto PeterDargatz/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Riset
Rabu, 04 Desember 2024 06:07

Spesies baru manusia purba berkepala besar

Para peneliti memberi nama manusia purba tersebut Homo juluensis.
swipe

Sekitar 200.000 hingga 160.000 tahun silam, sekelompok hominid—nenek moyang manusia—yang menetap di wilayah yang sekarang dikenal dengan China utara sedang mencari mangsa. Mereka adalah pemburu yang terampil dan terorganisir, menguasai peralatan dan senjata primitif seperti tombak, yang digunakan untuk membunuh kuda liar.

Mereka tidak hanya memakan daging, sumsum tulang, dan tulang rawan, tetapi juga membuat pakaian dari kulit binatang untuk membantu bertahan hidup dari musim dingin yang keras. Mereka punya ciri khas, yakni kepala besar dengan tengkorak rendah dan lebar yang bisa menyangga gigi yang cukup besar.

“Itu adalah perbedaan yang sangat besar antara Homo sapiens modern—Neanderthal—dan spesies baru yang diusulkan ini,” kata profesor antropologi di University of Hawaii, Christopher J. Bae, dikutip dari South China Morning Post.

Bersama ahli paleoantropologi dari Chinese Academy of Sciences, Xiujie Wu, Bae mempublikasikan penelitiannya di jurnal Nature Communications, belum lama ini. Mereka memberi nama manusia purba tersebut Homo juluensis—berasal dari kata ju lu dalam bahasa Mandarin—yang berarti manusia berkepala besar.

Dikutip dari Live Science, Homo juluensis adalah fosil yang ditemukan di Xujiayao dan Xuchang, sebuah situs prasejarah di China. Pada 1974, para peneliti menemukan lebih dari 10.000 artefak batu dan 21 fragmen fosil hominid yang mewakili sekitar 10 individu berbeda di Xujiayao. Semua tulang tengkorak menunjukkan, hominid ini punya otak besar dan tengkorak tebal. Keempat tengkorak kuno dari Xuchang juga sangat besar dan mirip tengkorak Neanderthal.

Di Xujiayao, para peneliti juga menemukan peralatan batu dan tulang hewan, yang semuanya mengarah ke lokasi pembantaian kuda. “Mereka mungkin akan melakukan perburuan berkelompok—mengepung sekelompok kuda, lalu menyerangnya,” kata Bae kepada South China Morning Post.

Bae menekankan, tengkorak yang lebih besar belum tentu punya kecerdasan yang lebih tinggi. Kapasitas tengkorak rata-rata Homo sapiens dewasa modern sekitar 1.350 sentimeter kubik, sedangkan Neanderthal yang hidup hingga sekitar 40.000 tahun lalu punya kapasitas tengkorak sekitar 1.450 sentimeter kubik. Sementara Homo juluensis memiliki tengkorak berukuran antara 1.700 dan 1.800 sentimeter kubik.

Variabilitas hominid kuarter akhir di Asia Timur./Foto Christopher J. Bae dan Xiujie Wu dalam Nature Communications.

Ciri gigi Homo juluensis yang paling menarik bagi Bae dan Wu. Mereka yakin, gigi itu punya kemiripan dengan gigi kelompok manusia purba Denisova, yang ditemukan di Siberia pada 2008. Oleh karenanya, Bae dan Xiujie mengusulkan agar Denisova dimasukkan ke dalam spesies baru Homo juluensis.

Bae dan Wu mengusulkan Homo juluensis sebagai spesies hominid baru. Dalam penelitiannya, Bae Wu dan mengatakan, catatan fosil yang terus bertambah di Asia Timur, memerlukan terminologi baru. Caranya, membagi manusia purba di kawasan ini menjadi empat spesies, yakni Homo Floresiensis, Homo luzonensis, Homo longi, dan Homo juluensis. Hal ini bakal membantu para peneliti untuk lebih memahami kompleksitas evolusi manusia.

Menurut Science Alert, setiap beberapa tahun garis keturunan baru bermunculan. Pada 2003, para ilmuwan menemukan Homo floresiensis—spesies manusia terkecil yang hidup 100.000 tahun lalu di daerah yang sekarang dikenal sebagai Nusa Tenggara Timur (NTT) di Indonesia.

Lalu pada 2007, para arkeolog menemukan Homo luzonensis, yang merupakan spesies hominid dari 67.000 tahun silam di Filipina. Kemudian, pada 2010, sebuah analisis DNA mengungkap keberadaan Denisova, manusia purba yang hidup di wilayah yang sekarang disebut Rusia, dekat perbatasan Kazakhstan dan Mongolia.

Tahun 2018, para ahli paleoantropologi menemukan fosil di China timur laut, yang merupakan spesies manusia purba yang sudah punah. Pada 2021, ilmuwan menetapkan spesies tersebut sebagai Homo longi.

Menurut Live Science, meski Homo juluensis secara taksonomi merupakan spesies hominid baru, tetapi tak berarti mereka terisolasi secara genetik. Mereka mungkin saja merupakan hasil perkawinan antara berbagai jenis hominid dari zaman Pleistosen Tengah, termasuk Neanderthal.

Kepada South China Morning Post, Bae mengatakan, para pemburu kuno kemungkinan besar hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Itu membuat mereka rentan terjebak dalam badai salju, lalu akhirnya menghilang dan mati.

“Ini adalah bagian dari alasan mengapa kepadatan populasi Homo juluensis mungkin tidak pernah sebesar saat manusia modern pindah dari Afrika dalam jumlah yang lebih besar,” ujar Bae.

Menurut Bae, ketika Homo sapiens menyebar ke seluruh dunia, perkawinan silang terjadi antara manusia modern dan kelompok lokal, yang menghasilkan jejak genetik kecil dari masyarakat lokal. Saat ini, genom garis keturunan manusia yang berasal dari Eropa mengandung sekitar 2% rangkaian DNA Neanderthal, sedangkan genom dari Asia punya persentase yang sedikit lebih tinggi. Homo juluensis sendiri benar-benar menghilang saat mereka berintegrasi dengan manusia modern paling awal yang tiba di China sekitar 120.000 tahun silam.

“Jika ada, catatan Asia Timur mendorong kita untuk menyadari betapa rumitnya evolusi manusia secara umum dan benar-benar memaksa untuk merevisi dan memikirkan kembali interpretasi terhadap berbagai model evolusi, agar lebih sesuai dengan catatan fosil yang terus bertambah,” tulis Bae dan Wu dalam penelitiannya.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan