close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seorang perempuan melinting rokok di pabrik rokok keretek pada 1951./Foto buku Know Indonesia... Know Your Friend (1951)/commons.wikimedia.org
icon caption
Seorang perempuan melinting rokok di pabrik rokok keretek pada 1951./Foto buku Know Indonesia... Know Your Friend (1951)/commons.wikimedia.org
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 17 November 2023 09:27

Suram masa depan keretek di balik suksesnya Gadis Kretek

Industri rokok keretek pernah sangat semarak sejak masa kolonial. Kini, pelan-pelan tergerus kebijakan pemerintah.
swipe

Serial Gadis Kretek, berhasil masuk daftar global Netflix top 10. Dalam periode 6-12 November 2023, serial yang terdiri dari lima episode ini duduk di peringkat 10 di daftar TV non-Inggris dan telah ditonton lebih dari 1,6 juta jam dalam sepekan. Di Indonesia, serial yang diangkat dari novel Ratih Kumala berjudul sama itu bertengger di peringkat satu.

Di luar Indonesia, serial yang dibintangi Dian Sastrowardoyo, Ario Bayu, Sha Inde Febriyanti, Arya Saloka, Putri Marino, dan pemain-pemain terkenal lainnya itu juga sukses. Di Malaysia, Gadis Kretek menempati peringkat ke-5.

Bahkan, serial yang disutradarai Kamila Andini dan Ifa Isfansyah tersebut muncul dalam daftar negara-negara baru di Amerika Selatan dan Eropa, seperti di Chili peringkat ke-7, Romania peringkat ke-8, Meksiko peringkat ke-9, dan Venezuela peringkat ke-9.

Gadis Kretek berkisah tentang kisah cinta antara buruh dan majikan pabrik keretek di Kota M yang mengundang konflik dan misteri. Berlatar maju-mundur, tahun 1960-an dan 1990-an. Pemeran utamanya, Dasiyah atau Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) adalah putri seorang pemilik pabrik keretek Merdeka, Idroes Moeria (Rukman Rosadi) yang punya saingan dengan pemlik pabrik keretek Proklamasi, Soedjagad (Verdi Solaiman).

Dasiyah digambarkan sebagai perempuan berdaya, yang punya bakat meracik saus keretek paling nikmat. Gadis Kretek mengangkat pula kerasnya persaingan industri rokok kretek pada 1960-an. Ironis, di balik kesuksesannya, industri keretek saat ini bisa dikatakan tengah sekarat.

Menurut peneliti dari Komite Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan, dari 600 perusahaan keretek yang ada di seluruh Indonesia, kini hanya 100 perusahaan saja yang menjadi penyumbang cukai hasil tembakau (CHT) kepada pemerintah.

“Ini terakhir (data tahun) 2021 dan 2022,” katanya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (16/11).

Kejatuhan industri keretek, lanjutnya, bermula sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Kinerja industri keretek makin tiarap dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

“Nah, (peraturan itu) memangkas banyak sekali pabrik rokok,” ujar Zulvan.

“Karena di situ disebutkan luas lahan pabrik rokok ditentukan harus 200-300 meter per segi. Lanjut itu, yang dari 12.000-an pabrik, tinggal 7000-an. Setelah itu, semakin turun seiring dengan meningkatnya tarif cukai. Itu di sektor hilir.”

Dibunuh regulasi

Padahal, dahulu industri rokok keretek sangat semarak, usai dirintis Nitisemito di Kudus, Jawa Tengah pada awal abad ke-20, dengan keretek merek Tjap Bal Tiga. Bal Tiga berdiri pada 1914. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar di atas lahan enam hektare di Desa Jati, Kudus.

Menurut catatan sejarah, saat itu di Kudus berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil. Selain Tjap Bal Tiga, pabrik besar lainnya, antara lain milik M. Atmowidjojo merek Goenoeng Kedoe, H.H. Ashaie merek Delima, H.M. Muslich merek Djagoeng, H. Ali Asikin merek Djangkar, M. Sirin merek Garbis & Manggis, dan Tjoa Khang Hay merek Trio.

Saat ini, dari segi produksi, pertumbuhan keretek juga cenderung turun. Merujuk data Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, pertumbuhan produksi sigaret keretek tangan (SKT) masih sebesar 3,79% pada 2011. Namun, turun jadi -3,28% pada 2018. Seiring dengan itu, pertumbuhan produksi sigaret keretek mesin (SKM) yang semula 11,94% juga anjlok menjadi 0,48%.

Nasib petani tembakau dan cengkih—yang menjadi bahan baku keretek—pun tak lebih baik. Lahan tembakau yang cenderung stagnan juga membuat produksi tembakau tak kunjung naik. Begitu pula dengan lahan dan produksi cengkih.

“Misal, di Jawa Tengah cuma di kisaran 22.000 ton, Jawa Timur 30.000-an ton. Ini sejak 2012,” ujar Zulvan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perkebunan tembakau di Indonesia tercatat seluas 202.500 hektare pada 2022. Turun sebesar 5,24% dibandingkan luasan di tahun sebelumnya, yakni 213.700 hektare. Tak hanya itu, luas lahan tembakau pun mengalami penurunan sebesar 28,67% sejak 2013. Produksi tembakau juga merosot menjadi 225.700 ton pada 2022, dari sebelumnya 245.400 ton.

Sementara cengkih, jumlah produksi komoditas pertanian ini pada 2022 sebanyak 134.000 ton. Turun 1,25% dari tahun sebelumnya, yang sebesar 135.700 ton. Penurunan produksi ini sejalan dengan menyusutnya luas perkebunan cengkih, dari seluas 578.800 hektare pada 2021, menjadi 577.400 hektare pada 2022.

“Dengan regulasi pengendalian tembakau yang ketat ini, berpengaruh sekali ke industri keretek,” tutur Zulvan.

“Mungkin SKT ada relaksasi dari segi cukai, tapi kan secara pasar enggak besar. Paling gede SKM. Cuma SKM sendiri ditekan dengan tarif cukai yang naiknya cukup signifikan.”

Regulasi yang tak menguntungkan ini juga dikatakan juru bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona. Siti bilang, dalam lima tahun terakhir, regulasi terkait tembakau justru semakin menekan industri. Bahkan, membuatnya di ambang kematian. Dengan kenaikan cukai yang hampir terjadi setiap tahun sejak 2019, kata Siti, membuat pabrik keretek kecil gulung tikar.

“Baru-baru ini muncul pasal tembakau dalam RPP (rancangan peraturan pemerintah turunan UU Kesehatan) Kesehatan. RPP Kesehatan ini menimbulkan sejumlah ancaman dan kerugian bagi seluruh pihak yang berkecimpung di industri ini,” kata Siti, Kamis (16/11).

RPP Kesehatan bakal mengatur pengamanan produk zat adiktif, memuat pengaturan, pengendalian, dan “larangan” terkait peredaran produk tembakau dan rokok elektronik, termasuk sejumlah istilah yang dilarang digunakan. Ada pasal yang menyebut, mewajibkan isi dalam setiap bungkus rokok minimal harus 20 batang.

Cuaca dan kondisi alam menjadi tantangan lainnya. Sebab, hal itu bisa menimbulkan serapan jumlah panen tanaman tembakau berkurang di pabrik.

Selain itu, jumlah produksi yang berkurang akibat permintaan pasar yang berkurang pula, dapat membuat permintaan tembakau oleh pabrik ke petani juga berkurang. Imbasnya, banyak tembakau yang tak terbeli oleh pabrik. Kalau pun terbeli, bakal dihargai murah.

“Keretek bagi Indonesia telah berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, menggerakkan ekonomi nasional, dan menjadi sumber pendapatan negara melalui cukai dan pajak,” ujar Siti.

Menurutnya, industri rokok lewat cukai, berhasil menyumbang sekitar 90% dari pendapatan cukai negara. Di sisi lain, beberapa daerah penghasil keretek mampu menyokong ekonomi setempat dalam jumlah yang besar. Alasannya, industri keretek menyerap banyak tenaga kerja, di tengah ketidakpastian di industri lain.

“Bahkan di tahun 2019, industri keretek mampu menyerap kurang lebih 6 juta pekerja yang tersebar di berbagai sektor industri,” kata Siti.

Siti berharap, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dapat memperhatikan dampak yang akan timbul jika industri keretek terus-menerus ditekan dengan kebijakan terkait tembakau.

“Pemerintah seharusnya melindungi keretek. Sebab keretek adalah warisan bangsa yang ditemukan oleh anak bangsa yang seharusnya dijaga kelestariannya,” tutur Siti.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan