Supaya terhindar dari petaka di gunung berapi
Gunung Marapi yang terletak di Kabupaten Agam dan Tanah Datar, Sumatera Barat meletus pada Minggu (3/12) sore. Saat kejadian, diketahui ada 75 pendaki di kawasan itu. Hingga Selasa (5/12), tim Badan SAR Nasional (Basarnas) sudah mengevakuasi lima jenazah pendaki.
Total ada 11 pendaki yang dinyatakan meninggal karena peristiwa itu. Sebanyak 52 pendaki lainnya selamat dan sudah berhasil dievakuasi. Sedangkan ada 12 pendaki lainnya yang masih hilang.
Dalam konferensi pers virtual, Senin (4/12), Plt. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid mengatakan, sebenarnya saat ini Gunung Marapi berada pada status level II atau waspada.
“Sudah direkomendasikan, masyarakat di sekitar Gunung Marapi atau wisatawan tidak diperbolehkan mendaki pada radius tiga kilometer (dekat) kawah atau puncak,” ujar Wafid.
Sementara itu, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM Hendra Gunawan, sejak 2011 ada beberapa kali erupsi di Gunung Marapi dan status level II sudah diberlakukan.
“Perlu diketahui, pos Gunung Marapi itu ada di tahun 1985,” kata Hendra dalam konferensi pers virtual, Senin (4/12).
“Jadi, kita baru merekam dan mempelajari gunung monitoring dengan peralatan yang belum terlalu lengkap.”
Hendra mengakui, erupsi gunung sulit dideteksi. Terlebih, sistem peralatan monitoring di Stasiun GGSL pada 2020 dan 2023 pun dicuri. Hendra bilang, pihaknya menduga faktor erupsi Gunung Marapi karena akumulasi gas secara perlahan. Sulit terdeteksi lantaran sifatnya kecil.
“Makanya butuh waktu dua atau empat tahun, semakin lama tidak erupsi, potensi erupsinya ya semakin kuat karena ada akumulasi dari gas,” tutur Hendra.
Menurut Hendra, di Indonesia banyak tipe gunung seperti Marapi, yang tak bisa diprediksi kapan terjadi erupsi. Celakanya, banyak yang menjadi destinasi turis.
“Nah, bagaimana kita bisa menangani masalah seperti ini? (Erupsi) gunungnya sulit diprediksi, animo masyarakat (untuk) berkunjung sangat besar,” katanya. “Jarang-jarang meletusnya.Tapi dampaknya hanya di dekat puncak.”
Terpisah, Ketua Astadeca—korps pecinta alam (KPA)—Politeknik Negeri Jakarta, Ihdi Subhan Fathurrahman, 21 tahun, mengingatkan, jika melakukan pendakian gunung api tiba-tiba terjadi erupsi, tak boleh panik. Lalu, menjauh dari titik erupsi dan mencari arah jalur turun.
“Dan menghindari juga lahan-lahan terbuka karena bisa menyebabkan terkena benturan letusan dari bebatuan,” ujar Ihdi kepada Alinea.id, Senin (4/12).
“Selanjutnya, usahakan hidung dan mulut kita selalu tertutup agar mengurangi (paparan) abu vulkanik.”
Terakhir, ia menyarankan, pendaki harus memberikan penanda berupa string line atau tali yang diikat di pohon. Tujuannya, agar memudahkan tim evakuasi mencari korban.
Ihdi, yang bersama perkumpulannya sudah mendaki gunung api, seperti Gunung Gede, Merbabu, dan Ceremai, bersyukur tak pernah menghadapi bahaya erupsi. “Sejauh ini, kita hanya mengalami cuaca ekstrem, contohnya badai di jalur pendakian atau titik camp,” ucap Ihdi.
“Alhamdulillah bisa menghindari bahaya-bahaya tersebut dengan menyiapkan peralatan sebelumnya.”
Rio Agustian, 25 tahun, juga berpengalaman mendaki gunung api, seperti Gunung Ceremai, Lawu, Gede, dan Merbabu. Ia juga pernah mendaki Gunung Prau, Cikuray, Sumbing, Burangrang, dan Patuha.
“Alhamdulillah belum pernah kejadian yang membahayakan, paling bau belerang aja sih,” kata Rio, Senin (4/12). “Itu pun sudah ada larangan, seperti di (Gunung) Ceremai.”
Sama seperti Ihdi, Rio pun pernah mengalami cuaca ekstrem kala mendaki gunung. Menurut Rio, gunung api tak tiba-tiba langsung meletus. Ada proses getaran. Ia mengatakan, saat sedang mendaki dan merasa ada tanda mau erupsi, pendaki wajib turun secepatnya.
“Bahkan, jika barang bawaan kita menghambat, alangkah baiknya langsung turun secepatnya (dan meninggalkan barang-barang itu). Karena barang bisa dibeli, tapi nyawa tidak,” tutur dia.
Di sisi lain, Ihdi mengatakan, alam memang berbahaya dan tak bisa diprediksi. Misalnya, erupsi gunung api. Namun, saat ada teknologi, kemungkinan bisa dipantau bahaya itu.
“Dan paling penting, ketika kita melakukan pendakian, tim dari basecamp bisa memberikan komunikasi cepat gitu, seperti shelter-shelter di setiap posnya melakukan komunikasi,” ucap Ihdi.
Bagi Rio, pengelola wisata di gunung api seharusnya tahu standar keselamatan yang harus mereka lakukan. Ketika mereka sudah tahu aktivitas erupsi di gunung tersebut, pasti akan ada larangan untuk melakukan pendakian.
“Langsung statusnya (pendakian) ditutup. Karena kan pasti ada levelnya. Bahkan, level terendah saja sudah ditutup,” ujar Rio.
Ihdi mengingatkan, sebelum mendaki gunung, sebaiknya menjaga kesehatan fisik. Kemudian, mempersiapkan segala peralatan, seperti tenda, ransel, alat masak, dan konsumsi.
“Itu semua tersusun dalam sebuah manajemen pendakian pasti, dan untuk daruratnya, sebaiknya menambahkan satu hari spare ketika terjadi suatu trouble atau masalah,” kata Ihdi.
“Untuk melakukan pendakian, kita selalu membawa handy talky, (agar bisa) melakukan komunikasi lapangan, sehingga kalau ada bencana darurat kita langsung bisa menyampaikan ke basecamp.”