"Titik temu": Menyulap seni kontemporer jadi bahasa baru
Ruangan tiga petak di Gedung B Galeri Nasional ramai sejak Rabu (8/8) sore. Sebuah pameran dari Proyek SKS akan dapat dinikmati para pecinta seni dan masyarakat dari 8 hingga 19 Agustus mendatang.
Pengunjung akan disuguhkan enam karya seni dari tujuh peserta sekolah seni kontemporer. Karya-karya yang dipamerkan merupakan tugas akhir dari peserta sekolah yang dikepalai oleh seniman FX harsono.
Mati, Deth, Sedo-Adriani S. Sumantri./ Mumpuni
Pada ruangan pertama, pengunjung akan disambut dengan karya Adriani S. Sumantri yang berjudul "Mati, Death, Sedo". Seni instalasi itu kental sentuhan personal penciptanya. Ini ditandai dengan sejumlah kain bergantungan, yang acap kali digunakan sebagai balutan jasad seseorang ketika mangkat.
Dalam setiap sulamannya, Adriani mencoba menggambarkan proses penemuan makna seseorang di balik kematian. Lalu bagaimana orang mencari tahu soal kematian, dan ketakutan yang mereka rasakan menghadapi kematian. Seniman yang juga antropolog itu menggunakan pendekatan antropologis untuk membuat sebuah karya yang dianggapnya sebagai meditasi. Pun proses menemukan kembali suatu hal dari sebuah kematian.
Minggu esok, perempuan yang biasa dipanggil Ani itu juga akan menggelar workshop di Gedung Serbaguna Galeri Nasional. Workshop menyulam itu akan membawa para peserta memahami makna kematian yang belum tentu disadari banyak orang. Kebanyakan orang, alih-alih mencari esensi kematian, justru sibuk dengan ketakutannya sendiri. Beberapa buku soal kematian juga dipamerkan dalam satu meja di pojok kiri instalasi.
Ruangan selanjutnya akan membawa pengunjung pada tiga karya seni. Pertama karya admin IT, Gloria Pearl yang membuat pemetaan kisah perupa Indonesia. Berangkat dari kemunculan tokoh Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), S. Sudjono pada 1938, Glo merasa perkembangan seni rupa modern memiliki kisah menarik selama 80 tahun. Sebagai seorang awam, Glo mengaku, perkembangannya akan lebih terasa, jika dituangkan dalam bentuk visual.
Ia pada akhirnya memang menyajikan hasil pembacaan tiga bulanan tersebut dalam bentuk karya seni instalasi. Sampai saat ini dan seterusnya, ia ingin terus menguliti perkembangan seni modern. Ia juga memanifestasikan hasil-hasil penelitiannya dalam buku yang bisa dibaca para pengunjung.
Karya selanjutnya di ruang yang sama adalah milik Saniyyah Blesshanti. Seni instalasi berjudul "Pahit Manis Seri 1" dibuat bersama dengan Adinda Zhafira. Dua remaja yang menuangkan cerita personal mengenai hubungan anak dengan orang tuanya.
Pernikahan menjadi materi dasar dari seni berupa pakaian dan buku nikah itu. Keduanya berusaha menggambarkan psikologi tiap orang kala menghadapi pernikahan maupun perceraian, lewat aneka simbol. Bagi dua remaja yang sedang mencari jati diri itu, perceraian akan selalu membayangi sebuah hubungan pernikahan.
Dalam pakaian yang dipamerkan, tertulis harapan-harapan sebuah hubungan pernikahan yang jamak diinginkan setiap orang. Perbedaan pendapat antara orang tua sebagai sosok yang telah lebih dulu berkecimpung dalam hubungan pernikahan, tertuang dalam aksesoris yang tertempel dalam tiap-tiap baju.
Simbol itu menunjukkan kebahagiaan masa kecil pada baju yang diibaratkan laiknya anak. Sementara, pada baju yang diibaratkan sebagai orang tua, menggunakan lambang-lambang kedewasaan. Buku nikah yang berada di tengah-tengah pun menyimbolkan sebuah pernikahan yang terikat secara simbolis, namun penuh dengan pertanggungjawaban yang tidak sepele.
Karya terakhir di ruang tengah adalah milik Mirya Balya, menceritakan kisan ibunya yang menderita demensia kemudian menjadi alzheimer sampai akhir hidupnya. Dalam karya berjudul "Rekam Jejak Seorang Demensia", ia menunjukkan gambar-gambar yang dijadikan terapi semasa ibunya masih hidup. Bahkan ia juga akan menjadikan seni menggambar dan mewarnai yang ditampilkannya, menjadi pendamping penderita Demensia.
Melalui proses mewarnai, Mira ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya dan para penderita demensia lainnya, untuk mencegah penyakitnya kian fatal. Melalui karya ini, Mira ingin mengajak banyak orang yang memiliki orang tua, keluarga, atau kenalan untuk bertahan mengatasi demensia.
Dari gambar itu, tampak perubahan warna yang mencolok dibandingkan dengan warna pada objek aslinya. Ini dimaknai, penderita demensia akan melupakan warna asli sebuah objek dan hanya akan menuangkan warna sesuai dengan ingatan akan warna mereka yang anyar. Kebanyakan warna yang dituangkan dalam gambar-gambar itu sendiri adalah warna-warna dasar dan bersifat cerah. Sebuah analisis yang mungkin saja dapat membantu pemahaman akan penyakit demensia.
Pertemuan Nyong Tataruga dengan Penguasa Laut-M. S. Alwi./ Mumpuni
Beranjak ke ruangan terakhir, ada dua suguhan milik dua seniman. Pertama, M. S. Alwi yang menceritakan tentang sisi lain kepulauan Banda. Karya berjudul "Pertemuan Nyong Tataruga dengan Penguasa Laut" itu menunjukkan kisah hidup para nelayan, yang tak sedikit hilang diterpa ombak.
Alwi juga membuat instalasi petunjuk yang harus dilakukan seseorang saat menjadi korban tenggelam. Sebuah video tentang dua nelayan yang pernah lama menghilang, lalu kembali juga disuguhkan lelaki asal Banda itu.
Ia sendiri mengaku terinspirasi dari kisah teman-temannya yang kerap raib saat melaut. Alwi berpendapat, semua kecelakaan laut muncul lantaran kurangnya perhatian terhadap prosedur keselamatan perairan. Persoalan itu jadi pelik, karena saban tahun angka kecelakaan terus meningkat--bukti tak ada itikad meningkatkan keselamatan nelayan atau orang yang bekerja di laut.
Karya Alwi direpresentasikan lewat modifikasi life jacket yang biasa digunakan untuk menyelamatkan diri agar tak tenggelam. Salah satu alasan seseorang enggan menggunakan fitur wajib ini, menurut Alwi karena ketidakmodisan bentuk jaket itu sendiri.
Ia kemudian memodifikasinya sehingga terlihat trendi jika digunakan, terutama bagi kawula muda. Baginya beberapa karya yang dituangkan dalam seni instalasi tersebut sebagai kritik sekaligus meningkatkan perhatian orang terhadap berbagai keselamatan di air.
Perempuan dalam Kamus Bahasa Indonesia-Ika Vantiani./ Mumpuni
Masih di ruang yang sama, karya Ika Vantiani berjudul Perempuan dalam Kamus Bahasa Indonesia menjadi penutup. Karya itu menunjukan perkembangan makna perempuan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sejak 1983 sampai edisi terakhir 2016.
Menurut Ika, kata "perempuan" dalam kitab bahasa negara itu memiliki pergeseran yang menimbulkan kesan negatif terhadap perempuan. Melalui karyanya, Ika mengaku ingin menyadarkan para perempuan khususnya, tentang pemaknaan atas mereka.
Dari beberapa yang ditemui Ika, tak sedikit yang mengaku baru menyadari pengertian dan pemaknaan kata perempuan di kamus sebagai sesuatu yang mengarah kepada hal negatif.
Sebagai acuan tertinggii bahasa Indonesia yang dibuat oleh institusi negara, Ika mempertanyakan apa dasar dari pemberian contoh-contoh kalimat dari kata perempuan di kamus. Apalagi kamus adalah panduan yang paling lengkap dan akurat. Itu sudah diperkenalkan sejak seseorang duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Oleh karenanya, Ika merasa perlu adanya penggunaan contoh dan pengertian dengan sesuatu yang lebih positif mengenai perempuan.
Ika juga menjelaskan, penggunaan kaca bening dalam penulisan KBBI seperti di gambar memiliki semiotik tersendiri. Saat seorang perempuan berada di balik kaca tersebut, membaca arti demi arti, maka akan muncul rasa yang beragam. Berbeda-beda pada tiap orang.
Ika sendiri merasa dirinya sebagai sesuatu seperti yang tertulis dalam pengertian di atas kaca itu, dengan kata lain orang akan melihat dia sambil membaca pengertian perempuan dalam makna di kamus. Ika mengakui dirinya terkesan negatif jika digambarkan dengan pengertian tersebut.
Untuk berikutnya, ia berencana melakukan pameran lanjutan dari karya tersebut. Sedikit bocoran, karya terbaru Ika menggunakan sepuluh kolase perempuan.
Pameran yang dikuratori oleh Leonhard Bartolomeus itu bertemakan "Titik Temu". Pengambilan tema tersebut dilatarbelakangi Proyek SKS sudah berjalan sejak Februari 2018. Proyek ini mempertemukan beberapa orang dengan sudut pandang berbeda, latar pengetahuan, sosial, personalitas, perdebatan yang berbeda-beda, serta proses yang berbeda-beda pula.
Dari semua perbedaan, maka akan memberikan pengalaman artistik yang variatif pula.. "Titik Temu" kemudian dapat diartikan sebagai sebuah momen yang memungkinkan terjadinya dialog untuk memperkaya gagasan para peserta Proyek SKS.
Semua karya seni yang ditampilkan berawal dari diskusi. Bagi mereka, seni menjadi muara atau cara orang berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa hal itu kemudian dijadikan pengalaman yang menghasilkan seni instalasi sebagai bentuk gagasan visual dengan rasa personal yang khas, yaitu sejarah dankenangan tiap peserta.
Seperti halnya sebuah titik, pamerah itu dianggap sebagai sebuah pemberhentian dari kelas-kelas seni yang dijalani para peserta selama beberapa bulan, atau singkatnya sebagai tugas akhir mereka. Meski titik merupakan simbolis dari akhir sebuah kalimat, namun kebanyakan peserta mengakui akan adanya kelanjutan dari karya-karyanya tersebut.