Dalam dua dekade ini, teknologi media dan komunikasi terus berkembang dan berdampak bagi perilaku anak serta remaja. Akibatnya, aktivitas pribadi mulai terbiasa didokumentasikan dan disebarkan melalui telepon genggam atau media sosial. Banyak remaja mengunggah momentum kemesraan bersama pasangan mereka ke dunia maya.
Motifnya berbeda-beda, namun kebanyakan menganggap bahwa hal tersebut sekedar iseng atau fun. Tanpa disadari, hal tersebut bisa mengarah ke hal buruk bagi mereka. Pada tahap ini disebut dengan sexting.
Sexting berasal dari kata seks dan texting. Seks dimaknai sebagai hal yang berkenaan dengan alat kelamin, ketelanjangan, hubungan seksual dan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan hasrat seksual. Sedangkan texting adalah membuat atau berbagi pesan berupa foto, gambar, atau video melalui telepon genggam.
Kegiatan sexting termasuk di dalamnya termasuk kegiatan mengirim pesan melalui aplikasi Line, Whatssap, BBM, Facebook, Twitter, Instagram, Telegram atau email. Mengantisipasi agar tidak merambah pada hal-hal yang merugikan maka, diperlukan literasi anti pornografi.
Lembaga Sahabat Anak, Perempuan, dan Keluarga (Salam Puan) giat melatih para pelajar menjadi agen literasi antipornografi. Mereka akan menjadi agen bagi remaja lainnya di lingkungan masing-masing.
Hal inilah yang menggerakkan Lembaga Sahabat Anak, Keluarga dan Perempuan atau Salam Puan melakukan penyuluhan kepada sejumlah siswa. Literasi sambil membagikan buku "Don't Do Sexting" kepada para siswa, menjaring sejumlah agen literasi anti pornografi di kalangan remaja untuk teman-temannya.
Koordinator Salam Puan Asriyati Nadjamuddin menjelaskan, bahwa sexting berdampak buruknya kepada para remaja. Mulai dari siber bully, merusak reputasi diri, keluarga dan sekolah. Lebih buruk lagi, apabila menjadi korban predator pedofilia yang mengakibatkan stres ingin bunuh diri.
Oleh karena itu literasi amat dibutuhkan di kalangan remaja. Salam Puan melatih 30 siswa agar beroleh ilmu yang bisa ditularkan kepada siswa lainnya. Selanjutnya, akan ada 100 remaja yang juga dilatih hal yang sama.
Buku "Don't Do Sexting" disusun oleh Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi bekerja sama dengan Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera. Plus, Komite Indonesia Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi.
Survei yang pernah dilakukan Music Television (MTV) dan The Associated Press (AP) pada 2009 tentang Teen Digital Abuse menyebut satu dari 10 responden mengaku pernah mengirim gambar sexting dirinya sendiri. Perempuan pun lebih banyak menjadi pelaku sexting sebesar 13%. Sementara persentase laki-laki hanya 9%.
Data lainnya, satu dari lima remaja puteri berusia 14-19 tahun atau sebanyak 20% dan satu dari tiga perempuan berusia 20-26 tahun atau 33% mengaku pernah melakukan sexting. Menariknya lagi, alasan melakukan sexting terbanyak adalah hanya untuk bercanda, menggoda dan hadiah untuk pacar.
Hal itu sebagai sangat mengkhawatirkan karena aksi porno menjadi bahan bercanda. Sedangkan perempuan dan anak sebagai pihak yang paling banyak menjadi korban. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak 2011 hingga 2014, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan dari media dalam jaringan di Indonesia mencapai 1.022 anak.
Dari jumlah itu, anak-anak yang menjadi korban pornografi melalui media daring 28%. Pornografi anak daring 21%, prostitusi anak daring 20%, objek CD porno 15%, dan anak korban kekerasan seksual daring 11%.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh KPP-PA bekerja sama dengan Katapedia, paparan pornografi sebanyak 63.066 melalui Google, Instagram dan berita daring. Belum lagi, paparan pornografi melalui buku bacaan: seperti komik, buku cerita yang memasukkan unsur pornografi melalui gambar.
Sementara itu, berdasarkan data Bareskrim Polri yakni Laporan National Center Of Missing & Exploited Children (NCMEC) bahwa jumlah Internet Protokol (IP) Indonesia yang mengunggah dan mengunduh konten pornografi anak melalui media sosial, yakni pada tahun 2015 sebanyak 299.602 IP. Meningkat tajam pada per Maret 2016 sebanyak 96.824 IP.
Facebook dan Twitter merupakan media jejaring sosial yang paling banyak digunakan untuk mengunduh dan mengunggah konten pornografi anak. Menangkal hal tersebut, Asriyati menyebut langkah pertama adalah dengan tidak meneruskan kepada siapa pun bila menerima pesan atau gambar porno.
Bagi para pelajar, ia mengimbau segera melaporkan sumber maupun pengirim pesan porno tersebut kepada orang tua dan guru. Hal penting lain adalah mewaspadai terhadap orang yang baru dikenal melalui media sosial.
Sementara peran orang tua dan guru bahwa anak-anak dan remaja perlu mendapat dorongan untuk menghargai diri sendiri. Caranya dengan tidak memamerkan bagian tubuh yang tidak pantas. "Berikan pengertian bahwa jangan pernah bugil di depan kamera atau saat sedang mandi dan ganti baju," kata Arisyati seperti dikutip Antara.
Praktisi Informasi dan Teknologi Irwan Karim menambahkan, berkaca pada fenomena tingginya paparan pornografi dan berbagai situs yang silih berganti muncul. Maka, sejumlah pakar teknologi merilis sejumlah alat bantu dalam internet bagi para orang tua. Misalnya aplikasi khusus yang bisa dipasang pada gawai yang bisa melindungi anak dari bahaya internet. Aplikasi semacam itu disebut aplikasi parental control.
Salah satu contoh aplikasi parental control adalah Qustodio yang dapat diunduh melalui qustodio.com atau K9 WebProtection yang bisa diunduh dari k9webprotection.com. Selain dua situs tersebut, ada teknologi buatan Indonesia seperti Kakatu dan layanan DNS Nawala. Kakatu dapat diunduh secara gratis di kakatu.web.id dan juga tersedia di Playstore Android.
Namun dibalik itu semua, orang tua juga harus serius dalam memberikan gawai kepada anak-anaknya. "Anak harus dipersiapkan saat memiliki gawai sendiri. Setelah itu harus dipantau dan orang tua harus peka pada perubahan perilaku mereka," imbuhnya.