Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyoroti banyaknya warga Indonesia yang pindah dan menetap di luar negeri.
Dalam siaran resminya, Wakil Menteri Dukbangga Ratu Isyana Bagoes Oka menyitir data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), menyebut selama 2019 hingga 2022 ada 3.912 warga negara Indonesia (WNI) beralih menjadi warga negara Singapura. Menurut Isyana, sebagian besar WNI itu berusia 25 hingga 35 tahun.
Terkait persoalan itu, Isyana menuturkan, pihaknya berkoordinasi dengan sejumlah lembaga, salah satunya dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk memetakan potensi atau lapangan pekerjaan yang tersedia atau yang perlu disediakan.
Di antara mereka banyak yang merupakan talenta unggul Indonesia, seperti jebolan olimpiade internasional. Misalnya tiga peneliti keamanan siber asal Indonesia yang bekerja di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, yakni Frederic Ezeman, Prastudy Fauzi, dan Adamas Aqsa Fahreza.
Fenomena perpindahan ke negara lain itu lazim disebut brain drain. Investopedia menjelaskan brain drain sebagai istilah slang yang merujuk pada emigrasi atau migrasi besar-besaran individu keluar dari suatu negara akibat kekacauan, adanya peluang profesional yang menguntungkan, atau keinginan mencari standar hidup yang lebih tinggi.
Sedangkan kamus Cambridge menjelaskan, brain drain adalah situasi di mana sejumlah besar orang yang berpendidikan dan sangat terampil meninggalkan negara mereka untuk tinggal dan bekerja di negara lain di mana gaji dan situasinya lebih baik.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi Sugandi, talenta unggul pindah kewarganegaraan karena masalah ekosistem karier penunjang di Indonesia tidak memadai.
“Kenapa tidak memadai? Ya mungkin dari fasilitas tidak siap dan gaji tidak kompetitif,” kata Yogi kepada Alinea.id, Rabu (22/1).
Oleh karena itu, agar talenta unggul tidak mudah pergi, Yogi menyarankan pemerintah untuk membuat rencana induk tentang pekerjaan-pekerjaan masa depan. Sebagaimana yang dilakukan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)—organisasi internasional yang berfokus pada kerja sama dan pembangunan ekonomi.
“Kita harus mengikuti pola tersebut. Pemerintah harus bekerja sama dengan pihak swasta, semisal dengan Kamar Dagang Indonesia. Jadi, memetakan ke depan kebutuhan apa saja, dalam lima atau 10 tahun itu akan seperti apa,” ucap Yogi.
Rencana induk atau peta jalan, kata Yogi, harus dibuat bukan hanya soal tenaga kerja, tetapi juga mengenai gaji tenaga kerja terampil agar kompetitif. Tujuannya, meningkatkan daya saing.
Untuk membuat iklim dalam negeri lebih ramah terhadap talenta unggul, menurut Yogi, Indonesia bisa mencontoh China yang meningkatkan industri manufaktur pada masa Deng Xiaoping—pemimpin revolusi Partai Komunis China yang menjadi pemimpin tertinggi di China sejak dasawarsa 1970-an hingga awal 1990-an—yang membuka sistem pasar tahun 1980-an.
“Tiongkok itu banyak diaspora yang pintar-pintar di Amerika dan Eropa. Ketika suatu saat China maju, mereka kembali lagi,” ucap Yogi.
“Nah, bagaimana caranya? Ya tadi, sisi-sisi dari gaji dan daya beli ditingkatkan.”
Yogi mengatakan, Indonesia memang harus memperbaiki daya saing, semisal produk barang. Masalah ini, kata dia, tak bisa selesai hanya dari kementerian.
“Tapi industri juga harus punya perkiraan daya saing juga,” tutur Yogi.
Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma menilai, talenta unggul yang pergi ke luar negeri tidak bisa disalahkan. Sebab, iklim riset dan industri dalam negeri memang belum mampu menciptakan peluang kerja yang dibutuhkan oleh para pekerja ber-skill tinggi.
“Daripada mereka menganggur di negara sendiri dan mendatangkan mudarat, baik bagi dirinya dan keluarganya, maka lebih baik bekerja di luar negeri dan memperoleh penghasilan besar,” kata Satria, Rabu (22/1).
Para talenta unggul yang bekerja di luar negeri, disebut Satria, akhirnya juga akan kembali ke Indonesia karena berbagai faktor. Misalnya, keinginan untuk berkontribusi kepada negara, menghabiskan masa pensiun, mengurus orang tua, atau ada hubungan emosional yang mendalam.
“Jika pertumbuhan dan stabilitas ekonomi terus meningkat, maka mereka tentu akan lebih suka bekerja di Indonesia ketimbang di luar negeri,” ujar Satria.
“Sementara ini, biar saja mereka mencari nafkah dan pengalaman dengan bekerja di luar negeri.”