Stereotip orang Betawi dalam film dan sinetron
Terinspirasi dari novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo, yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1932, sutradara Sjumandjaja mengadaptasinya menjadi film pada 1973 dengan judul yang sama.
Lalu, film ini dibuat sekuelnya pada 1976 dengan judul Si Doel Anak Modern. Menurut Salim Said dalam buku Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991), sebagai sutradara Sjumandjaja kurang peka dalam menggambarkan satire kritik sosial-politik pembangunan masa Orde Baru.
Film Si Doel Anak Betawi, menurut Salim, didramatisasi ketika adegan Asmad (Sjumandjaja) yang terkejut mendengar kabar kematian Asman (Benyamin S), digambarkan dengan cara menjatuhkan koper yang dijinjingnya. Salim menulis, adegan tersebut sangat verbal dan artifisial.
Salim pun menulis, Sjumandjaja kurang peka, dengan menempatkan karakter Doel (Rano Karno) yang terlalu dipaksakan idealis, sampai-sampai di sekolah dia minta dipanggil Doel anak Betawi.
Citra orang Betawi
Namun, Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan kurang sepakat dengan pendapat Salim Said. Dia mengatakan, Sjumandjaja termasuk tokoh intelektual yang ikut membawa industri perfilman Betawi mencapai puncaknya pada 1970-an hingga 1980-an.
Menurut dia, Sjumandjaja dan Benyamin S menghadirkan suara Betawi yang kuat dan beragam. Stereotip orang Betawi yang berisik dan kampungan diambil, lalu dijungkirbalikan.
“Justru itu menjadi kemenangan orang kampung. Figur Benyamin dominan,” tutur Hikmat saat ditemui Alinea.id di Galeri Kertas Studio Hanafi, Depok, Jawa Barat, Sabtu (10/8).
Tak hanya di layar lebar, stereotip orang Betawi juga terdapat dalam sinetron. Menurut peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliah Muhammad dalam tulisannya “Stereotip Orang Betawi dalam Sinetron” yang terbit di Jurnal Masyarakat dan Budaya (2012), penggambaran orang Betawi dalam sinetron kerap ditonjolkan sebagai tokoh terpinggirkan, seperti miskin, terbelakang, pemalas, dan pesuruh.
Wahyudi melihat, sinetron bernuansa Betawi tercermin relasi kuasa yang timpang. Orang Betawi diposisikan sebagai tokoh marginal, yang berlawanan dengan citra karakter non-Betawi.
“Sinetron Julia Jadi Anak Gedongan. Meskipun Julia orang miskin, yang hanya menjual perabot rumah tangga, tetapi dicintai oleh pemuda tampan, kaya, dan baik hati,” tulis Wahyudi.
Jika digambarkan sebagai orang kaya yang punya sebuah perusahaan dan rumah mewah, Wahyudi menulis, orang Betawi dalam sinetron hanya digambarkan memanfaatkan kekayaannya untuk menambah istri. Dia mencontohkan sinetron Jay Anak Metropolitan.
“Sinetron Jay Anak Metropolitan, yang dimainkan oleh Eko Patrio sebagai Jay dan Jaja Miharja sebagai ayah si Jay, yang memiliki istri dua. Di sini, lagi-lagi Betawi menempati posisi termarginalkan,” tulis Wahyudi.
Wahyudi pun menyayangkan eksploitasi keterbukaan orang Betawi dalam sinetron, yang kurang dipikirkan bagaimana dampaknya terhadap persepsi penonton.
Semisal, eksploitasi cara berbicara yang khas, apa adanya, dan sedikit memakai metafor saat berdialog. Lazimnya, keterbukaan itu dicampur aduk dengan imaji keluguan yang dieksploitasi sebagai bahan lelucon, demi mencapai rating tinggi dan menggaet iklan.
“Sinetron Bajaj Bajuri adalah contoh tepat bagaimana menggambarkan keterbukaan orang Betawi, disimbolkan tokoh Bajuri (Mat Solar), yang keluguannya dieksploitasi secara maksimal,” tulis Wahyudi.
Sikap keterbukaan dan keluguan Bajuri itu membuat penonton tergelak. Candaannya, terkadang menyindir bagi orang Betawi yang menonton. Keluguan orang Betawi, kata Wahyudi, juga dimainkan Mandra, Bolot, Jojon, dan Malih.
Di sisi lain, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Liestianingsih Dwi Dayanti dalam tulisannya “Potret Kekerasan Gender dalam Sinetron Komedi di Televisi” yang terbit di Jurnal Media Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik (2007) menulis, sinetron Bajaj Bajuri merupakan wujud kehidupan sehari-hari masyarakat marginal perkotaan dengan merepresentasikan orang Betawi yang pekerjaannya sebagai sopir bajaj, mewakili tipikal lugu, tak mengenyam pendidikan tinggi, keras, dan mendominasi keluarga.
“Bajuri menjadi simbol masyarakat Betawi yang terpinggirkan oleh modernisasi Jakarta,” tulis Liestianingsih.
Sementara dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Budi Irawanto dalam tulisannya “Menertawakan Kejelataan Kita: Transgresi Batas-Batas Marginalitas dalam Sinetron Komedi Bajaj Bajuri” di Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyebut, nilai lokalitas dalam Bajaj Bajuri tampak di berbagai aspek, meliputi wajah, latar tempat, situasi, nama, hingga bahasa.
Penggambaran sinetron ini menayangkan realitas sosial orang Betawi dalam pusaran gemerlap kehidupan Ibu Kota.
“Kejelataan dalam Bajaj Bajuri adalah siasat melakukan parodi terhadap marginalitas dan sekaligus melakukan sindiran terhadap wacana yang dominan,” tulis Budi.
Kurang riset
Hikmat Darmawan menegaskan, peran dan keterlibatan orang Betawi dalam film dan sinetron, memengaruhi bagaimana orang Betawi ditampilkan. Misalnya, dalam sinetron Bajaj Bajuri terdapat orang Betawi, tetapi pengaruhnya tak signifikan.
“Akibatnya, sisi negatifnya saja yang ditonjolkan,” tutur Hikmat.
Lebih lanjut, Hikmat menuturkan, film Lenong Rumpi (1991) juga menjungkirbalikan kembali stereotip orang Betawi. Sebab, Harry de Fretes dan pemain yang lainnya mencitrakan diri sebagai orang Betawi, tanpa penghayatan karakternya.
“Film ini jadi titik tolak perubahan, secara pasar berhasil, walau menyaksikannya dengan rasa asing karena tidak seperti Betawi yang saya lihat sehari-hari,” ujar Hikmat.
Menurut data Perfin, yang dikutip dari filmindonesia.or.id, film yang diangkat dari komedi televisi di sebuah stasiun televisi swasta ini ada di urutan film terlaris ke-5 di Jakarta, dengan 243.000 penonton.
Dalam pandangan Hikmat, Lenong Rumpi mengambil imaji orang Betawi, tetapi sekadar konstruksi penggambaran Betawi oleh para kreator yang mengemasnya, tanpa menyelami keseharian masyarakat Betawi.
“Para kreator punya bayangan, tapi tak meriset secukupnya. Mereka bikin sosok Betawi yang sangat asing. Orang Betawi benar-benar ‘babak belur’ oleh ‘orang-orangan’ Betawi (hasil bayangan kreator), yang diambil ‘teriaknya’ atau ‘jengkolnya’ saja,” ucapnya.
Tak mengherankan, ada semacam dinding pembatas antara imaji penonton tentang orang Betawi, dan kenyataan sesungguhnya.
Dihubungi terpisah, budayawan Betawi Yahya Andi Saputra mengakui pengaruh film dan sinetron dalam membentuk stereotip tersebut sudah dirasakan masyarakat Betawi. Dia meragukan, film dan sinetron itu mengangkat nuansa keseharian orang Betawi.
Yahya menilai, selain penggambaran yang tak selaras, sebelum membuat film atau sinetron para pembuatnya mengabaikan riset lapangan. Dia mengungkapkan, dalam film horor seperti Malam Satu Suro (1988), identitas Betawi yang melekat pada Bokir, dibingkai sebagai hiburan dengan menampilkan kebodohannya.
“Yang (lebih) bermasalah itu tayangan sehari-hari masyarakat, yakni sinetron. Bagi saya, Lenong Rumpi dan Bajaj Bajuri enggak ada bagus-bagusnya,” ujar Yahya saat dihubungi, Senin (12/8).