Sejak Maret 2024 lalu, Ikrom, 29 tahun, tidak lagi berani melamar pekerjaan yang bertebaran di media sosial dan grup aplikasi percakapan WhatsApp. Sebab, dia sudah tertipu lowongan pekerjaan palsu, yang menawarkan kerja dengan posisi penjaga gudang di kawasan perkantoran Jalan Pangeran Tubagus Angke, Jakarta Barat.
Ketika itu, dia tergoda melamar pekerjaan dari iklan lowongan kerja di media sosial karena dalam posisi menganggur. Padahal, hari raya Idulfitri sudah dekat. Dia merasa kurang pantas berkumpul bersama keluargaa dalam kondisi menganggur. Setelah mengirimkan dokumen persyaratan kerja lewat surat elektronik, Ikrom diminta wawancara di kantor itu.
“Ternyata setelah wawancara dan nego gaji, yang wawancara saya bilang, ada uang yang mesti dibayar sebesar Rp2,5 juta,” ucap Ikrom kepada Alinea.id, Sabtu (19/10).
“Langsung saya mikir, duit dari mana? Wah, penipuan ini kayaknya.”
Ikrom menyatakan, tidak bisa menyanggupi pembayaran uang yang diminta. Dia merasa janggal lantaran untuk bekerja sebagai penjaga gudang harus mengeluarkan uang.
“Selain itu juga saya enggak megang uang sebanyak itu. Di rekening cuma da Rp400.000,” kata Ikrom.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengatakan, penipuan lowongan kerja memang sedang marak belakangan terakhir. Kondisi ini terjadi karena banyak pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan angkatan kerja baru yang tidak terserap industri.
Mirah menuturkan, kondisi yang saat ini terjadi, mirip 15 tahun lalu saat terjadi peningkatan pengangguran karena krisis moneter 2008.
“Dulu banyak yayasan yang juga melakukan praktik penipuan kerja dan pungutan. Ada yang minta dibayar di muka langsung, ada yang bisa dicicil,” ucap Mirah kepada Alinea.id, belum lama ini.
“Padahal, belum tentu kerja juga. Jadi menurut saya, praktik-praktik ini sudah lama dan sampai sekarang masih terus ada.”
Menurut Mirah, dengan bertambahnya pengangguran akibat gelombang PHK saat ini, maka pelaku lowongan kerja palsu yang sarat dengan pungutan meraih kesempatan menjerat pencari kerja.
“(Pencari kerja) dibuat janji dan akhirnya ditipu, tapi tidak pernah mendapat pekerjaan yang dijanjikan. Karena mereka butuh, sekarang sulit sekali mendapat pekerjaan, sehingga mereka mengambil cara-cara seperti ini,” tutur Mirah.
Mirah menerangkan, agak sulit berharap dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk menindak pelaku penipuan lowongan kerja. Perkaranya, banyak korban tidak bersedia melapor penipuan yang telah terjadi.
“Kemenaker juga mau bertindak karena tidak berbasis bukti. Tapi kalau menurut saya, walaupun cukup kurang bukti, kan ada pengawas yang dimiliki oleh Kemenaker dair kabupaten dan kota setempat,” ujar dia.
“Itu bisa dimanfaatkan untuk monitoring kepada perusahaan yang memungut biaya atau melakukan penipuan. Karena mereka punya fungsi monitoring.”
Untuk menangani penipuan lowongan kerja, menurut Mirah, Polri dan Kemenaker harus turun tangan menindak pelaku. Selain itu, perlu ada edukasi dan informasi ke yayasan atau penyalur kerja yang melakukan penipuan ketenagakerjaan.
“Harus ada tindakan yang real. Kalau tidak, banyak pengangguran yang bisa menjadi korban,” ucap Mirah.
Senada, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mencermati, pelaku penipuan lowongan kerja terkadang berasal dari lingkungan sekitar perusahaan atau karyawan yang bekerja di dalam pabrik. Oknum ini sering memberi informasi lowongan kerja atau membuka jasa memabntu memasukkan kerja seseorang, dengan biaya tertentu.
Elly mengaku, selama ini sering mendengar kabar tentang korban penipuan lowongan kerja. Namun, korbannya tidak berani melapor karena ogah berurusan dengan hukum.
“Di samping itu, kan tidak ada pengaduan yang kolektif dan transparan, sehingga pemerintah mengabaikannya,” ujar Elly, Jumat (18/10).
“Padahal, seharusnya pemerintah sensitif dan melakukan pengawasan, diminta atau tidak.”