Taburan isu aktual panggung 'Goro-Goro' Teater Koma
Produksi ke-158 Teater Koma lewat pertunjukan “Goro Goro: Mahabarata 2” yang berlangsung pada 25 Juli–4 Agustus lalu disambut “goro-goro” alias pemadaman listrik.
Meski terjadi pemadaman listrik, namun pentas teater sukses menyedot antusiasme ribuan penonton hingga hari terakhir pertunjukan, Minggu (4/8).
Belakangan, maksud 'goro-goro' yang dikisahkan dalam lakon tersebut sebagai tragedi—alih-alih penuh guyonan dan nasihat—ternyata disambung hadirnya masalah nyata: mati listrik atau blackout yang menggelisahkan sebagian besar warga.
Sebagaimana diketahui pada Minggu (4/8), selama lebih dari enam jam sejak pukul 11.48 WIB di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten terjadi mati listrik. Meski aliran listrik telah normal pada petang harinya, Senin siang (5/8) kemarin di sebagian wilayah Jakarta Barat kembali mengalami pemadaman. Sejumlah kafe atau minimarket masih tutup, dan membuat sejumlah pelanggan kecele.
Tentu kondisi itu merugikan lini usaha, khususnya perusahaan dan pabrik yang sangat mengandalkan listrik sebagai sumber energi untuk beroperasi. Presiden Joko Widodo pun bertemu langsung dengan jajaran tinggi Pembangkit Listrik Negara, Senin pagi (5/8) menyampaikan teguran keras agar kejadian ini tak terulang.
Produksi ke-158 Teater Koma lewat pertunjukan “Goro Goro: Mahabarata 2” yang berlangsung pada 25 Juli–4 Agustus lalu disambut “goro-goro” alias pemadaman listrik.
Meski terjadi pemadaman listrik, namun pentas teater sukses menyedot antusiasme ribuan penonton hingga hari terakhir pertunjukan, Minggu (4/8).
Belakangan, maksud 'goro-goro' yang dikisahkan dalam lakon tersebut sebagai tragedi—alih-alih penuh guyonan dan nasihat—ternyata disambung hadirnya masalah nyata: mati listrik atau blackout yang menggelisahkan sebagian besar warga.
Sebagaimana diketahui pada Minggu (4/8), selama lebih dari enam jam sejak pukul 11.48 WIB di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten terjadi mati listrik. Meski aliran listrik telah normal pada petang harinya, Senin siang (5/8) kemarin di sebagian wilayah Jakarta Barat kembali mengalami pemadaman. Sejumlah kafe atau minimarket masih tutup, dan membuat sejumlah pelanggan kecele.
Tentu kondisi itu merugikan lini usaha, khususnya perusahaan dan pabrik yang sangat mengandalkan listrik sebagai sumber energi untuk beroperasi. Presiden Joko Widodo pun bertemu langsung dengan jajaran tinggi Pembangkit Listrik Negara, Senin pagi (5/8) menyampaikan teguran keras agar kejadian ini tak terulang.
Ancaman goro-goro
Kondisi ini mengingatkan kita bisa saja suatu paruh masa yang kita anggap menyenangkan, bahkan memancing perasaan untuk tertawa—berganti jadi bencana yang mendatangkan kesulitan dan bahaya.
“Ya kalau bencana sudah pasti menimbulkan bahaya. Bahaya itu ya muncul karena ada bencana,” begitu kata Gareng, salah satu tokoh panakawan, dalam lakon yang dipentaskan di gedung Graha Bakti Budaya - Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, itu.
Dalam adegan itu, digambarkan situasi di marcapada (bumi) di ambang tragedi. Batara Kala bersekutu dengan ketujuh raksesi (tokoh raksasa jahat) yang hendak memusnahkan hamparan padi sebagai sumber pangan pokok penduduk. Batara Kala tergiur menguasai marcapada setelah di mayapada (kahyangan) dia tak kebagian kekuasaan.
Selanjutnya, kisah yang dipentaskan selama empat jam penuh itu menampakkan visualisasi dan seni akting para raksesi yang menjelma puluhan hama tikus dan belalang menyerang persawahan.
Maka genaplah tuturan Semar, ayah ketiga panakawan (Gareng, Petruk, dan Bagong) perihal goro-goro. Dalam pertunjukan tradisional Jawa, misalnya dalam wayang kulit atau ketoprak, goro-goro umumnya merupakan adegan yang penuh banyolan dan bersuasana gembira.
Sesekali juga para tokoh panakawan menyelipkan ajaran berisi nasihat-nasihat. Tapi dalam lakon itu, Semar berkata, “Kesempatan satu jam untuk goro-goro akan menjadi adegan panjang yang menyedihkan, penuh drama dan tragedi.”
Di lakon ini, penulis naskah dan sutradara N. Riantiarno tampak menekankan pentingnya tugas panakawan. Dalam sinopsis dan catatan penyutradaraannya, Riantiarno mengungkapkan peran panakawan sebagai abdi atau orang kepercayaan dari majikan.
Sebagai pelayan, panakawan melayani majikan dalam kondisi apapun. Lebih dari itu, kata Riantiarno, panakawan adalah sahabat yang cerdik, arif, setia, dan bijaksana. Maka panakawan bertugas terutama mengingatkan majikan.
Menurut gagasan Riantiarno, ada dua macam panakawan: golongan kanan yang berwatak bijak dan benar. Sedangkan golongan kiri berpendirian palsu, licik, perusak, pembual, dan kerap mementingkan diri sendiri. Semar beserta Gareng, Bagong, dan Petruk ialah panakawan golongan kanan. Di sisi lain, Togog dan Bilung menjadi panakawan golongan kiri.
Tugas saling mengingatkan
Pertunjukan sandiwara grup Teater Koma yang tahun ini menginjak usia 42 tahun sebagai kelompok teater modern Indonesia memang sangat kuat mengangkat isu-isu aktual. Secara menyentil, kisah berbalut kritik terhadap situasi sosial-politik Tanah Air.
Dalam lakon “Goro Goro” ini pun, sejumlah tawa penonton berulang kali terdengar saat pengucapan para pelakon menyinggung kondisi aktual bangsa. Selain mengharukan di akhir kisah dengan penyesalan Togog (juga Bilung yang tersedu-sedan) sebab gagal mencegah aksi Batara Kala dan raksesi merusak tanaman padi warga, “Goro Goro” juga membuat kita menertawakan tingkah nafsu kuasa politikus.
Idiom “raja kuda”, “nasi goreng yang dapat merukunkan dua belah pihak”, “post-truth”, sampai pilihan politik saat Pemilu (01, 02) paling banyak memancing gelak tawa di bangku penonton.
Bagong yang usil saat para panakawan hendak bernyanyi pun sempat nyeletuk, “Suara dua nggak usah diajak, nanti protes terus...” Spontan tawa penonton pecah.
Lepas dari itu, penyesalan Togog membuat kita kembali sadar pada peran seorang panawakan untuk mengingatkan pada nilai-nilai kebenaran, hal yang baik, dan menjauhi kemungkaran.
Lalu, di tengah ancaman byar-pet aliran listrik di Pulau Jawa, bagaimana sikap kita? Berhasilkah kita juga mencegah makin buruknya kondisi alam hutan dan lahan kita yang semakin menipis karena pengrusakan dan pembakaran?
Tentu kita bisa menjalankan tugas panakawan seperti Togog yang mengingatkan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Namun, seperti dipesankan Romo Semar, hasilnya tetap semesta yang menentukan.