close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi jendela sebuah kantor./Foto wal_172619/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi jendela sebuah kantor./Foto wal_172619/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 09 Desember 2024 06:24

Supaya rekan di tempat kerja tak menjadi maut

Apa penyebab seorang pekerja membunuh rekan kerjanya?
swipe

Nasib tragis menimpa seorang perempuan berinisial IK, 22 tahun. Jasadnya ditemukan setengah telanjang di semak-semak pinggir kali di Desa Gaga, Kabupaten Tangerang, Banten pada Rabu (4/12) siang.

Tak lama, polisi berhasil menangkap INI, 27 tahun, sebagai pelaku pembunuhan IK. Diketahui, IK meupakan rekan kerja INI di sebuah perusahaan di Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten. Berdasarkan pengakuan tersangka, korban dibunuh pada Senin (2/12).

Motif pembunuhan itu karena pelaku sakit hati dengan perkataan korban yang menyebut tidak pernah merapikan rambutnya, berkulit hitam, dan tak akan punya pacar kalau tidak dijodohkan. Pembunuhan dilakukan sepulang kerja. Mereka berjalan-jalan menggunakan sepeda motor milik korban. Lantas, korban dihabisi di pinggir Kali Cisadane, dengan cara dipukul kepalanya dari belakang.

Kasus pembunuhan oleh rekan kerja juga terjadi di gudang sebuah minimarket di daerah Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (9/9) dini hari. Pelakunya berinisial SZ, 25 tahun, seorang karyawan minimarket. Dia menusuk rekan kerjanya sendiri berinisial SY, 21 tahun. Polisi menyebut, motifnya karena sakit hati dengan ucapan bercanda korban terkait alat kelamin.

Di Situbondo, Jawa Timur pun terjadi hal serupa. Korban bernama Deni Wahyudi, 33 tahun, ditemukan tewas mengapung di kolam tambak milik CV. Prima Jaya pada Rabu (4/9). Pelaku pembunuhnya adalah Zainul, 21 tahun, yang merupakan rekan kerjanya di perusahaan tambak itu. Sebelumnya, terjadi perkelahian antara pelaku dan korban.

Sebelum ditemukan meninggal, korban dan pelaku sempat berkelahi. Pelaku lalu pulang ke mes atau tempat istirahat untuk mengambil pisau. Korban lari ketika mengetahui pelaku membawa pisau. Apesnya, dia terjatuh ke kolam, dan pelaku membiarkan hingga korban tewas tenggelam. Menurut polisi, motifnya sepele, yakni perkara menurunkan pakan udang.

Berbagai faktor

Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga Novita Tandry, konflik berujung maut yang terjadi pada sesama rekan kerja disebabkan banyak faktor. Salah satunya karena ketidakpiawaian mengatur emosi dalam menyikapi konflik.

“Sisi lain adalah tekanan psikologis dan tekanan kerja yang mungkin tinggi. Lalu, atasan mungkin datang dari generasi X kritik yang berlebihan. Mungkin bagi generasi milenial dan Z akan ditanggapi berbeda,” kata Novita kepada Alinea.id, Sabtu (7/12).

Relasi kuasa yang buruk di tempat kerja antara atasan dan sesama pekerja juga sering kali memunculkan perlakuan tidak adil dan diskriminasi. Akhirnya memunculkan potensi konflik fisik.

Sayangnya, kata dia, hal ini lazim dibiarkan oleh manajemen perusahaan. Imbasnya, masalah tidak selesai di perusahaan, lalu malah pindah ke rumah. Dia mengatakan, pekerja yang mengalami tekanan di tempatnya bekerja, bisa menjadikan keluarga sebagai pelampiasan.

“Kalau atasan abai juga akan jadi konflik berkepanjangan. Sebenarnya, kalau ada intervensi itu kan semestinya tidak terjadi,” ujar Novita.

“Jadi, dia (atasan) tidak sensitif atas komplain bawahannya. Semestinya sudah terlihat dan sudah ada tanda-tanda gejala (konflik). Tapi biasanya atasan lalai melakukan manajemen konflik.”

Seturut itu, Novita mengatakan, manajemen konflik sesungguhnya perlu diajarkan sejak kecil, sehingga ketika dewasa, seseorang tidak menonjolkan ego serta dapat mengelola emosi. Terutama saat berhadapan dengan persoalan ketidakadilan atau perkataan yang menyinggung perasaan.

“Atasan juga harus bisa melihat tanda-tanda yang ditunjukkan. Ketika sudah ada komplain karyawan, tidak menunjukan prestasi. Biasanya, awal menggebu-gebu, tapi akhirnya jadi menurun. Ini berarti ada sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan dia (karyawan). Ini pentingnya human capital di dalam perusahaan yang besar. Dia bisa intervensi bila ada potensi konflik,” kata Novita.

Di sisi lain, tren perusahaan yang belakangan melakukan praktik dehumanisasi, misalnya memperlakukan pekerja lebih rendah dari kemampuan kecerdasan buatan, juga memengaruhi cara berpikir perusahaan dalam melihat potensi konflik di lingkungan kerja. Sebab, perusahaan memandang karyawan yang berkonflik sebaiknya dipecat.

“Padahal, harusnya perusahaan menyadari, manusia yang punya akal budi tidak tergantikan oleh teknologi. Manusia menciptakan creative thinking, mengkreasi hal baru, ide-ide itu datang dari manusia,” tutur Novita.

Di samping itu, Novita memandang, yang paling penting lagi, pekerja laki-laki harus sudah mulai mengikis patriarki. Perkaranya, budaya patriarki yang kental membuat laki-laki dipaksa harus kuat, tidak boleh cengeng. Akibatnya, memendam emosi, yang sewaktu-waktu bisa meledak melakukan penyerangan fisik atau bunuh diri.

“Karena laki-laki tidak diajarkan untuk melampiaskan emosinya,” ujar Novita.

Senada, psikolog klinis forensik A. Kasandra Putranto mengatakan, perusahaan sering kali bersikap acuh tak acuh serta mengabaikan tanda-tanda konflik. Akibatnya, konflik kecil yang dibiarkan, berkembang menjadi besar.

“Faktor lain, tekanan ekonomi dan sosial, baik di tempat kerja maupun di luar. (Hal ini) dapat memperburuk kemampuan seseorang dalam menghadapi konflik,” ucap Kasandra, Sabtu (7/12).

“Kemudian norma kekerasan di masyarakat. Dalam beberapa kasus, norma sosial yang cenderung permisif terhadap kekerasan juga dapat menjadi pemicu.”

Solusi

Novita menambahkan, penting bagi perusahaan menyediakan psikolog untuk mencegah konflik. Namun, praktik yang terjadi, psikolog malah direkrut untuk kepentingan perusahaan, bukan berpihak pada masalah pekerja.

“Jadi, dia tidak objektif dalam melihat masalah. Keberpihakan sudah bias,” kata dia.

Sementara itu, Kasandra menilai, ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik fisik berujung maut di lingkungan kerja. Misalnya dengan membangun budaya kerja yang positif, seperti mendorong keterbukaan, saling menghormati, dan kerja sama.

Perusahaan pun harus sensitif dalam mengidentifikasi dan menangani konflik sejak dini. Soalnya, konflik yang dibiarkan tanpa penyelesaian sering kali memburuk. Sistem pelaporan internal yang aman dan bersifat rahasia, kata dia, harus tersedia agar karyawan dapat melaporkan adanya konflik tanpa rasa takut.

Selain itu, perusahaan sering kali tidak memberikan pelatihan kepada karyawan atau manajer tentang bagaimana menangani konflik secara efektif.

“Implementasikan dengan latihan manajer dan pemimpin tim untuk mendeteksi tanda-tanda konflik, seperti perilaku pasif-agresif, penurunan produktivitas, atau interaksi yang tidak harmonis,” kata Kasandra.

Solusi lainnya, perusahaan perlu memiliki sistem penanggung jawab penyelesaian konflik, pelatihan tentang pengelolaan konflik, serta komunikasi asertif dan pengendalian emosi.

“Menyediakan mekanisme mediasi yang bisa digunakan oleh karyawan untuk menyelesaikan konflik tanpa eskalasi,” ujar dia.

Manajemen pun mesti aktif mengamati dinamika tim untuk mendeteksi potensi konflik sejak dini. Lalu, membuka layanan konseling atau psikolog bagi karyawan yang mengalami tekanan emosional atau konflik di tempat kerja.

“Perlu pendekatan yang lebih manusiawi dan proaktif dari perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman, dan suportif,” kata Kasandra.

Kemudian, menciptakan kebijakan dan prosedur resolusi konflik. Kebijakan resolusi konflik, ujarnya, harus mencakup langkah-langkah yang jelas untuk mediasi arbitrasi atau tindakan disipliner jika diperlukan. Strategi mengurangi tekanan kompetisi yang tidak sehat juga penting dilakukan.

“Lingkungan kerja yang terlau kompetitif dapat memicu rasa iri atau permusuhan. Perusahaan perlu menyeimbangkan tekanan kerja dengan penghargaan berbasis kolaborasi,” tutur Kasandra.

Selain itu, dia menegaskan, peran human resource development (HRD) mutlak harus aktif dalam menyusun protokol resolusi konflik. Bersama manajemen, HRD harus membuat kebijakan yang jelas mengenai penanganan konflik. Termasuk langkah-langkah yang harus diambil karyawan atau manajer, jika terjadi perselisihan. Contohnya membuat sistem pelaporan rahasia.

“HRD dan manajemen perlu memantau dinamika hubungan antarkaryawan, terutama dalam situasi yang berpotensi memicu konflik, seperti tekanan kerja tinggi atau persaingan promosi,” ujar Kasandra.

“Identifikasi tanda bahaya, seperti perubahan sikap drastis karyawan, perilaku pasif-agresif atau terang-terangan bermusuhan, serta gosip atau keluhan antarrekan kerja.”

Kebijakan nol toleransi terhadap segala bentuk ancaman atau kekerasan di tempat kerja perlu pula dilakukan. Terakhir, jika konflik meningkat, segera lakukan investigasi yang transparan dan ambil tindakan tegas untuk mencegah eskalasi.

“Penting juga menyediakan program pencegahan stres dan mengurangi tekanan kerja. Pastikan karyawan memiliki beban kerja yang wajar dan mendapatkan waktu istirahat yang cukup,” kata Kasandra.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan