Toxic masculinity: Dipupuk sedari kecil, bisa berbahaya kala dewasa
Dalam sebuah persidangan di Dublin, Irlandia pada Senin (27/9) waktu setempat, Renato Gehlen, 39 tahun, masih berkilah ia membunuh istrinya—yang seorang perempuan Prancis bernama Anne Colomines, 37 tahun. Padahal, vonis penjara seumur hidup sudah menanti.
Gehlen, yang warga negara Brasil itu mengatakan, istrinya tewas usai bertengkar dan berebut pisau. Seperti dikutip dari The Irish Times, Senin (27/9) dalam artikel “Murder accused displayed ultimate in toxic masculinity by stabbing wife, court told”, pertengkaran yang terjadi di rumah mereka di Dublin pada 25 Oktober 2017 itu disulut amarah Gehlen, saat mengetahui sang istri punya selingkuhan yang dikenal dari media sosial.
Gehlen mengatakan, Anne menusuk pisau itu ke perutnya sendiri. Namun, bukti forensik menunjukkan, ada empat luka tikam di tubuh Colomnines. Dengan kondisi ini, kemungkinan sangat kecil jika Colomnines menikam dirinya sendiri.
Menurut seorang pengacara senior bernama Shane Costelloe, jika istri berselingkuh, hal itu tak memberikan hak kepada seorang suami untuk menusukkan pisau. Ia mengatakan, tindakan Gehlen merupakan wujud toxic masculinity atau maskulinitas beracun yang paling berbahaya.
Konsep maskulinitas
Istilah toxic masculinity dipopulerkan seorang psikolog Amerika Serikat bernama Shepherd Bliss pada 1980-an. Bliss memisahkan sifat-sifat negatif dan positif maskulinitas.
Saat itu, Bliss aktif mengamati dan bergabung dengan gerakan pria di Amerika Serikat selama satu dekade. Pada 1986, Bliss menerbitkan artikel di Yoga Journal. Artikel itu diterbitkan ulang di Spring pada 1987 dan Context Institute pada 1997.
Dalam artikel yang berjudul “Revisioning Masculinity: A report on the growing men's movement” tersebut, Bliss berusaha merombak definisi maskulin yang dikenal lama. Menurut Bliss, tahun 1980-an konsensus tentang apa artinya menjadi seorang pria di Amerika Serikat tengah terkikis.
Gerakan dan pertemuan organisasi laki-laki pun masif terjadi. Perspektif laki-laki feminis diwakili National Organization of Changing Man (NOCM), yang menjadi tuan rumah sebuah pertemuan gerakan laki-laki di Atlanta, Amerika Serikat.
Bliss melihat, ada dua faktor utama yang mengubah konsep tradisional tentang maskulinitas, yakni gerakan perempuan dan perubahan situasi ekonomi atau pekerjaan.
“Perempuan menuntut lebih banyak akses ke pekerjaan tradisional laki-laki, sehingga mengancam citra ‘pencari nafkah’ laki-laki. Perempuan juga menuntut laki-laki membantu merawat anak-anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga,” tulis Bliss.
Akan tetapi, tulis Bliss, gambaran maskulinitas lama masih tetap ada, seperti pria dalam reklame rokok Marlboro atau aktor Sylvester Stallone di layar lebar. “Pria yang digambarkan seharusnya tangguh, menyembunyikan perasaannya, dan tetap bertanggung jawab,” tulis Bliss.
Akibatnya, kata Bliss, banyak pria merasakan tekanan yang saling bertentangan. Di satu sisi mereka berusaha memenuhi steriotip maskulin, di sisi lainnya mereka menyesuaikan diri dengan harapan istri, kekasih, atau rekan kerja.
Menurut Bliss, sejak ia mempelajari tentang gerakan laki-laki, sejumlah isu utama menjadi perhatian, seperti hubungan ayah dan anak, persahabatan antarpria, kesehatan pria, model keintiman pria, model perasaan pria, dan tubuh pria.
“Ada pula isu-isu lainnya, seperti hubungan laki-laki dan perempuan, homofobia, kekerasan dalam rumah tangga, serta hubungan laki-laki dan perang,” tulis Bliss.
Lavinia Rotundi dalam tesisnya di Libera Universita Internazionale Degli Studi Sociali (Luiss Guido Carli), Roma, Italia berjudul The Issue of Toxic Masculinity (2019/2020) menulis, istilah maskulinitas secara umum didefinisikan sebagai sehimpunan fisik, psikologis, dan karakteristik perilaku yang terkait dengan laki-laki.
Psikologis dan karakteristik laki-laki, kerap dibentuk sejak kecil. Tak sedikit anak laki-laki yang diajarkan menjadi kuat dan tak boleh menangis.
Penulis Lindsey Anderson dalam tulisannya “It’s time to put toxic masculinity to rest” di The Daily Aztec pada 29 September 2021 menulis, sejak kecil anak laki-laki kerap diajarkan dengan beberapa frasa umum, seperti “jangan menjadi banci”, “kamu merengek seperti perempuan”, atau “tetap kuat”.
“Ungkapan ‘jangan menjadi banci’ menciptakan ketakutan anak laki-laki menunjukkan emosi dalam bentuk apa pun. Pria diharapkan menjadi makhluk yang tabah, tanpa emosi,” tulis Anderson.
Ketika pria menunjukkan tanda-tanda kelemahan fisik, mereka disamakan dengan perempuan. Dan, tulis Anderson, ketika mereka mengekspresikan segala bentuk emosi, ketakutan, atau masalah mental, mereka diingatkan untuk selalu menjadi lebih laki-laki.
“Masalah terbesar di sini adalah kita yang mengajarkan konstruksi kejantanan ini kepada anak-anak kita. Dan dengan melakukan itu, menciptakan harapan yang tidak dapat dicapai tentang apa yang seharusnya disebut ‘pria sejati’,” kata Anderson.
Norma-norma maskulin yang beracun ini diajarkan kepada anak laki-laki dalam tahap pertumbungan paling awal dan celakanya semakin mendarah daging ketika mereka tumbuh dewasa.
Di sisi lain, Rotundi menulis, analisis sosiologis dan antropologis menunjukkan sepanjang paruh akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, representasi yang paling tersebar tentang maskulinitas telah dikonstruksi secara sosial sebagai suatu yang benar-benar jauh dari penampilan, sifat pribadi, atau karakteristik yang terkait dengan feminitas, termasuk emosi, kelembutan, dan fisik atau mental.
Lantas, terutama pada masa remaja, anak laki-laki sebagian besar dibiarkan agresif, dengan perilaku menggoda menggunakan istilah homofobia atau menyerang anak laki-laki lain secara agresif.
Dalam perkembangannya, maskulinitas menjadi sebuah definisi yang sempit tentang kejantanan, menciptakan apa yang disebut toxic masculinity.
Akibat toxic masculinity
Sebuah riset di Journal of School of Psychology, seperti dikutip dari tulisan Jon Johnson berjudul “What to khow about toxic masculinity” di Medical News Today edisi 21 Juni 2020, menyebutkan bahwa maskulinitas beracun adalah konstelasi sifat-sifat maskulin yang regresif secara sosial, yang mendorong dominasi, devaluasi perempuan, homofobia, dan kekerasan seksual.
Penulis AnnaMarie Houlis dalam artikel “What is toxic masculinity, exactly, and how can you deal with it?” di Shape, 27 September 2021 menulis, maskulinitas beracun berbentuk banyak perilaku yang mengganggu dan berbahaya.
“Seperti intimidasi verbal dan kekerasan fisik, dan mungkin juga terlihat seperti pelecehan seksual, penyerangan seksual, dan banyak lagi,” tulis Houlis.
Maskulinitas beracun, tulis Houlis, berkontribusi pada seksisme, misogini, dan chauvinisme pria. Maskulinitas beracun berdampak buruk pada semua jenis kelamin, menyebabkan konflik peran gender.
“Masalah muncul sebagai akibat dari peran gender yang kaku, seksis, atau membatasi, yang menyebabkan pembatasan pribadi, devaluasi, atau pelanggaran terhadap orang lain atau diri sendiri,” sebut American Psychological Association, seperti dikutip dari tulisan Houlis.
Dosen kriminologi di Royal Holloway, University of London, Elizabeth Pearson yang menulis “Extremism and toxic masculinity: the man question re-posed” di jurnal International Affairs edisi November 2019 menyebut, di dalam wacana krisis kontemporer, maskulinitas beracun telah menjadi wadah untuk bentuk-bentuk krisis tertentu, termasuk ekstremisme.
“Tak akan ada ‘krisis’ dari maskulinitas tanpa norma menyimpang, toksisitas telah dikooptasi ke dalam wacana ekstremisme sebagai perangkat retoris,” kata Pearson.
Lebih lanjut, Houlis menulis, maskulinitas beracun juga bisa menyebabkan seorang lelaki “kehilangan” bantuan profesional, seperti pengobatan dokter atau psikolog. Sebab, seorang lelaki dianggap pria sejati bila bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
“Pria empat kali lebih mungkin melakukan bunuh diri daripada perempuan, mereka umumnya lebih kecil kemungkinan didiagnosis dengan gangguan seperti depresi. Hal ini, sebagian karena gangguan internalisasi tak sesuai dengan stereotip peran gender tradisional tentang emosionalitas laki-laki,” kata Houlis.
Namun, kata Houlis, maskulinitas itu sendiri sesungguhnya tak beracun. Menurut pendiri serta direktur klinis lembaga konseling dan kesehatan mental Gateway to Solutions, John Carnesecchi, seperti yang dikutip dari tulisan Houlis, maskulinitas menjadi racun ketika perilaku maskulinitas itu berbahaya dan cara mengontrol atau mengambil “kekuasaan” mereka menjadi racun.
“Toksisitas ini dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental perempuan, orang nonbiner, dan juga pria,” kata Carnesecchi, yang dikutip Houlis.
Kendati begitu, kajian terkait maskulinitas dan maskulinitas yang beracun kerap berkembang. Sosiolog asal Australia Raewyn Connell, yang sudah meneliti perihal maskulinitas sejak akhir 1970-an menyebut, maskulinitas itu tak tunggal. Dalam blognya, raewynconnell.net, Connell mengatakan, maskulinitas tak setara dengan pria. Istilah itu menyangkut posisi laki-laki dalam tatanan gender.
“Maskulinitas dapat didefinisikan sebagai pola praktik di mana orang, baik laki-laki maupun perempuan—meski sebagian besar laki-laki—terlibat dalam posisi itu,” kata Connell.
Menurut profesor kriminologi di University of New South Wales, Sydney, Michael Salter dalam tulisannya “The problem with a fight against toxic masculinity”, terbit di The Atlantic pada 27 Februari 2019, Connell menyebut, gender sebagai produk hubungan dan perilaku, bukan sebagai seperangkat identitas dan atribut yang tetap.
“Connell menggambarkan, banyak maskulinitas yang dibentuk oleh kelas, ras, budaya, seksualitas, dan faktor lainnya,” tulis Salter.
Maka dalam pandangan ini, kata Salter, standar yang digunakan untuk mendefinisikan “pria sejati” bisa bervariasi di semua waktu dan tempat. Teori dari Connell, ungkap Salter, mengungkapkan bahwa cita-cita umum maskulin, seperti rasa hormat sosial, kekuatan fisik, dan potensi seksual menjadi bermasalah saat mereka menetapkan standar yang tak bisa dicapai.
“Kegagalan dapat membuat laki-laki merasa tak aman dan cemas, yang mungkin mendorong mereka menggunakan kekuatan agar merasa dan dilihat lebih dominan,” kata Salter.
Kendati begitu, kekerasan laki-laki dalam konteks ini tak berasal dari sesuatu yang “beracun”, yang sudah merayap ke dalam sifat maskulinitas itu sendiri. Namun, tulis Salter, hal itu berasal dari pengaturan sosial dan politik pria tersebut, sebuah kekhasan yang mengatur mereka mengalami konflik batin atas harapan sosial dan hak pria.
Terlepas dari segala teori, akhirnya seluruhnya bermuara pada makna yang orang tua berikan pada tubuh biologis seorang anak. Saatnya merombak ulang definisi tentang kejantanan. Seorang laki-laki boleh kok menangis dan berkeluh kesah.