Suara-suara dari para penonton film Dirty Vote
Pada Senin (12/2) sore, film Dirty Vote diputar di Rumah Belajar Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan. Film dokumenter berdurasi hampir dua jam tentang dugaan kecurangan tahapan Pemilu 2024 yang dipandu tiga orang ahli hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar itu sebelumnya tayang di YouTube pada Minggu (11/2).
Salah seorang peserta nonton bareng Dirty Vote di Rumah Belajar ICW, Nurcholis Fachri, 23 tahun, mengaku sebelumnya sudah menonton film itu di kanal YouTube PSHK Indonesia. Sebagai informasi, hingga Selasa (13/2) di kanal YouTube tersebut, Dirty Vote sudah ditonton lebih dari tujuh juta orang.
“(Bagi) saya (film itu) memperluas pandangan terhadap rentetan peristiwa arogansi politik dari keluarga presiden,” ujar mahasiswa di perguruan tinggi di Jakarta itu saat ditemui Alinea.id di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Senin (12/2).
Menurutnya, masyarakat butuh menonton film serupa untuk mendidik warga negara berpikir kritis, memahami lebih jauh bagaimana cara bernegara, dan mempelajari keadilan dalam demokrasi. Setelah menonton film itu, Nurcholis mengaku khawatir terhadap kecurangan pemilu dan kericuhan pasca-pemilu.
“Pada tahun 2019 saya berada di (dekat Kantor) Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Melihat dengan mata (sendiri) kericuhan yang besar, korban bergelimpangan, suara tembakan gas air mata,” ujar Nurcholis.
Diketahui, pada 21-22 Mei 2019 terjadi kerusuhan di sekitar Sarinah, Slipi, dan Tanah Abang. Kerusuhan itu dipicu kekecewaan terhadap hasil Pemilu 2019 yang dimenangkan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Awalnya, demonstrasi terjadi di sekitar Gedung Bawaslu. Dalam kerusuhan itu, disebut sembilan orang tewas.
Meski demikian, usai menonton Dirty Vote, Nurcholis tak terpengaruh untuk berubah pilihan capres-cawapres. “Sampai saat ini, saya masih memilih pasangan (capres-cawapres). Tidak golput dan tidak memilih paslon (pasangan calon nomor urut) 2,” tutur dia.
Gabriela Yessica Hardani yang juga hadir dalam nonton bareng di Rumah Belajar ICW pun sebelumnya sudah menonton Dirty Vote. “Tahu film Dirty Vote dari media sosial kayak TikTok, Instagram, dan Twitter (sekarang X),” ujar mahasiswi berusia 20 tahun itu, Senin (12/2).
Menurut Gabriela, Dirty Vote bisa mengubah pola pikir masyarakat karena berisi statistik hasil riset dan bukti-bukti konkret. “Tidak ada asumsi maupun opini di dalamnya. Jadi ya, benar-benar fakta,” kata Gabriela.
Selain itu, dari menonton Dirty Vote, Gabriela merasa teredukasi tentang ketidaknetralan pejabat publik, penyaluran bantuan sosial untuk kepentingan elektoral partai politik maupun pasangan calon capres-cawapres tertentu, hingga lembaga negara yang melakukan pelanggaran etik.
“Dari film ini, saya jadi belajar untuk lebih bijak dalam memilih pemimpin negara,” ucap Gabriela. “Film ini juga bisa menggerakkan nurani saya untuk berpikir rasional.”
Gabriela mengatakan, setelah menonton Dirty Vote, tak mengubah pilihannya nanti. “Karena dari awal saya memang tidak mendukung pasangan yang memiliki ambisi tinggi ingin berkuasa,” ujar dia.
“Dari awal sudah tidak ada kemauan untuk memilih paslon 2.”
Terpisah, koordinator politik working group Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid atau akrab disapa Alin mengatakan, film tersebut hadir untuk mengajak masyarakat bijak dalam menentukan pilihan pada pasangan calon.
“Kita tentu tidak mau hanya menggunakan hak politik, tanpa memiliki bekal,” ujar Alin di Rumah Belajar ICW, Jakarta, Senin (12/2).
“Film ini mengajak kita untuk terus bersuara mengkritisi kebijakan negara yang tak berpihak pada lingkungan, manusia, dan upaya membungkam demokrasi.”
Sementara itu, peneliti bidang hukum dari Themis Indonesia yang terlibat dalam tim produksi Dirty Vote, Hemi Lavour Febrinandez mengatakan, penayangan film di saat masa tenang kampanye adalah bagian dari strategi. Tujuannya agar film mudah diakses masyarakat.
“Masyarakat dapat menemukan informasi mengenai film ini dengan mudah. Jika di-upload masa kampanye, akan tertindih kampanye-kampanye yang sedang berlangsung,” kata Hemi di Rumah Belajar ICW, Jakarta, Senin (12/2).
Pembuatan film besutan jurnalis Dandhy Laksono ini pun terbatas. Kata Hemi, hanya dua minggu. Data yang dipakai di dalam film, ujarnya, sudah disaring, dicek, dan dianalisa. “Data tersebut sesuai dengan kebenarannya,” kata dia.
Ia berharap, dengan dirilisnya film itu, publik dapat berpikir kritis dalam memilah informasi. Hemi percaya, Dirty Vote memiliki pengaruh besar terhadap pemilih. “Tapi, bukan kami mencoba untuk mengubah pola pikir mereka ataupun disuruh untuk tidak memilih,” kata Hemi.
“Namun, kami menyajikan sebuah film yang dapat memberikan gambaran yang tengah terjadi saat ini. Untuk calon pemilih, tetap pada kemauan kalian, yang penting kalian tahu kebenarannya.”
Ia bilang, film ini juga tak bertujuan memberikan pengaruh kepada siapa pun capres-cawapres yang harus dipilih. Namun, hanya ingin membuat masyarakat mengetahui kebenaran. “Setelah itu, balik lagi ke kawan-kawan, mau memilih atau tidak,” tutur dia.
Hemi mendengar, film itu pun sudah masuk ke grup-grup sekolah. Padahal target penonton Dirty Vote bukan kelompok tersebut. “Nah hal inilah yang membuat kami yakin bahwa pesan kami tersampaikan dengan sangat baik,” ujar dia.
“Pembahasan (soal film Dirty Vote) bukan hanya di masyarakat yang melek politik, tetapi juga ketika kita naik ojek atau berdagang.”
Ia percaya, Dirty Vote dapat menyampaikan makna yang ingin disasar. Makna dalam film itu, sebut Hemi, sangat kaya. Mulai dari latar belakang pasangan calon hingga mengajak masyarakat lebih kritis dalam menentukan pilihan. Hemi percaya pula Dirty Vote dapat mencegah kecurangan saat hari pencoblosan.
“Tim sukses dari paslon-paslon yang menggunakan serangan fajar jadi ngeri untuk datang ke rumah,” ujar Hemi.
“Karena dari film ini masyarakat kita sudah melek mengenai paslon-paslon yang curang.”