close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah calon penumpang KRL melihat tawuran warga di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (29/10/2019)./Foto Antara/Muhammad Adimaja
icon caption
Sejumlah calon penumpang KRL melihat tawuran warga di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (29/10/2019)./Foto Antara/Muhammad Adimaja
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 28 Juni 2024 15:32

Tawuran yang tak kunjung sirna

Tawuran sering kali terjadi di beberapa titik di Jakarta. Apa yang menjadi pemicunya?
swipe

Rizal, 17 tahun, setiap malam Minggu mendatangi Jalan Panjang, tak jauh dari rel kereta Stasiun Pesing, Jakarta Barat. Tujuannya, memantau kerumunan anak muda yang kerap tawuran pada tengah malam.

Dia mengaku sering bergabung dengan salah satu kubu yang bertikai, hanya untuk memacu adrenalin. Alasan lainnya, karena suntuk dan tidak ingin dianggap kurang pergaulan oleh rekan sebayanya.

“Yang jelas, kalau yang seberang nantang, ya jadiin (tawuran),” ucap siswa kelas 11 SMA itu kepada Alinea.id, Kamis (27/6).

Di mana saja titik rawan tawuran?

Area sekitar Stasiun Pesing dan di bawah jalan layang Pesing, sering menjadi lokasi tawuran. Padahal lokasinya dekat Kantor Polres Metro Jakarta Barat.

Beberapa waktu belakangan, sejumlah titik di Jakarta dijadikan arena tawuran. Misalnya, tawuran yang pecah di Jalan Kamal Raya, Kalideres, Jakarta Barat, Sabtu (8/6) sore. Tawuran itu mengakibatkan seorang remaja, AP, yang berusia 14 tahun tewas usai dipukul dengan balok oleh DMS, 18 tahun, yang bermaksud membubarkan tawuran tersebut.

Di Jakarta Barat, lokasi rawan tawuran lainnya ada di daerah Cengkareng, Kembangan, Grogol Petamburan, Palmerah, Tamansari, Kebon Jeruk, dan Tambora.

Lalu, pada Sabtu (9/3) pagi, perang batu dan petasan terjadi di Jalan Basuki Rachmat atau dikenal dengan Bassura, Jatinegara, Jakarta Timur. Pada Kamis (27/6) pagi, tawuran antarwarga RW01 dan RW02 kembali pecah di Bassura.

Titik rawan tawuran lainnya di Jakarta Timur, antara lain di Jembatan Tongtek (perbatasan Kampung Melayu dan Bukit Duri, Jalan Otista Raya, Prumpung, Rawabunga, Pulogadung, Kampung Kebon Sayur, Jalan Matraman Raya, dan Cakung. Bahkan, wilayah Matraman menjadi tempat “legendaris” untuk tawuran antara warga Berlan dan Pal Meriam, sejak masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada dekade 1970-an.

Di Jakarta Utara, lokasi “favorit” tawuran, antara lain Sunter Agung, Jembatan Item, di dekat Jakarta International Stadium (JIS), dan Kampung Bahari. Selain itu, daerah Koja dan Cilincing tak jarang pula terjadi tawuran, terutama saat bulan Ramadan.

Daerah Jakarta Pusat yang rawan tawuran, antara lain Johar Baru, Sawah Besar, dan Cempaka Putih. Sementara Jakarta Selatan, antara lain Manggarai, Menteng Pulo, dan Lenteng Agung.

Wadi, 41 tahun, yang bekerja sebagai koki di sebuah restoran di Mangga Besar, Jakarta Barat, merasa tawuran sudah sangat mengganggu. Dia mengaku kerap takut pulang malam lantaran di daerah Pesing dan Jalan Daan Mogot sering kali ada tawuran. Dia pernah mencari jalan tikus untuk menghindari tawuran yang terjadi di bawah jalan layang Pesing.

“Jadi mesti muter-muter (jalan pulang). Padahal, badan sudah capek kerja, mau istirahat,” ujar warga Poris, Tangerang, Banten itu.

Mengapa tawuran kerap terjadi?

Menurut sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana, tawuran di Jakarta telah tumbuh menjadi subkultur menyimpang seiring dengan ekspresi anak muda yang frustasi karena tak mampu secara pendidikan dan ekonomi.

“Dengan tawuran, mereka ingin dilihat jadi pahlawan, Mereka ‘kapitalisasi’ tawuran itu, ada sesuatu yang bisa diekspresikan,” ucap Asep, Kamis (27/6).

“Kenapa mereka menyalurkan (ekspresi tawuran) itu? Karena mereka adalah kelompok sosial-marjinal yang tidak bisa mobilisasi vertikal.”

Asep menilai, pembangunan kota yang kapitalistik dan berorientasi pada uang mendasari hal ini. Imbasnya, kelompok marjinal tidak mampu “membeli” kenyamanan hak warga berupa sekolah dan ruang publik lainnya. Mereka yang tersisih itu membentuk eksistensi dengan tawuran.

"Pada kenyataanya kota itu bukan untuk orang, tapi untuk profit. Hanya orang-orang yang punya duit yang bisa menikmati ibu kota, dan kota itu adalah mesin pertumbuhan ekonomi atau mesin mencari uang,” ucap dia.

Lebih jauh lagi, kata Asep, gelanggang tawuran bisa menjadi ajang adu eksistensi warga yang ingin mendapatkan pamor sebagai “preman”. Pada gilirannya menjadi penguasa wilayah, yang dapat menguasai akses ekonomi lewat jalur premanisme yang terorganisir.

“ Jadi, tawuran itu punya model yang ‘soft’, yang terjadi karena iseng saja atau suntuk,” ujar dia.

“Ada yang memang dilakukan untuk ‘hard’, sebagai ajang adu paling jagoan yang berpotensi jadi preman nantinya.”

Dosen ilmu kesejahteraan sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta, Muhammad Sahrul menilai, sebaran wilayah tawuran yang semakin luas di Jakarta pertanda ruang kekerasan di kota sudah sangat tidak tertangani dengan baik oleh aparat keamanan. Hal itu berdampak buruk pada rasa aman dan kenyamanan beraktivitas.

Ruang kekerasan dalam bentuk tawuran yang meluas di Jakarta, kata dia, kemungkinan karena elemen masyarakat yang menjadi katup pengaman pencegahan tawuran sudah mulai tidak peduli dengan lingkungan.

“Padahal fungsi pencegahan yang paling baik ada pada peran keluarga, lingkungan sosial, dan aparatur tingkat RT dan RW, serta tokoh-tokoh lokal di wilayah tersebut,” ucap Sahrul, Rabu (26/6).

Sementara itu, psikolog klinis forensik A. Kasandra Putranto menilai, tawuran yang semakin meluas di Jakarta berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan anak pada 2023, yang sebanyak 3.547 kasus. Rinciannya, kekerasan seksual mencapai 1.915 kasus atau meningkat 54% dibanding tahun 2022, kekerasan fisik 985 kasus atau naik 27%, dan kekerasan psikis mencapai 674 kasus atau naik 19%.

Kasandra menuturkan, tawuran juga disebabkan masalah pendidikan yang lemah dalam membendung doktrin kekerasan. “Pelajar yang ikut tawuran cenderung laki-laki. Beberapa faktor menjadi alasan kenapa para pelajar ikut tawuran, salah satunya ialah doktrin dari senior atau alumni rival antarsekolah,” tutur Kasandra, Kamis (27/6).

“Lalu adanya kelompok siswa yang sering kali membentuk geng sekolah, memiliki konotasi negatif dan sering memicu tawuran.”

Kasandra melanjutkan, tawuran juga disebabkan peserta didik yang tengah mengalami konflik identitas. Akibatnya, pendirian menjadi labil.

"Mereka menjadi pribadi agresif, suka mengganggu orang lain, dan tidak saling menghargai di antara sesamanya,” kata dia.

Penyebab lain terjadinya tawuran, jelas Kasandra, adalah kurangnya perhatian orang tua. “Kurang perhatian dari orang tua akan menimbulkan konflik identitas, yang akhirnya mengarah kepada tindakan kenakalan," ucap Kasandra.

Bagaimana mengatasinya?

Kasandra berujar, lokasi tawuran di Jakarta memiliki ciri-ciri jalan raya yang lurus atau di kolong jalan layang. Selain itu, daerah yang sisi kanan dan kirinya terdapat gang kecil sebagai alternatif melarikan diri dari kejaran lawan, warga, atau polisi.

“Lazimnya lokasi yang sudah memiliki reputasi tawuran, banyak terlihat fasilitas publik yang rusak,” ujar Kasandra.

Untuk menekan tawuran di Jakarta, Asep menyarankan dibuka peluang mobilitas vertikal kepada kaum marjinal berupa akses sekolah gratis, bantuan usaha, atau pelatihan kewirausahaan. Lalu, memberikan akses kenyamanan hidup, berupa hiburan publik, yang gratis.

“Semisal lapangan buat main bola, jalan buat sepatu roda, taman buat berteduh atau lari,” kata Asep.

“Ruang-ruang publik yang aksesnya gratis. Kalau dulu ada misbar (gerimis bubar), sekarang ada wifi gratis (misalnya).”

Terakhir, merangsang warga untuk belajar keadaban melalui pendekatan agama dan rekayasa sosial untuk tidak kembali ke jalur tawuran sebagai saluran eksistensi. “Program zonasi sekolah juga semoga bisa menjadi solusi,” kata Asep.

“Karena memberi kesempatan kepada warga sekitar. Sekolah menjadi bagian masyarakat.”

Artikel ini ditulis oleh :

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor
Bagikan :
×
cari
bagikan