Swing Kids: Usaha mendobrak sekat ideologi
Di dunia ini, berapa banyak manusia yang kehilangan orang tercintanya akibat perbedaan ideologi?
Dalam bukunya What Every Person Should Know About War (2003), Chris Hedges menghimpun lusinan kerugian akibat perang di dunia, dalam kurun 1900 hingga 2000-an.
Perang Dunia I menewaskan 62 juta warga sipil, Perang Dunia II merenggut 34 juta nyawa. Di Korea Utara, 1 juta nyawa melayang, di Korea Selatan ratusan ribu orang meninggal dunia. Hal ini belum termasuk dengan dampak lainnya, seperti pemerkosaan, kelaparan, trauma, dan kebangkrutan negara.
Melihat data itu, rasanya relatif sulit menemukan wajah kemanusiaan apapun dalam perang. Perang sesungguhnya tak perlu terjadi. Apalagi bila dalih utamanya hanya lantaran berbeda ideologi.
Premis inilah yang ditawarkan sutradara asal Korea Selatan Kang Hyeong-Cheol dalam film terbarunya, Swing Kids (2018).
Perang ideologi
Film berdurasi 134 menit ini berlatar sebuah kamp tawanan perang di Pulau Geojo, Korea pada 1951 hingga 1953. Ketika itu, Perang Korea sedang bising-bisingnya, seiring dengan Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
173 ribu militer Korea bagian utara dan China dijebloskan ke kamp itu, dengan pengawasan superketat sekutu Korea Selatan, militer Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, politik intervensi Harry S Truman dengan “kiri” sebagai ancaman, memang sedang gencar dikampanyekan.
Tak heran bila Amerika Serikat berada di garda depan memerangi Korea Utara, yang memegang teguh ideologi komunis.
Sebaliknya, kebencian sudah kadung mendarah daging dalam diri tentara Korea Utara, terhadap negara tetangganya, Korea Selatan. Korea Utara mencurigai Korea Selatan sudah terpapar liberalisme, yang menyesatkan. Gesekan negara bersaudara itupun makin tak terelakan.
Mulanya, kamp tahanan ini sengaja dibuat untuk menertibkan para perusuh komunis yang bisa saja menggoyang liberalisme. Hal ini sekaligus menjadi lokasi repatriasi—pemulangan kembali pemberontak ke negara asal.
Yang menarik, dan tampaknya jadi pesan yang ditandai tebal oleh sutradara, film ini berusaha menampilkan wajah lain dari perang. Komandan kamp Amerika Serikat Brigjen Roberts (Ross Kettle) berusaha membuat kamp yang kerap dicap negatif karena banyak kerusuhan, menjadi lebih humanis.
Caranya, dengan meminta bantuan dari tentara kulit hitam korban perundungan, Sersan M. Jackson (Jared Grimes), yang lihai menari tap. Dia didapuk untuk mengumpulkan para tawanan, agar atraksi tari nan ceria dan membahagiakan, bisa dipertunjukkan di depan jurnalis Amerika Serikat yang datang bertandang.
Di dunia ini, berapa banyak manusia yang kehilangan orang tercintanya akibat perbedaan ideologi?
Dalam bukunya What Every Person Should Know About War (2003), Chris Hedges menghimpun lusinan kerugian akibat perang di dunia, dalam kurun 1900 hingga 2000-an.
Perang Dunia I menewaskan 62 juta warga sipil, Perang Dunia II merenggut 34 juta nyawa. Di Korea Utara, 1 juta nyawa melayang, di Korea Selatan ratusan ribu orang meninggal dunia. Hal ini belum termasuk dengan dampak lainnya, seperti pemerkosaan, kelaparan, trauma, dan kebangkrutan negara.
Melihat data itu, rasanya relatif sulit menemukan wajah kemanusiaan apapun dalam perang. Perang sesungguhnya tak perlu terjadi. Apalagi bila dalih utamanya hanya lantaran berbeda ideologi.
Premis inilah yang ditawarkan sutradara asal Korea Selatan Kang Hyeong-Cheol dalam film terbarunya, Swing Kids (2018).
Perang ideologi
Film berdurasi 134 menit ini berlatar sebuah kamp tawanan perang di Pulau Geojo, Korea pada 1951 hingga 1953. Ketika itu, Perang Korea sedang bising-bisingnya, seiring dengan Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
173 ribu militer Korea bagian utara dan China dijebloskan ke kamp itu, dengan pengawasan superketat sekutu Korea Selatan, militer Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, politik intervensi Harry S Truman dengan “kiri” sebagai ancaman, memang sedang gencar dikampanyekan.
Tak heran bila Amerika Serikat berada di garda depan memerangi Korea Utara, yang memegang teguh ideologi komunis.
Sebaliknya, kebencian sudah kadung mendarah daging dalam diri tentara Korea Utara, terhadap negara tetangganya, Korea Selatan. Korea Utara mencurigai Korea Selatan sudah terpapar liberalisme, yang menyesatkan. Gesekan negara bersaudara itupun makin tak terelakan.
Mulanya, kamp tahanan ini sengaja dibuat untuk menertibkan para perusuh komunis yang bisa saja menggoyang liberalisme. Hal ini sekaligus menjadi lokasi repatriasi—pemulangan kembali pemberontak ke negara asal.
Yang menarik, dan tampaknya jadi pesan yang ditandai tebal oleh sutradara, film ini berusaha menampilkan wajah lain dari perang. Komandan kamp Amerika Serikat Brigjen Roberts (Ross Kettle) berusaha membuat kamp yang kerap dicap negatif karena banyak kerusuhan, menjadi lebih humanis.
Caranya, dengan meminta bantuan dari tentara kulit hitam korban perundungan, Sersan M. Jackson (Jared Grimes), yang lihai menari tap. Dia didapuk untuk mengumpulkan para tawanan, agar atraksi tari nan ceria dan membahagiakan, bisa dipertunjukkan di depan jurnalis Amerika Serikat yang datang bertandang.
Tap dance anti-isme
Dari sinilah adegan demi adegan absurd bergulir. Pasca-audisi yang kacau balau, Jackson berhasil menggaet empat orang penari di kamp tersebut. Mereka berlima berasal dari negara berbeda, bahasa beragam, motivasi berbeda, tapi disatukan lewat tap dance.
Buat Jackson, tap dance adalah pengingat tetap pada rumah dan harapan. Suatu hari dia bisa pulang dan menikahi kekasihnya di Okinawa, Jepang.
Bagi Xiao Fang (Kim Min-Ho), seorang tentara China berbadan tambun, tap dance adalah terapi agar penyakit angina yang mengancam jantungnya bisa sembuh. Lain dengan Kang Byung-sam (Oh Jung-se), yang berharap tap dance bisa membuatnya terkenal, dan bertemu lagi dengan istrinya yang hilang.
Yang Pan-rae (Park Hye-su), perempuan muda dan cerdas yang kehilangan orang tuanya akibat perang, rela melakukan apa saja demi uang dan bertahan hidup. Sementara, Ro Ki-soo (Do Kyung-soo) dari EXO, patriot Korut yang mulanya anti-Amerika, menemukan kebahagiaan lain di tap dance, selain sekadar jadi martir perang ideologi.
Satu jam pertama, film akan mengecoh penonton sebagai sebuah sajian penuh banyolan dengan tarian dan musik acak dari The Beatles, David Bowie, dan Jung Su-ra. Mirip seperti saat kita menyaksikan drama La La Land atau Step Up, dengan gerakan kamera yang sangat lincah, seolah kameramennya turut menari bersama dengan para pemain.
Gambar warna-warni yang disajikan Kang, membuat kita barangkali percaya, ternyata ada sisi humanis dari Perang Korea. Minimal berharap, tarian sebagaimana formula film drama musikal yang sudah-sudah, mampu melunakkan hati para patriot perang yang haus darah.
Sebuah sajian tap dance nyaris sempurna ditampilkan di malam Natal. Lima sahabat ini kompak menari, diiringi musik yang tak kalah ceria.
Fuck Ideology dipilih sebagai tajuk penampilan mereka malam itu. Mestinya manusia tak perlu saling membunuh hanya karena beda ideologi, yang satu kiri sisanya kanan. Kebahagiaan dan harapan jauh lebih penting ketimbang baku tembak dan membuat keluarga jadi koyak akibat perang.
Apakah pesan dari pertunjukan itu tersampaikan dengan baik? Apakah para militer yang bertugas, jadi lembut hatinya karena menyaksikan tap dance?
Sayang sekali, semua harapan itu sepenuhnya meleset. Sebab, Swing Kids sebetulnya hanya berpura-pura menjadi remeh untuk menyampaikan pesan penting. Perang tetaplah menjadi arena berdarah.
Perang tak sesederhana menyusun kebahagiaan baru lewat menggerakkan kaki dengan lincah dengan sepatu khas tap di atas lantai kayu. Ini juga tak memberi ruang untuk bermimpi keliling dunia atau pentas di gelanggang Carniege, New York, yang perlahan menyusup di kepala lima orang ini.
Perang adalah perang, tak menjanjikan apa-apa. Tempat di mana saling membunuh, beda ideologi menjadi hal paling niscaya di sana.
Warna-warni dan manisnya persahabatan aneh dari kelima orang ini, segera raib, berganti dengan amis darah. Sutradara Kang sukses memberi elemen kejut menjelang film berakhir, dengan pertunjukan air mata.
Susah untuk tak menangis di akhir film, dan mengutuk habis-habisan perang ini.