Suka-duka memilih menikah beda warga negara
Dua tahun lalu, Bella Praneta, 25 tahun, memutuskan meninggalkan rumahnya di Depok, Jawa Barat dan memilih menetap di Denpasar, Bali. Tujuannya, dia ingin mencari pasangan hidup warga negara asing. Dia menganggap Bali sebagai “pintu” bagi orang-orang luar negeri berkunjung ke Indonesia.
“Jadi, saya ngerasa, ini pilihan yang tepat buat bisa kenalan dan bertemu banyak orang luar (negeri) ya,” ujar Bella kepada Alinea.id, Kamis (25/4).
Dia pun kerap menerima stigma lantaran statusnya sebagai orang tua tunggal, sebelum pindah ke Bali. Sehari-hari, Bella bekerja di sebuah kafe di daerah Canggu. Di tempat kerjanya itu, peluang untuk berkenalan dengan orang baru, terutama turis asing, menjadi terbuka. Sebagai orang tua tunggal, Bella berpikir, mencari orang asing lebih baik secara finansial untuk mencukupi kebutuhan hidupnya kelak.
“Saya punya anak. Otomatis saya ingin mencari sosok ayah buat anak dan mau yang sudah mentally and financially stable,” ujar dia.
“Menurut saya, orang luar (negeri) itu semangat kerjanya lebih tinggi. Mereka bisa sampai kerja di dua pekerjaan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhannya.”
Bella pun berpikir berpindah kewarganegaraan, jika menemukan pasangan beda negara. Baginya, lelaki bule lebih memberikan dukungan terhadap dirinya untuk membesarkan anak.
“Kalau bisa, saya ingin pindah keluar (negeri) aja, asalkan negara itu memang aman buat anak dan saya sendiri,” tutur Bella.
Dihubungi terpisah, Yanti Aniesrah Purwati sudah 31 tahun menikah dengan pria asal Jerman. Perempuan berusia 54 tahun tersebut, pertama kali bertemu sang suami di Bali pada 1989.
“Saat itu memang saya sedang tinggal di sana (Bali),” ujar Yanti saat dihubungi, Kamis (25/4).
Diakui Yanti, perkenalannya tak sengaja. Ketika itu, dia pertama kali ke Bali. Teman-temannya kerap bergaul dengan orang-orang asing. Dari sana, dia bertemu suaminya.
“Dia deketin saya. Saya juga mau-mau aja,” ucap Yanti. “Terlepas dari itu semua, dia memang orang yang baik.”
Kemudian, Yanti tinggal di Jerman. Suaminya bekerja sebagai seorang manajer di sebuah swalayan di Jerman. Tak ada alasan spesifik mengapa dia memilih pria bule.
“Saya memilih dia karena memang dia baik, sayang dan peduli sama keluarga saya. Bukan karena dia bule,” tutur Yanti.
Namun, perkara menikah bukan sebuah hal yang gampang bagi Yanti dan pasangannya. Selain agama yang berbeda, mereka dihadapkan dengan segala urusan administratif rumit yang mesti ditempuh. Dia bertanya kepada beberapa teman untuk menikah di Indonesia. Orang tuanya pun menginginkan Yanti menikah di Indonesia, baru terbang ke Jerman.
“Akhirnya, setelah mencari-cari dan menurut kami semua jalan itu buntu, kami memutuskan untuk menikah di Jerman,” ujar Yanti.
“Karena di sana (Jerman) semua lebih mudah dan mentransfer data pernikahan kami dari Jerman ke Indonesia.”
Persoalan gaya hidup, menurutnya, yang paling sulit dalam penyesuaian menikah dengan pria berbeda kewarganegaraan. Misalnya, soal makanan. “Kebanyakan, saya yang ikut kepada suami saya,” ucap dia.
Dia mengungkap, tak ada yang berbeda pola asuh anak di Jerman dan Indonesia. Walau sudah bertahun-tahun berumah tangga dan tinggal di Jerman, hingga kini Yanti masih mempertahankan status WNI-nya.
“Capek (kalau) harus mengurus daya. Ingin pindah (kewarganegaraan), tapi prosesnya panjang,” tutur dia.
Karena statusnya masih WNI, Yanti tak mendapatkan manfaat dari pemerintah Jerman dibandingkan jika dia berkewarganegaraan Jerman. Contohnya, saat diajak berlibur ke Inggris, suaminya bisa dengan mudah berangkat. Sedangkan Yanti harus sibuk mengurus visa. Yanti pun masih sering pulang ke Indonesia.
Bertahun-tahun tinggal di Jerman, Yanti menilai, sesama orang Indonesia kalau bertemu di luar negeri menjadi asing. Tak mau berkomunikasi. Satu sama lain, memiliki pandangan negatif.
“Tapi ya hanya sebatas pandangan saja. Tidak ada aksi yang mengganggu atau bagaimana, itu tidak ada,” kata Yanti.
Sementara itu, Indra Rani, 37 tahun, perempuan asal Bandung, Jawa Barat, sudah menikah dengan lelaki asal Belgia sejak 2022. Mereka bertemu lewat aplikasi kencan internasional.
Latar belakang bidang pendidikan yang sama, membuat mereka dekat. Lantas, pria yang kini menjadi suaminya itu, rela terbang nyaris 24 jam untuk bertemu Rani di Yogyakarta. Perkenalan itu dimulai dengan memperkenalkan suaminya pada budaya dan sejarah Indonesia, yang ada di Yogyakarta.
“Saya tipe (orang) yang terbuka dengan berbagai macam ras dan kebudayaan. Niat awalnya memang untuk memperluas pergaulan. Mengapa tidak, kalau memang berjodoh,” ujar Rani saat dihubungi, Kamis (25/4).
Setelah menikah, Rani menetap di Belgia. Suaminya bekerja sebagai guru. Ada beberapa pertimbangannya memilih menikah dengan bule.
“Ada prinsip-prinsip yang sulit untuk dijalani apabila menikah dengan orang Indonesia,” ucap Rani.
“(Punya) pandangan hidup yang cocok, visi, dan misi yang sama dalam membina keluarga.”
Menurut Rani, secara administratif, menikah dengan orang luar negeri bisa berlipat-lipat sulitnya dibandingkan menikah sesama negara. Namun, urusan prinsip, pemahaman, gaya hidup, dan perbedaan budaya bisa dengan mudah mereka atasi. Akhirnya, dengan segala pertimbangan, Rani dan suaminya memilih menikah di Bandung.
“Karena kami sama-sama open minded dan saling menghargai perbedaan budaya masing-masing,” tutur Rani.
“Mengetahui latar belakang budaya masing-masing pasangan, membuat kami lebih mudah mengerti satu sama lain.”
Akan tetapi, Rani bilang, ada beberapa penyesuaian, terutama soal saling memberikan informasi terkait norma-norma yang berlaku di masing-masing negara. Misalnya, penyesuaian standar kebersihan makanan. Sebab, kata dia, orang luar negeri rentan terkena penyakit.
“(Misalnya) saya makan terkadang menggunakan tangan, bukan sendok. Saya makan makanan pedas dan makan nasi, bukan roti,” ujar dia.
“Pada akhirnya, suami yang lebih banyak menyesuaikan untuk ikut makan makanan Indonesia yang saya buat sehari-hari.”
Sebagai perempuan asal Asia, Rani mengaku tak pernah mendapatkan diskriminasi secara sistem atau pergaulan sosial. Menurutnya, secara umum orang-orang Belgia baik. Meski ada beberapa yang kurang menyenangkan. Hal itu, kata Rani, disebabkan fenomena krisis pengungsi yang dimulai saat perang saudara di Suriah dan beberapa negara di Afrika.
“Jadi, apabila kulit kita berwarna, bisa saja disalahartikan sebagai penerima bantuan dari negara,” ucap Rani.
Lebih lanjut, Rani memandang, beberapa orang yang melakukan kawin campur dengan orang asing, ada yang bertendensi untuk “mendompleng” status karena menikah dengan bule. Beberapa dari mereka menjadi rasis dengan bangsanya sendiri.
“Si pria (bule) mendapat sosok yang siap melayani dengan baik—karena ada anggapan perempuan Barat susah diatur karena semangat liberalisme,” ujar Rani.
“Si perempuan, mungkin mendapat keuntungan ekonomi atau perbaikan hidup. Pada akhirnya, sama-sama menguntungkan, walau ada stigma buruk dari luar.”
Kini, mereka sudah dikaruniai seorang anak. Pola asuh anak di Belgia berbeda dengan di Indonesia. Kata dia, di Belgia lebih liberal, berani berdebat, dan mengungkapkan pendapat. Akhirnya, ada kesan anak-anak di Eropa lebih lancang ketimbang di Indonesia yang mengedepankan sopan-santun yang kental.
“Negatifnya, saya tidak terbiasa dengan hilangnya tata krama yang ada di Indonesia. Positifnya, (jadi) berani bersuara dan berpendapat mungkin akan menghasilkan kreativitas dan kejelasan atas maksud dari masing-masing individu,” kata Rani.
Status kewarganegaraan Rani masih WNI. Hingga kini, ia belum ada rencana mengubah status kewarganegaraannya itu. Rani dan suaminya juga masih sering pulang ke Indonesia. “Karena kami sama-sama menganggap, Indonesia adalah rumah juga,” tutur dia.
Terlepas dari semuanya, menurut Rani, proses imigrasi dan kawin campur adalah suatu hal yang tidak terelakkan. Hakikatnya, masing-masing individu ingin mencari penghidupan yang lebh baik, dari sisi ekonomi, sistem negara, atau kepuasan batin mendapat pasangan yang diinginkan.
“Selama (bisa) saling menghormati antarras, bangsa, dan negara,” kata Rani. “Tidak ada ras, bangsa, warna kulit yang lebih unggul.”