Tradisi mudik lebaran, risiko urbanisasi dan warisan orde baru
Setiap tahun, masyarakat Indonesia memanfaatkan momentum idulfitri untuk mudik atau pulang ke kampung halaman. Tujuannya tak lain untuk bertemu orang tua dan keluarga.
Banyak dari pemudik yang merupakan perantau di kota-kota besar rela merogoh kocek untuk ongkos mudik. Belum lagi, waktu dan tenaga yang harus dikorbankan selama perjalanan. Mudik memang bukan sekadar tradisi, tapi juga kebutuhan.
Silsilah ‘mudik’ banyak mengundang pertentangan. Namun, terminologi ini pada dasarnya merujuk pada perjalanan pulang, menuju ke kampung halaman.
Dosen Universitas Widya Dharma Klaten Nanik Herawati dalam Lebaran menjadi Magnet untuk Mudik bagi Masyarakat Jawa yang dipublikasikan Jurnal Magistra (2015) menulis, kata ‘mudik’ berasal dari bahasa Jawa ngoko, mulih dhilik, yang berarti pulang sebentar.
Sementara, di Jakarta, tulis Nanik Herawati, istilah ‘mudik’ berurat akar dari kata ‘udik’, artinya kampung atau desa. Sehingga, secara sederhana disimpulkan, mudik adalah kembali ke kampung halaman.
“Mudik di Indonesia biasanya memang tidaklah lama, yaitu sekitar satu minggu saja. Setelah itu, mereka kembali ke kota untuk bekerja,” tulis Nanik Herawati.
Menurut Nanik Herawati, sebetulnya mudik bagi masyarakat Jawa bukan sekadar ritual pulang kampung. Saat mudik, para perantau balik ke desa juga untuk membersihkan pusara leluhurnya. Tak lupa pula mendoakan arwah mereka dengan membaca Al-Qur’an, dzikir, serta tahlil, disusul kemudian prosesi tabur bunga.
Dosen Universitas Gadjah Mada Achmad Charris Zubair punya pandangan lain. Achmad Charris dalam Mudik; Ekspresi Cinta Manusia untuk ‘Mulih’ yang dipublikasikan Jurnal Kalimatun Sawa’ (2005), menulis, kata ‘mulih’ dalam bahasa Jawa berarti pulang.
Di sisi lain, Achmad Charris juga memaknai ‘mulih’ sebagai ‘pulih’ yang berarti sembuh dari kepenatan karena perjalanan jauh usai meninggalkan kampung halaman yang jadi bagian dari masa lalunya.
Dengan demikian, Achmad Charris mengangap fenomena mudik menjelang Lebaran sebagai hasrat manusia memulihkan diri dari kerinduan terhadap asal muasalnya, dalam hal ini keluarganya.
“Air mata menetes dari orang-orang Suriname ketika menyaksikan Didi Kempot menyanyi Stasiun Balapan (dikenal sejak 1980), adalah ekspresi manusiawi yang rindu akan jejak langkah yang ditinggalkan dalam pengembaraan hidupnya yang penuh suka duka,” tulis Achmad Charris.
Pilihan angkutan mudik
Setiap tahun, ribuan warga Jakarta mudik ke kampung halamannya. Mayoritas mudik ke Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Koran Merdeka edisi 23 September 1976 menulis, pada era itu, kereta api dan bus jadi primadona selama libur Lebaran. Biasanya, sekitar dua pekan menjelang lebaran, tiket sudah dijual.
“Banyaknya orang mudik akan mencapai puncaknya seminggu lagi sebelum lebaran, seakan-akan ibukota Jakarta dikosongkan,” tulis koran Merdeka edisi 23 September 1976.
Saat puncak arus mudik, tiket kereta api dan bus segera ludes. Bahkan, seringkali momentum Lebaran dimanfaatkan calo sebagai ajang meraup keuntungan. Alhasil, stasiun dan terminal ditertibkan secara berkala.
Di sisi lain, Perusahaan Djawatan Kereta Api berupaya mengatasinya dengan menambah gerbong kereta.
Selama tahun 1976-1977, tulis koran Merdeka edisi 20 September 1976, Balai Jasa Kereta Api Manggarai di Jakarta telah memproduksi sebanyak 320 kereta api penumpang. Rencananya, akan dikeluarkan 25 kereta api per-bulan.
Selain kereta api, bus jadi andalan mudik di Lebaran selama masa Orde Baru. Bahkan, pemerintah DKI Jakarta sangat kewalahan menangani lonjakan permintaan penumpang bus.
Koran Merdeka edisi 8 September 1977 mengabarkan, pemerintah DKI Jakarta menambahkan 150 bus trayek luar kota untuk mengangkut penumpang mudik lebaran.
“Yang mudik tahun ini mencapai 1,5 juta orang dan bus yang disediakan sebanyak 1.989 buah, ditambah 150 bus lagi sebagai cadangan. Jadi, dalam satu hari terangkut 88.000 orang. Harus pas kursinya, kalaupun lebih hanya 10% saja. Kalau tahun lalu terangkut 80.000 orang/hari,” ujar A. Muis Wakil Ketua Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLRAJR).
Kenaikan tarif bus pun tak menyurutkan minat warga mudik untuk menggunakan bus. Tercatat, kenaikan tariff bus 20% untuk perjalanan 300 km, sedangkan untuk 301 km keatas akan dikenakan tambahan biayan sebesar 40%. Kenaikan tarif berlaku di seluruh terminal di DKI Jakarta.
Sementara, lonjakan penumpang bukan saja terjadi pada kereta api dan bus. Kapal Ferry pun ikut andil membawa penumpang mudik ke kampung halamannya. Kapal Ferry di selat Madura dan di selat Sunda juga sibuk hilir mudik saat Lebaran. Pelayanan kapal Ferry terus ditingkatkan.
Meski harus berebut tiket angkutan umum, pemudik tetap bersemangat untuk pulang ke daerah asal. Bagaimanapun perjuangannya, perasaan bahagia setelah mendengarkan gema takbir di kampung halaman akan segera mengobatinya.
“Di antara warga yang mudik, banyak ibu-ibu dan anak-anak. Nampaknya ibu-ibu berjuang keras untuk meraih kursi di angkutan. Mereka ingin Lebaran di Udik (desa atau kampung), di tengah-tengah orang tua mereka. Jadi, resiko ‘sekali setahun’ sudah mereka perhitungkan,” tulis koran Merdeka edisi 23 September 1976.
Setiap tahun, masyarakat Indonesia memanfaatkan momentum idulfitri untuk mudik atau pulang ke kampung halaman. Tujuannya tak lain untuk bertemu orang tua dan keluarga.
Banyak dari pemudik yang merupakan perantau di kota-kota besar rela merogoh kocek untuk ongkos mudik. Belum lagi, waktu dan tenaga yang harus dikorbankan selama perjalanan. Mudik memang bukan sekadar tradisi, tapi juga kebutuhan.
Silsilah ‘mudik’ banyak mengundang pertentangan. Namun, terminologi ini pada dasarnya merujuk pada perjalanan pulang, menuju ke kampung halaman.
Dosen Universitas Widya Dharma Klaten Nanik Herawati dalam Lebaran menjadi Magnet untuk Mudik bagi Masyarakat Jawa yang dipublikasikan Jurnal Magistra (2015) menulis, kata ‘mudik’ berasal dari bahasa Jawa ngoko, mulih dhilik, yang berarti pulang sebentar.
Sementara, di Jakarta, tulis Nanik Herawati, istilah ‘mudik’ berurat akar dari kata ‘udik’, artinya kampung atau desa. Sehingga, secara sederhana disimpulkan, mudik adalah kembali ke kampung halaman.
“Mudik di Indonesia biasanya memang tidaklah lama, yaitu sekitar satu minggu saja. Setelah itu, mereka kembali ke kota untuk bekerja,” tulis Nanik Herawati.
Menurut Nanik Herawati, sebetulnya mudik bagi masyarakat Jawa bukan sekadar ritual pulang kampung. Saat mudik, para perantau balik ke desa juga untuk membersihkan pusara leluhurnya. Tak lupa pula mendoakan arwah mereka dengan membaca Al-Qur’an, dzikir, serta tahlil, disusul kemudian prosesi tabur bunga.
Dosen Universitas Gadjah Mada Achmad Charris Zubair punya pandangan lain. Achmad Charris dalam Mudik; Ekspresi Cinta Manusia untuk ‘Mulih’ yang dipublikasikan Jurnal Kalimatun Sawa’ (2005), menulis, kata ‘mulih’ dalam bahasa Jawa berarti pulang.
Di sisi lain, Achmad Charris juga memaknai ‘mulih’ sebagai ‘pulih’ yang berarti sembuh dari kepenatan karena perjalanan jauh usai meninggalkan kampung halaman yang jadi bagian dari masa lalunya.
Dengan demikian, Achmad Charris mengangap fenomena mudik menjelang Lebaran sebagai hasrat manusia memulihkan diri dari kerinduan terhadap asal muasalnya, dalam hal ini keluarganya.
“Air mata menetes dari orang-orang Suriname ketika menyaksikan Didi Kempot menyanyi Stasiun Balapan (dikenal sejak 1980), adalah ekspresi manusiawi yang rindu akan jejak langkah yang ditinggalkan dalam pengembaraan hidupnya yang penuh suka duka,” tulis Achmad Charris.
Pilihan angkutan mudik
Setiap tahun, ribuan warga Jakarta mudik ke kampung halamannya. Mayoritas mudik ke Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Koran Merdeka edisi 23 September 1976 menulis, pada era itu, kereta api dan bus jadi primadona selama libur Lebaran. Biasanya, sekitar dua pekan menjelang lebaran, tiket sudah dijual.
“Banyaknya orang mudik akan mencapai puncaknya seminggu lagi sebelum lebaran, seakan-akan ibukota Jakarta dikosongkan,” tulis koran Merdeka edisi 23 September 1976.
Saat puncak arus mudik, tiket kereta api dan bus segera ludes. Bahkan, seringkali momentum Lebaran dimanfaatkan calo sebagai ajang meraup keuntungan. Alhasil, stasiun dan terminal ditertibkan secara berkala.
Di sisi lain, Perusahaan Djawatan Kereta Api berupaya mengatasinya dengan menambah gerbong kereta.
Selama tahun 1976-1977, tulis koran Merdeka edisi 20 September 1976, Balai Jasa Kereta Api Manggarai di Jakarta telah memproduksi sebanyak 320 kereta api penumpang. Rencananya, akan dikeluarkan 25 kereta api per-bulan.
Selain kereta api, bus jadi andalan mudik di Lebaran selama masa Orde Baru. Bahkan, pemerintah DKI Jakarta sangat kewalahan menangani lonjakan permintaan penumpang bus.
Koran Merdeka edisi 8 September 1977 mengabarkan, pemerintah DKI Jakarta menambahkan 150 bus trayek luar kota untuk mengangkut penumpang mudik lebaran.
“Yang mudik tahun ini mencapai 1,5 juta orang dan bus yang disediakan sebanyak 1.989 buah, ditambah 150 bus lagi sebagai cadangan. Jadi, dalam satu hari terangkut 88.000 orang. Harus pas kursinya, kalaupun lebih hanya 10% saja. Kalau tahun lalu terangkut 80.000 orang/hari,” ujar A. Muis Wakil Ketua Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLRAJR).
Kenaikan tarif bus pun tak menyurutkan minat warga mudik untuk menggunakan bus. Tercatat, kenaikan tariff bus 20% untuk perjalanan 300 km, sedangkan untuk 301 km keatas akan dikenakan tambahan biayan sebesar 40%. Kenaikan tarif berlaku di seluruh terminal di DKI Jakarta.
Sementara, lonjakan penumpang bukan saja terjadi pada kereta api dan bus. Kapal Ferry pun ikut andil membawa penumpang mudik ke kampung halamannya. Kapal Ferry di selat Madura dan di selat Sunda juga sibuk hilir mudik saat Lebaran. Pelayanan kapal Ferry terus ditingkatkan.
Meski harus berebut tiket angkutan umum, pemudik tetap bersemangat untuk pulang ke daerah asal. Bagaimanapun perjuangannya, perasaan bahagia setelah mendengarkan gema takbir di kampung halaman akan segera mengobatinya.
“Di antara warga yang mudik, banyak ibu-ibu dan anak-anak. Nampaknya ibu-ibu berjuang keras untuk meraih kursi di angkutan. Mereka ingin Lebaran di Udik (desa atau kampung), di tengah-tengah orang tua mereka. Jadi, resiko ‘sekali setahun’ sudah mereka perhitungkan,” tulis koran Merdeka edisi 23 September 1976.
Urbanisasi di era Orde Baru
Arus mudik dari kota-kota besar ke daerah ini ternyata buah dari fenomena urbanisasi di tanah air.
Manuelle Franck dalam Nusantara Meledak? Urbanisasi dan Dinamika Kependudukan di buku Revolusi Tak Kunjung Selesai menulis, perpindahan dari desa ke kota atau urbanisasi mengalami percepatan pada 1970-an dan memuncak pada 1980-an.
Manuelle menyebut kebijakan politik dan ekonomi Indonesia sejak 1970-an mendorong aktivitas perdagangan terpusat di kota-kota di Pulau Jawa.
“Kecenderungan di masa itu adalah memusatkan semua industri protektif di Jawa, yang beruntung bisa menikmati kedekatan pasar dan ketersediaan infrastruktur,” tulis Manuelle Franck.
Dengan demikian, warga di daerah berbondong-bondong datang ke ibukota untuk mencari penghasilan dan hidup yang layak. Akibatnya, populasi penduduk di kota-kota Jawa melonjak.
Majalah Prisma edisi Mei 1977 menyebut pemerintah kota DKI Jakarta telah gagal membendung deras arus urbanisasi. Sepanjang tahun 1970-an, geliat pendatang baru kian agresif dan menjadi momok bagi ibukota Jakarta.
Pada saat libur idulfitri, para perantau dari daerah memanfaatkan momentum untuk pulang ke kampung halamannya. Tradisi ini sudah terjadi sejak masa Orde Baru.
Mudik di negara lain
Uniknya, tradisi sejenis mudik bukan hanya ada di Indonesia, melainkan juga bisa ditemui di negara-negara lain. Meskipun, tujuan dan momentumnya agak berbeda.
Warga muslim di China yang terkonsentrasi di Xianjiang dan Yunnan, misalnya, pulang ke kampung halamannya pada libur hari raya nasional dan lebaran. Meski demikian, tradisi mudik dan perayaan hari raya paling meriah di China terjadi saat Imlek.
Serupa dengan di China, warga muslim di India juga mudik kala libur hari raya nasional. Bedanya, di India, mudik lebaran sama meriahnya dengan perayaan hari raya keagamaan lainnya.
Sementara, di Malaysia, negara tetangga dengan mayoritas penduduk muslim, mudik disebut dengan istilah ‘balik kampung’. Istilah ini berarti para perantau yang bekerja di perkotaan kembali ke kampung halamannya saat lebaran tiba.
Sebagai sesama rumpun Melayu, alasan mudik warga muslim di Malaysia juga perihal keinginan mengunjungi makam para kerabat dan bersilaturahmi ke rumah sanak saudara. Kegiatan open house pun bisa dijumpai di Malaysia.
Sementara itu, suasana berbeda bisa dijumpai di Timur Tengah dan negara-negara Afrika yang dekat dengan budaya Arab. Momentum lebaran di sana sangat ekslusif dan dijadikan momen berkumpul dengan keluarga besar.
Tuan rumah menyiapkan banyak sajian, hidangan, dan pesta meriah. Tak lupa, mereka mendekorasi rumahnya agar elok dipandang.