Dalam akun Instagram-nya, calon wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, Suswono menyampaikan permintaan maaf terkait pernyataannya yang kontroversial soal janda kaya yang bisa menikahi pemuda pengangguran dalam pertemuan dengan relawan Bang Japar beberapa waktu lalu. Bahkan, dia memberikan contoh Nabi Muhammad yang menikahi Siti Khodijah.
Di video klarifikasinya, Suswono mengatakan, pernyataan itu hanya candaan dalam konteks kepedulian terhadap anak yatm dan janda, mencari solusi terhadap masalah kemiskinan, dan mengatasi pengangguran. Meski begitu, pasangan Ridwan Kamil dalam Pilkada Jakarta 2024 tersebut telanjur menimbulkan polemik.
Menurut Kepala bidang Advokasi #SaveJanda Nanda Ismael, secara ekonomi pernyataan itu jelas bukan solusi bagi pengentasan kemiskinan di semua level wilayah kewenangan pemerintahan, mulai dari RT hingga negara. Pernyataan Suswono, kata dia, cacat pikir yang entah didasari oleh lelucon atau malas berpikir secara komprehensif tentang pengentasan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran.
“Pengangguran tidak berkorelasi dengan menikahi janda kaya. Pengangguran adalah bentuk paling nyata dari kegagalan pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja dan hal terkait lainnya,” kata Nanda kepada Alinea.id, Senin (28/10).
Dari sisi psikologis, dia melihat, ada perbedaan pengalaman dan tingkat kematangan yang pasti menjadi tantangan. Menurut dia, janda kaya diasumsikan karena usahanya dalam memperoleh standar taraf hidup di atas layak atau berarti sudah lebih dewasa secara usia. Jika si pemuda pengangguran tidak punya kematangan psikologis yang sama, maka bisa menjadi konflik yang menguras emosi dan pikiran.
“Kalau dari perkataan Suswono, berarti kan pernikahannya berbasis ekonomi atau kepentingan. Ada agenda terselubung. Yang diawali dengan rasa tulus ingin menua bersama saja bisa bercerai, apalagi yang punya hidden agenda,” kata Nanda.
Sedangkan dari sisi sosial dan budaya, ujar Nanda, status janda artinya erat dengan berbagai stigma. Bukan hanya dari lingkungan, tetapi juga dari kelaurga. Bahkan, diri sendiri merasa gagal, merasa tidak berguna, merasa kalah, atau merasa tidak berharga karena penilaian yang dibentuk masyarakat. Jika janda berhubungan dengan laki-laki muda dan pengangguran, maka bukan tidak mungkin bakal menambah banyak stigma.
“Pengangguran di sini kita definisikan sebagai murni tidak berpenghasilan dan jadi beban keluarga. Yang kalau dipikir ulang dengan logis, berarti akan menjadi beban baru bagi si janda,” ujar dia.
Dihubungi terpisah, Hadyanna Prathita Rahayu dari Single Parents Indonesia in Motion (Spinmotion) mengatakan, pernyataan Suswono amat seksis dan misoginis. Thita, sapaan akrabnya, menilai, pernyataan Suswono memperlihatkan konstruksi berpikir soal perempuan yang berstatus tidak menikah adalah seseorang yang perlu disempurnakan dengan menikah.
“Hal ini sinkron dengan edaran partainya tahun 2021 lalu, yang menyarankan kadernya berpoligami dengan janda untuk meningkatkan kesejahteraan janda, namun akhirnya edaran tersebut ditarik,” tutur Thita, Selasa (29/10).
Sebagai informasi, pada 2021 lalu PKS menghadirkan program solidaritas tiga pihak yang berlaku bagi kadernya. Salah satu poinnya, partai mengizinkan kader laki-laki yang dianggap mampu untuk berpoligami dengan memprioritaskan janda.
Thita menyadari, Suswono belum memahami permasalahan yang terjadi di lapangan. Berdasarkan survei yang dilakukan komunitasnya pada 2018, ditemukan lebih dari 75% janda cerai hidup tidak mendapatkan dukungan nafkah untuk anak. Artinya, dari empat bapak, tiga bapak yang sudah bercerai tidak lagi menafkahi anaknya.
Padahal, dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut, orang tua tetap mempunyai kewajiban yang sama untuk menafkahi dan menjamin kesejahteraan anak, setelah adanya perceraian.
“Namun sampai saat ini, belum ada sanksi pidana bagi ayah yang mangkir dari tanggung jawabnya,” kata Thita.
Isu kesejahteraan anak korban perceraian, menurut Thita, sebenarnya sudah sejak lama diperjuangkan komunitasnya supaya nafkah anak lebih diatur dengan baik. Di sisi lain, dia menyebut, Kartu Yatim yang merupakan program pasangan Ridwan Kamil-Suswono kurang tepat jika disandingkan dengan jaminan kesejahteraan. Sebab, bakal rentan “label” yang menyebabkan anak minder.
Kategori anak yakin pun dianggap masih bias karena sebatas sang bapak sudah meninggal dunia. Namun, tidak terkait bapak yang mangkir menafkahi anaknya.
“Kondisi ini disebut sebagai yatim pasif karena sang anak tidak merasakan kehadiran sang ayah, sementara ayahnya masih ada di dunia,” kata Thita.