Nama Mulyono dan geng disebut-sebut Ketua DPD PDI-P Jawa Barat, Ono Surono sebagai pihak yang campur tangan menjegal langkah Anies Baswedan maju di Pilgub Jawa Barat menjelang waktu akhir pendaftaran, Kamis (29/8). PDI-P akhirnya mengusung kadernya sendiri, yakni Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja bertarung di Pilgub Jawa Barat mendatang.
Nama Mulyono pun viral di media sosial, usai ramai aksi protes terhadap rencana revisi Undang-Undang (UU) Pilkada oleh DPR dan upaya mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu.
Dihimpun dari berbagai sumber, Mulyono ternyata mengacu pada nama kecil Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Nama Mulyono diberikan ayahnya saat Jokowi lahir. Namun, karena sering sakit-sakitan, akhirnya nama Mulyono diganti menjadi Joko Widodo.
Keluarganya yang masih kental dengan adat dan budaya Jawa berpikiran, Mulyono “keberatan nama”. Mulyono sendiri memiliki arti mulia. Sedangkan Joko Widodo artinya anak laki-laki yang sejahtera.
Presiden pertama Indonesia, Sukarno pun memiliki nama kecil yang berbeda, yakni Kusno. Menurut The Syaeful Cahyadi dalam bukunya, Kisah-Kisah Abadi Sukarno (2020), pada usia 11 tahun Kusno terserang penyakit tifus. Penyakit ini membuatnya harus berbaring di tempat tidur selama berbulan-bulan.
Ayah Kusno, yakni Sukemi percaya penyakit anaknya itu bakal sembuh jika namanya diganti. Maka, setelah melakukan ritual doa berhari-hari di sebelah Kusno, Sukemi memutuskan mengganti nama anaknya itu menjadi Sukarno. Nama itu diambil dari Karno atau Adipati Karna, salah satu tokoh dalam pewayangan Mahabharata. Lalu, Sukemi menambahkan awalan “Su” di depan nama sang anak, yang artinya kebaikan.
Amirrudin, Fathu Rahman, M. Amir. P, dan Prasuri Kuswarini dari Universitas Hasanuddin dalam penelitiannya yang diterbitkan di International Journal of Religion (2024) menulis, penamaan pada masyarakat Jawa tidak hanya sebagai tanda pengenal atau identitas, tetapi juga mengandung arti tertentu agar pemilik nama itu aman dalam menjalani kehidupan. Menurut kepercayaan sebagian orang Jawa, memberikan nama yang tak pas kepada seorang anak bakal berakibat buruk, seperti sakit atau mengalami nasib sial.
“Dasar-dasar yang digunakan dalam penamaan orang Jawa, meliputi hari lahir, bulan lahir, neptu, nomor urut anak dalam kelaurga, harapan atau cita-cita orang tua, peristiwa penting, wayang, gabungan bapak dan ibu, rasul/para sahabatnya, dan Alquran,” tulis para peneliti.
Peneliti dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Udjang Pr. M. Basir, dalam tulisannya di jurnal Lokabasa (April, 2017) mengungkapkan, nama yang diberikan orang tua dalam budaya Jawa bukan asal jadi, tetapi lewat proses ritual yang bernilai magis. Jauh sebelum kelahiran anak, proses yang bernilai religius sudah dimulai, seperti selamatan kehamilan empat bulan atau ngupati dan selamatan kehamilan tujuh bulan atau mitoni/tingkeban.
Lalu, pemberian nama dilakukan pada saat anak berusia lima hari, setelah sebelumnya dilakukan ritual muyenan atau jagong bayen setiap malam. Usai hari kelima, dengan meminta pertimbangan sesepuh, misalnya ketua adat, nenek, kakek, atau orang yang dituakan lainnya, maka dilakukan diskusi untuk memberikan nama pada sang anak.
Menurut Murdijati Gardjito dan Lilly T. Erwin dalam buku Serba-serbi Tumpeng: Tumpeng dalam Kehidupan Masyarakat Jawa (2010), jika nama diduga menyebabkan anak sakit-sakitan, masyarakat Jawa sering menyebutnya dengan istilah kabotan jeneng atau ketidaksesuaian nama. Istilah lainnya, keberatan nama.
Murdijati dan Lilly menulis, jika anak mengalami hal yang tidak diharapkan karena pemberian nama yang tidak sepadan dengan status dan keadaannya, maka usaha yang paling sesuai yang bisa dilakukan untuk mengatasinya hanya dengan mengadakan “selamatan” atau upacara untuk mengganti nama si anak dengan nama baru yang lebih sesuai dan sepadan.
“Selain itu, penggantian nama juga sering dilakukan karena seseorang naik pangkat,” ujar Murdijati dan Lilly.
Tradisi mengganti nama terhadap anak yang sakit-sakitan juga dikenal di daerah lain. Misalnya di Riau. Dalam skripsi Martini Putri Duanda dari Universitas Lancang Kuning (Unilak) yang meneliti tradisi di Desa Surau Gading, Kabupaten Rokan Hulu, Riau menyebutkan, tata cara tradisi mengganti nama anak yang sakit-sakitan, antara lain menghitung lama anak sakit, melengkapi persyaratan, dan melaksanakan pengobatan.
“Saat pelaksanaan pengobatan, anak diletakkan di tengah rumah, lalu menentukan nama yang baru, membaca mantra, serta membaca doa,” tulis Martini.