Awal tahun baru merupakan kesempatan bagi banyak orang untuk menetapkan tujuan hidup yang baru dan berkomitmen pada kebiasaan yang lebih baik. Dikutip dari Forbes, survei terbaru dari Forbes Health dan One Poll terhadap 1.000 orang dewasa di Amerika Serikat—dilakukan pada 23 Oktober 2023—menemukan, resolusi tahun baru 2024 yang paling sering disebut responden adalah kebugaran (48%).
Temuan ini berbeda dengan temuan tahun sebelumnya. Suvei Forbes Health dan OnePoll untuk tahun baru 2023 menemukan, banyak orang yang memprioritaskan kesehatan mental, dibandingkan kesehatan fisik.
Sedangkan 38% responden menyatakan peningkatan keuangan sebagai resolusi utama tahun 2024, lalu 36% responden peningkatan kesehatan mental, 34% penurunan berat badan, dan 32% perbaikan pola makan.
“Secara keseluruhan, 80% responden merasa yakin dengan kemampuan mereka untuk mencapai resolusi, dan hanya 6% yang kurang percaya diri,” tulis Forbes.
Lantas, mengapa orang merasa perlu membuat resolusi untuk tahun baru? Menurut fasilitator di Thomas F. Chapman Family Cancer Wellness, Dennis Buttimer dalam Piedmont, resolusi dibuat karena kebanyakan orang menginginkan kesempatan kedua untuk meningkatkan kualitas hidup.
“Tahun baru menawarkan sebuah kesempatan untuk memperbaiki keadaan,” ujar Buttimer.
Buttimer mengatakan, saat kita menetapkan resolusi dan mulai menjalankannya, kita memicu neurohormon yang sangat kuat di otak yang disebut dopamin. Dopamin membantu mengontrol pusat kesenangan di otak serta mengatur respons emosional. Meski kadar dopamin tinggi saat kita mulai mencapai resolusi, tetapi pada akhirnya kadar dopamin akan turun.
“Jika Anda tidak memiliki struktur untuk membuat Anda tetap termotivasi, perilaku yang Anda lakukan akan cenderung hilang,” katanya.
Melanggar resolusi dapat menyebabkan beberapa orang meragukan diri sendiri. Akhirnya berhenti berupaya mencapai tujuan mereka. Dilansir dari Business Insider, 80% dari kita akan gagal menjalankan resolusi pada minggu kedua bulan Februari.
“Alasan psikologis kita tidak berhasil karena terlalu memikirkan betapa sulitnya resolusi kita,” tulis Business Insider.
Dalam Psychology Today, ahli matematika dan pemimpin redaksi Journal of Economic Psychology Carlos Alós-Ferrer menulis, tujuan datang dari bagian otak yang lebih rasional dan berorientasi jangka panjang. Kita tak kesulitan memahami mengapa kita ingin berubah. Namun, masalahnya, bagian otak kita yang lebih impulsif dan berorientasi jangka pendek, yang menopang kebiasaan kita dan mengambil alih sebagian besar tindakan sehari-hari.
“Otak kita sangat pandai mengotomatiskan perilaku, membebaskan sumber daya untuk hal lain. Namun, ketika perilaku otomatis tersebut bertentangan dengan tujuan jangka panjang, maka kita akan kesulitan,” tulis Alós-Ferrer.
Ia melanjutkan, saat kita menyatakan resolusi tahun baru atau tujuan jangka panjang apa pun, kita—secara metaforis—berbicara pada bagian otak kita yang salah. “Dan menggunakan bahasa yang salah,” katanya.
Alós-Ferrer menyebut, agar kita bisa mencapai resolusi tahun baru, maka tujuan itu harus spesifik, terukur, bisa dicapai, relevan, dan terkait waktu. Dikutip dari BBC ada beberapa taktik psikologis yang bisa digunakan untuk meningkatkan keberhasilan mencapai resolusi. Pertama, ketekunan.
Dalam sebuah penelitian terhadap 5.000 orang yang membuat resolusi—yang dilakukan psikolog dari University of Hertfordshire, Richard Wiseman—mereka yang memiliki sifat fatalistik—pengakuan atas nasib—adalah yang cenderung tak berhasil. Ia mengingatkan, kemungkinan besar kebiasaan lama akan muncul kembali suatu saat.
“Jadi lihatlah kejadian tersebut sebagai kemunduran sementara, bukan alasan untuk menyerah sama sekali,” ujar Wiseman.
Kedua, sebarkan soal resolusi tahun baru kita ke teman atau keluarga. Sebab, dukungan dari teman dan keluarga dapat membantu orang tetap berpegang pada tujuan mereka. Keempat, merencanakan kemajuan.
Wiseman mengatakan, hal ini bisa berupa mencatat di blog atau jurnal. “Mungkin ada gunanya mencatat setiap kunjungan ke gym atau keputusan untuk tidak makan kue,” kata Wiseman.
Wiseman juga menyarankan untuk punya catatan untuk menunjukkan bagaimana hidup kita akan menjadi lebih baik setelah tujuan tercapai, serta memberikan imbalan kecil selama proses berlangsung untuk menjaga tingkat motivasi.
Kelima, punya tujuan yang dapat dicapai. Hal ini harus menjadi sesuatu yang spesifik dan dapat dicapai dengan realistis. Wiseman mengatakan, yang terbaik adalah memilih satu hal untuk menjadi fokus daripada memiliki serangkaian tujuan untuk meningkatkan peluang keberhasilan.
Keenam, memahami pemicu kegagalan. Mengetahui pemicu perilaku yang ingin kita hindari menjadi penting untuk mendorong kebiasaan yang lebih baik. “Bisa saja hal sederhana, seperti tidak punya biskuit di rumah agar kita tak tergoda atau memahami pemicu stres yang membuat kita merokok,” ujar Wiseman.