close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bung Karno dan Trio Greco, kelompok musik dari Yunani. /gahetna.nl.
icon caption
Bung Karno dan Trio Greco, kelompok musik dari Yunani. /gahetna.nl.
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 17 Oktober 2018 19:30

Sukarno dan diplomasi sebatang rokok

Sukarno sangat gemar mengisap rokok merek State Express 555.
swipe

Sebuah foto hitam putih Presiden Sukarno dalam situs gahetna.nl, saat berkunjung ke Athena, Yunani, pada 9 Juli 1965 menyiratkan ekspresi yang unik. Di dalam foto itu, Bung Karno menutupi kedua telinganya dengan jari telunjuk, ketika grup musik Trio Greco asal Yunani beraksi di belakangnya.

Bung Karno sedang bercanda. Ketika itu, di dalam negeri, dia tengah mendengungkan kampanye antimusik barat, yang diistilahkan ngak ngek ngok. Yang juga menarik di foto tersebut, sebatang rokok terapit manja di bibir Bung Karno.

Rokok memang akrab dengan presiden pertama Indonesia tersebut. Dalam beberapa kesempatan, dia tertangkap kamera tengah asyik merokok.

Merokok bersama pemimpin dunia

Di dalam bukunya, Dunia dalam Genggaman Bung Karno, Sigit Aris Prasetyo menulis, ketika Sukarno menyambangi Havana, Kuba pada Mei 1960, dia terlibat obrolan santai dan akrab dengan pemimpin Kuba Fidel Castro.

“Menurut Menteri Luar Negeri Soebandrio, Sukarno dan Fidel Castro memiliki kegemaran mengisap rokok atau cerutu,” tulis Sigit Aris Prasetyo dalam Dunia dalam Genggaman Bung Karno.

Dalam obrolan santai itu, Castro menawarkan cerutu khas Kuba kepada Sukarno. Mereka lalu menikmati cerutu.

Kemudian, tulis Sigit dalam bukunya, gantian Sukarno menyodorkan rokok kegemarannya. Castro terkejut. Rokok yang ditawarkan Bung Karno merek Player’s, merek rokok yang diproduksi di Inggris.

Castro lantas mempertanyakan soal rokok buatan negara imperialis itu. Bung Karno menjawabnya dengan nada sinis.

“Betul. Kaum imperialis dan kapitalis itu harus diisap jadi asap dan debu,” ujar Bung Karno, diiringi tawa mereka, seperti dikutip dari buku Dunia dalam Genggaman Bung Karno karya Sigit Aris Prasetyo.

Yang paling fenomenal barangkali pertemuan Sukarno dengan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev. Sukarno dan Khrushchev dikenal bersahabat baik. Dalam perjuangan antiimperialisme, Sukarno banyak merapat ke Uni Soviet.

Sukarno dan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev dalam sebuah jamuan makan malam di Istana Tampaksiring, Bali. (Life/John Dominis).

Sukarno pertama kali mengunjungi Uni Soviet pada 1956. Pada 1957, Indonesia mengirimkan pertama kali sejumlah mahasiswa ke Moskwa.

Bung Karno dan Khrushchev adalah penentang Amerika Serikat yang tajam. Menurut Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia, Sukarno pernah mengecam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai alat imperialis dan kolonial. Indonesia pun menarik diri dari lembaga dunia itu.

Sementara ketika pidato di sidang umum PBB, Khrushchev malah bikin heboh. Dia mengecam Amerika Serikat dengan berteriak, lalu melepaskan sepatunya dan mengetukkannya ke meja podium.

Keakraban antara Sukarno dan Khrushchev terlihat saat mereka ada di Istana Tampaksiring, Bali, dalam sebuah jamuan makan malam. Khrushchev berkunjung ke Indonesia pada 27 Februari hingga 2 Maret 1960.

Dalam jamuan makan malam itu, Bung Karno dan Khrushchev “menyambung” rokok, diabadikan oleh wartawan foto. Menurut Sigit di dalam bukunya Dunia dalam Genggaman Bung Karno, dalam budaya Rusia saat kedua sahabat sudah minum vodka atau sambung rokok, maka menandakan persahabatan sudah mencapai taraf saling percaya.

Persahabatan Uni Soviet dan Indonesia menghasilkan pengucuran dana, pembangunan proyek, dan pasokan senjata besar-besaran ke Indonesia.

“Boleh dibilang, hampir seluruh persenjataan tempur Indonesia saat itu, terutama saat Trikora dan Dwikora berasal dari Rusia,” tulis Tomi Lebang dalam Sahabat Lama, Era Baru: 60 tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia.

Pemimpin dunia lainnya, yang memiliki kebiasaan merokok adalah Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru. Di dalam sebuah konferensi, Sukarno juga pernah tertangkap kamera tengah membantu Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru untuk menyalakan rokoknya.

Menurut kurator Museum Konferensi Asia-Afrika Desmond Satria Andrian, keakraban Sukarno dan Nehru itu terjadi saat Konferensi I Gerakan Nonblok di Beograd, Yugoslavia, pada September 1960. Tak ada larangan merokok di konferensi tersebut.

“Ini masalah protokoler. Semua konferensi di masa itu belum melarang aktivitas merokok. Saya perhatikan juga semua sidang komite Konferensi Asia Afrika tahun 1955 seluruh delegasi bebas merokok,” kata Desmond ketika saya hubungi, Jumat (28/9).

Rokok kegemaran dan pendekatan kultural

Peneliti dari Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Wildan Sena Utama mengatakan, diplomasi rokok Sukarno adalah pendekatan kultural. Tujuannya, untuk lebih dekat dengan kolega-kolega pemimpin progresif dunia.

“Diplomasi itu banyak diwarnai dengan pendekatan kultural semacam ini, untuk lebih akrab, lebih nyaman,” kata Wildan, Rabu (26/9).

Merek rokok Sukarno tak tetap. Sewaktu ngerokok bareng Fidel Castro, dia mengisap rokok merek Player’s. Rokok ini memiliki nama panjang John Player & Sons, diproduksi oleh produsen tembakau dan rokok, berbasis di Nottingham, Inggris.

Bung Karno, menurut pengakuan ajudannya Mangil Martowidjojo, menyukai rokok merek State Express 555, atau lebih tenar dengan sebutan rokok 555.

State Express 555 merupakan merek rokok yang mulanya diproduksi di Britania Raya oleh Ardath Tobacco Company. Kemudian diakuisisi British American Tobacco pada 1925. Merek rokok ini sangat populer di negara-negara Asia.

Di dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, Mangil pernah mengisahkan ketika Bung Karno ingin sekali merokok 555, dalam sebuah perjalanan setelah makan Namun, tak ada yang punya rokok 555.

“Bapak ini merokok sehari hanya dua batang. Tiap-tiap habis makan satu batang. Kok rokok saya satu kaleng yang isinya 50 batang bisa habis satu hari, itu bagaimana?” ujar Sukarno, seperti yang ditirukan Mangil, termuat dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967.

Mulai saat itu, tulis Mangil dalam bukunya, Hardjowardojo memerintahkan kepadanya untuk selalu membawa rokok 555 kegemaran Bung Karno saat dalam perjalanan. Ketika dibawa Mangil, rokok kegemaran Bung Karno itu selalu utuh.

“Tidak ada yang berani minta rokok pada saya karena saya sendiri tidak merokok,” tulis Mangil dalam Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967.

Menurut Wildan, Sukarno memang memiliki selera yang berkelas, tak terkecuali soal merek rokok. Hal itu bisa dilihat dari caranya berpakaian dan membangun dirinya agar tampil kharismatik.

“Sukarno pernah mengatakan ke Cindy Adams, dia sengaja berpakaian ala militer untuk membuat rakyatnya tak minder, melihat pemimpinnya percaya diri dengan atribut yang gagah,” kata Wildan, yang juga menulis buku Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme.

Selain Sukarno, tokoh Indonesia lainnya Haji Agus Salim, juga dikenal sebagai perokok berat. Menurut Asvi Warman Adam dalam tulisannya “Manusia Merdeka” di buku Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, sewaktu mengajar di Cornell University, Amerika Serikat, Agus Salim tak lupa kebiasaannya mengisap rokok keretek.

Salim pun sempat membuat heboh, saat mewakili Presiden Sukarno menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris Elizabeth pada 1953. Menurut Asvi dalam tulisannya itu, Salim agak kesal dengan suami ratu Elizabeth, Pangeran Philip, yang kurang perhatian terhadap tamu yang hadir dari negeri jauh.

“Salim menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok kereteknya di sekitar hidung sang pangeran. ‘Apakah paduka mengenali aroma rokok ini?’ Setelah dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, sang pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut. Agus Salim pun dengan tersenyum berujar, ‘Itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya’,” kata Agus Salim, seperti dikutip dari tulisan Asvi Warman Adam, “Manusia Merdeka” dalam buku Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme.

Jadi, merokok atau tidak merokok merupakan urusan pribadi. Mereknya pun begitu, tergantung selera. Tak peduli berstatus penguasa atau rakyat jelata.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan