Tidak hanya memicu kelebihan berat badan dan kanker usus, konsumsi makanan yang mengandung banyak lemak ternyata juga bisa mengganggu fungsi otak dan sistem imun. Orang-orang yang hobi makanan berlemak juga potensial terjangkit Covid-19 yang parah.
Kesimpulan itu ditemukan para peneliti University of California (UCR) dalam kajian bertajuk "Impact of various high fat diets on gene expression and the microbiome across the mouse intestines" yang terbit di Scientific Reports pada 27 Desember 2023.
Dalam risetnya, para peneliti bereksperimen dengan memberikan tiga jenis makanan berbeda kepada tikus selama 24 minggu. Sekitar 40% asupan kalorinya berasal dari lemak. Mikrobioma para tikus dan perubahan genetik pada keempat bagian usus menjadi fokus penelitan mereka.
Dalam eksperimennya, para peneliti membagi tiga kelompok tikus. Kelompok tikus pertama dikondisikan untuk mengonsumsi makanan berdasarkan lemak jenuh dari minyak kelapa. Kelompok tikus kedua mendapat minyak kedelai tak jenuh tunggal yang dimodifikasi. Sisanya mengonsumsi minyak kedelai tidak dimodifikasi yang tinggi lemak tak jenuh ganda.
Jika dibandingkan dengan tikus-tikus yang dietnya dikontrol supaya rendah lemak, ketiga kelompok tikus dalam eksperimen tersebut mengalami perubahan ekspresi gen. Ekspresi gen ialah proses di mana informasi yang melekat pada gen-gen makhluk hidup diubah menjadi fungsi-fungsi tertentu.
”Pola makan nabati kabarnya lebih baik bagi tubuh Anda dan dalam banyak kasus hal tersebut benar. Namun, pola makan dengan kandungan lemak yang tinggi, meskipun yang berasal dari tumbuhan, belum tentu menyehatkan,” kata Frances Sladek, salah satu peneliti dalam riset tersebut.
Pada tikus-tikus eksperimen, terjadi perubahan metabolisme lemak dan komposisi bakteri usus. Patogen Escherichia coli yang berbahaya meningkat jumlahnya, sedangkan bakteri jenis bacteroides yang membantu melindungi tubuh dari patogen justru berkurang.
Menurut Sladek, gen yang menjaga tubuh dari kerentanan terhadap penyakit menular juga melemah. ”Pola makan ini merusak gen sistem kekebalan tubuh inangnya dan menciptakan lingkungan di mana bakteri usus yang berbahaya dapat berkembang biak,” tuturnya.
Riset teranyar itu menemukan minyak kelapa terutama jadi yang paling mempengaruhi perubahan ekspresi gen, diikuti oleh minyak kedelai yang tidak dimodifikasi. Tim peneliti yang sama sebelumnya telah mendokumentasikan beragam dampak negatif dari konsumsi minyak kedelai yang tinggi terhadap kesehatan.
Pada 2020, tim peneliti menunjukkan bahwa konsumsi berlebih minyak kedelai dapat memengaruhi fungsi-fungsi gen di otak yang mempengaruhi autisme, penyakit alzheimer, kecemasan, dan depresi. Sebelumnya, Sladek dan kawan-kawan juga menemukan konsumsi minyak kedelai berkorelasi dengan obesitas dan diabetes, keduanya penyakit penyerta yang berbahaya bagi pengidap Covid-19.
"Ada banyak hal baik mengenai minyak kedelai. Tetapi, konsumsi berlebihan minyak kedelai sangat tak baik bagi tubuh," kata Poonamjot Deol, pakar mikrobiologi dari UCR yang juga terlibat dalam riset tersebut.
Studi yang melibatkan tikus tak selalu menunjukkan hasil yang sama pada manusia. Namun, manusia dan tikus memiliki hingga sekitar 97,5% DNA yang identik. "Tidak perlu panik hanya karena sekali makan. Kebiasaan makan dengan kadar lemak tinggi dalam jangka panjang yang menyebabkan perubahan itu," kata Deol.
Para tikus dikondisikan mengonsumsi makanan kaya lemak selama 24 pekan. Dalam masa hidup manusia, itu sama dengan rentang usia sejak kecil hingga paruh baya. Namun, Deol mengingatkan agar kebiasaan buruk mengonsumsi lemak berlebih dihindari.
"Orang-orang mungkin berpikir,' Oh, saya cukup berolahraga saja'. Tetapi, makan dengan pola seperti ini bisa berdampak pada sistem imun dan bagaimana otak kita berfungsi. Efek negatif ini mungki tidak bisa hilang hanya dengan berolahraga," kata Deol.
Riset Sladek dan kawan-kawan relevan bagi warga Indonesia. Our World in Data mencatat asupan lemak yang dikonsumsi masyarakat Indonesia meningkat dua kali lipat selama 1961-2013, dari 244 kilokalori (kkal) menjadi 519 kkal.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2021 menemulan 12,7% masyarakat Indonesia dengan tingkat ekonomi menengah ke atas cenderung mengonsumsi lebih banyak makanan berlemak. Hanya sekitar 9,9% warga dengan tingkat ekonomi rendah yang rutin mengonsumsi makanan berlemak.