Delapan sekolah swasta di Serang, Banten, antara lain SMPIT Sidratul Muntaha, SMP PGRI 2, SMP Rahmateollah, SMP Plus Nurul Ma’arif, SMP Curug, SMP YP 17 1, SMP YP 17 2, dan SMP Yasmu terpaksa tutup akibat tidak mendapatkan siswa. Catatan itu berdasar temuan Forum Komunikasi Kepala Sekolah Swasta (FoKKS) Kota Serang.
Dikutip dari Antara, sekolah-sekolah tadi tidak mendapatkan siswa karena penerapan sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, salah satu faktor yang menyebabkan sekolah-sekolah tersebut tutup adalah keinginan yang besar dari orang tua untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan terbaik. Faktor lainnya adalah kegagalan pemerintah untuk mewujudkan pemerataan pendidikan terbaik di seluruh sekolah.
Kesenjangan mutu sekolah hidup di benak orang tua, sehingga membuat beberapa sekolah dipandang sebelah mata. Meskipun sekolah dekat jaraknya dengan rumah, kata Ubaid, kalau sumber daya manusia atau sarana-prasarananya tidak mumpuni, maka tak akan dipilih oleh orang tua.
Sayangnya, ujar Ubaid, pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat merasa tidak bisa masuk ke lingkup daerah karena sudah ada otonomi di setiap wilayah, sedangkan pemerintah daerah merasa tidak mendapat dukungan dari pusat.
“Harusnya tanggung jawab bersama. Tidak bisa pemerintah daerah merasa dukungan pemerintah pusat kurang atau pemerintah pusat melempar bola tidak merasa punya wewenang,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Kamis (18/7).
“Kita tidak bisa argumentasi pingpong itu lagi, kalau urusan pendidikan itu urusan pemerintah dan stakeholder lain.”
Ubaid sendiri mengakui, tidak pernah mengetahui kondisi sekolah di beberapa daerah, yang seharusnya bisa diakses publik lewat data asesmen nasional. “Data asesmen nasional itu ditutup, kayak aib,” ucap Ubaid.
Terpisah, pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah melihat, kondisi tutupnya sekolah swasta di Serang menjadi pelajaran bagi pemerintah. Terutama dalam membangun sekolah madrasah yang berjarak di setiap daerah, sehingga tidak menumpuk.
Menurut Jejen, hal itu ada dalam aturan, tetapi diduga telah “ditabrak”. Imbasnya, sekolah-sekolah tadi tutup. Penyebab lainnya, sekolah swasta banyak didirikan ala kadar, tidak punya konsep maupun visi yang jelas.
Situasi sekolah-sekolah swasta yang tutup ini, menurut dia, harus diselesaikan pemerintah dengan memindahkan para guru dan murid yang masih menjalankan kegiatan belajar-mengajar.
Konsep “merger” di sekolah bisa dilakukan. Kata Jejen, konsep itu dikenal dengan “dinegerikan” atau menjadikan sekolah swasta seolah-olah diambil alih pemerintah. Ia mencontohkan MAN Insan Cendekia di Serpong, Tangerang Selatan Banten. Sekolah itu, ujar Jejen, dahulu berstatus swasta, kini menjadi negeri setelah “diminta” Kementerian Agama (Kemenag).
“Konsep ini sudah lama. Biasanya di desa, dengan dua atau tiga sekolah, kemudian (digabungkan) menjadi satu,” ujar Jejen, Kamis (18/7).
Sementara itu, dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Sematan (UNNES) Edi Subkhan menilai, perlu ada pemetaan potensi calon siswa. Bukan cuma berdasarkan jarak seperti sistem zonasi, tetapi juga memperhatikan kepadatan penduduk dan potensi siswa baru di daerah.
“Bagi sekolah swasta tentu agak sulit karena saingannya bukan cuma sekolah negeri, tapi juga sekolah swasta lainnya,” kata Edi, Kamis (18/7).
Agar tidak tutup, ia mengatakan, sekolah swasta memang mau tidak mau harus memiliki nilai keunggulan, seperti dalam hal kurikulum atau fasilitas. Pemerintah pun perlu mengatur proses PPDB bersama antara sekolah negeri dan swasta, sehingga calon siswa dan orang tuanya punya wawasan dan informasi terkait sekolah-sekolah. Termasuk keunggulan dan kekhasan dari sekolah swasta.
“Ini penting, mengingat banyak juga orang tua yang lebih milih sekolah swasta dibanding sekolah negeri yang dilabeli favorit atau unggulan. Karena sekolah swasta menawarkan keunggulan lain yang dicari orang tua,” ucap Edi.
Menurutnya, Indonesia harus belajar sistem zonasi dari negara lain, seperti Finlandia dan Australia. Di kedua negara itu, kata dia, kualitas sekolah negeri dan swasta sama baiknya. Kalau orang tua mau memasukkan anaknya di sekolah negeri, ujar Edi, mendaftarnya ke dinas pendidikan setempat. Lalu, dinas pendidikan yang menyalurkan calon siswa ke sekolah yang terdekat dengan rumah orang tuanya.
“Jadi, bukan orang tua yang daftar ke sekolah seperti di Indonesia. PPDB di negara-negara tersebut berhasil memberikan layanan pendidikan yang bagus secara rata-rata,” tutur Edi.