TikTok brain: Saat fokus otak dirampas video pendek
Aplikasi TikTok telah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari banyak orang, terutama anak-anak dan remaja. Media sosial yang menyuguhkan video pendek berdurasi hingga 60 detik—belakangan menjadi 10 menit—itu memiliki keunggulan algoritma yang cukup akurat.
TikTok memang menggoda bagi anak-anak dan remaja. Mereka bisa menonton klip pendek yang mengalir tanpa henti, dipersonalisasi agar sesuai minat spesifik, dengan musik yang simpel. Segala keunggulan tadi membuat TikTok menarik bagi anak-anak dan remaja. Memberikan mereka hiburan sesaat.
Berdasarkan data We Are Social, TikTok menjadi media sosial terpopuler ke-5 di dunia pada Januari 2024, di bawah Instagram, WhatsApp, Facebook, dan WeChat. TikTok menjangkau 1,56 miliar penggunanya secara global setiap bulan.
Mengutip Verywell Health, walau penelitian tentang dampak penggunaan TikTok masih terbatas, tetapi profesional kesehatan, pendidik, dan orang tua telah memberi perhatian fenomena yang mengkhawatirkan terkait kemampuan anak untuk fokus dalam jangka waktu yang lama.
“Meskipun kami belum memiliki penelitian jangka panjang, tidak diragukan lagi TikTok memengaruhi otak. Otak anak-anak masih berkembang hingga pertengahan 20-an,” kata profesor psikiatri dan pediatri di University of California, Jessica Griffin kepada Verywell Health.
Kebanyakan menonton video di TikTok, bisa memicu TikTok brain. Menurut The Wall Street Journal, TikTok brain adalah sebuah fenomena anak-anak dan remaja yang merasa lebih sulit untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang tak menawarkan kepuasan instan, layaknya mereka mendapatkan konten menghibur berdurasi pendek di TikTok.
Menurut psikiater dan pakar trauma Nina Cerfolio dalam New York Post, fenomena TikTok brain dihasilkan dari menonton video yang dipersonalisasi dengan menggunakan algoritma yang dirancang secara akurat memprediksi konten mana yang lebih disukai.
“Ada peningkatan dopamin di pusat otak saat menggunakan TikTok dan otak menjadi kecanduan sekresi dopamin yang berkelanjutan,” kata Cerfolio kepada New York Post.
Dopamin merupakan zat kimia di dalam otak yang bisa meningkat kadarnya saat seseorang mengalami sensasi yang menyenangkan. Lebih lanjut, Cerfolio mengatakan, hal ini sering kali mendorong remaja untuk terus menggunakan situs ini agar merasa “baik” setelah berhasil masuk ke dalam kelompok.
“Perasaan ‘baik’ ini secara paradoks merusak kepercayaan mereka terhadap keunikan dan orisinalitasi diri mereka sendiri,” ujar Cerfolio.
Sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal NeuroImage (Agustus, 2021) mengenai efek neurologis spesifik TikTok meriset bagaimana Douyin—aplikasi serupa TikTok di China—memengaruhi otak mahasiswa di China. Penelitian itu menemukan, menonton video yang dipersonalisasi dan dipilih berdasarkan algoritma akan mengaktifkan sistem penghargaan di otak lebih dari sekadar menonton video acak yang belum pernah ada sebelumnya. Pemindaian otak siswa yang menggunakan aplikasi ini secara teratur menunjukkan respons yang menyerupai kecanduan. Beberapa subjek penelitian bahkan kurang punya kendali diri untuk berhenti menonton.
“Jika kita menonton video di TikTok dalam jangka waktu lama, hal ini dapat menyebabkan masalah pada fokus, konsentrasi, dan memori jangka pendek,” kata Griffin kepada Verywell Health.
Beberapa peneliti dari Guizhou University of Finance and Economics dan Western Michigan University yang terbit di jurnal Computers in Human Behavior (Agustus, 2023) menemukan video di TikTok dan YouTube Shorts melibatkan pengguna melalui kegembiraan singkat, yang mengarah pada pengembangan perilaku adiktif.
“Banyak orang melaporkan, penggunaannya secara berlebihan menyebabkan gangguan pada kehidupan sehari-hari mereka—misalnya, seperti depresi emosional, rendahnya efisiensi belajar atau kerja, dan manajemen waktu yang buruk—gejala-gejala ini mirip dengan bentuk perilaku kecanduan,” tulis para peneliti.
Para peneliti menyebut, mirip dengan kecanduan social networking service (SNS) atau internet, penggunaan aplikasi video pendek yang berlebihan juga bisa menyebabkan perilaku kecanduan. Namun, dibandingkan dengan SNS atau internet, video pendek punya beberapa perbedaan utama, yakni kondensasi konten ke dalam jangka waktu terbatas, lebih menarik bagi generasi muda yang sedikit atau tak memerlukan pengetahuan teknologi, dan terlibat lewat konten yang menegangkan dan singkat, bukan konten yang luas dan berdurasi panjang.
Di samping itu, menurut Griffin, TikTok juga dapat mengurangi interaksi dalam kehidupan nyata, yang menyebabkan terhambatnya perkembangan emosional dan sosial. Bahkan, anak-anak akan terpapar pada informasi yang berpotensi mengganggu, berbahaya, atau tak akurat.
“Jika anak Anda memiliki kekhawatiran tentang gangguan makan, kecemasan, atau depresi, kemungkinan besar mereka akan mencari lebih banyak konten terkait topik tersebut di feed mereka—yang bisa memberikan dukungan, tetapi berpotensi sangat merusak,” ujar Griffin.
Kepada Verywell Health, psikoterapis yang berbasis di New York, Kathryn Smerling menyarankan, orang tua yang ingin melindungi anak-anak mereka dari TikTok brain harus berbicara secara terbuka tentang potensi bahaya dan mendorong mereka untuk mengisi waktu dengan berbagai aktivitas berbeda. Orang tua juga bisa membantu anak-anak mereka memanfaatkan alat manajemen waktu layar TikTok, yang memungkinkan pengguna memilih durasi yang dapat dikunci dengan kode sandi empat digit.
“Pastikan anak Anda memiliki kehidupan yang seimbang dan memiliki banyak waktu bersama keluarga,” ujar Smerling, dikutip dari Verywell Health.