Renovasi Gedung Sarinah telah berjalan. Nantinya kawasan Sarinah diproyeksikan sebagai gedung pintar dan hijau. Lokasi Sarinah yang strategis di pusat ibu kota, menjadikan Sarinah tempat yang cocok sebagai cagar budaya, tempat masyarakat berkumpul dan berkesenian.
“Sarinah menjadi salah satu pembentukan national building oleh presiden pada 1962. Ia saat itu membangun stadion GBK (Gelora Bung Karno), Hotel Indonesia, termasuk juga Gedung Sarinah ini,” kata Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta Mundardjito, melalui webinar ‘Renovasi Gedung Sarinah dalam Perspektif Pelestarian Cagar Budaya’ pada Kamis (25/6).
Gedung Sarinah telah beberapa kali mengalami renovasi dengan penekanan yang berbeda-beda. Pada 1931 renovasi menekankan pada aspek akademik. Pada 1992 menekankan pada akademik dan ideologi bangsa. Kemudian pada 2010 menekankan akademik, ideologi bangsa, dan kepentingan publik.
Hal itu dilakukan karena untuk melestarikan cagar budaya harus memerhatikan tiga hal, yakni pelindungan, pelestarian, dan pengembangan. Pelestarian tersebut juga harus memerhatikan kode etik pelestarian.
Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi B Bidang Perekonomian Gilbert Simanjuntak menegaskan, pemugaran cagar budaya juga harus memerhatikan zona-zona tertentu yang harus dijaga autentisitasnya. Renovasi atau revitalisasi terhadap objek vital nasional tidak bisa sembarang dilakukan dan harus memerhatikan etika.
“Etika dalam pembangunan cagar budaya sangat penting dirumuskan sehingga menjadi kerangka acuan sebagai warisan dari sesepuh untuk jadi panduan ke depan, bukan sesuai saran-saran pribadi atau kepentingan kelompoknya. Ini yang saya cemaskan,” katanya.
Ia mengharapkan, masyarakat tetap terlibat dalam proses renovasi cagar budaya agar pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi lebih komprehensif.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir, menyampaikan, banyak hal yang harus dibenahi oleh Sarinah). Pembaharuan perlu dilakukan untuk dapat tetap bersaing, namun dengan tidak meninggalkan nilai sejarah dari Sarinah itu sendiri.
“Sarinah sebuah project yang diciptakan Soekarno yang luar biasa," ujar Erick Thohir dalam keterangan tertulisnya.
Renovasi Gedung Sarinah bukan hanya sekedar pembaruan dan penyegaran namun juga sebuah perwujudan sejarah perdagangan ritel Indonesia yang lahir dari cita-cita luhur para pendiri bangsa ini. Filosofi Soekarno sangat mendalam, ia bercermin dari pengasuhnya. “Sarinah telah mengajari saya, mendidik saya untuk mengerti bahwa segala sesuatu di negeri ini tergantung rakyat kecil.”
Transformasi Sarinah pada intinya adalah kembali ke khitahnya dengan tetap menjaga keutuhan warisan para pendiri bangsa namun dengan kemasan dan eksistensi kekinian dan yang menjanjikan pertumbuhan usaha berkelanjutan di masa depan.
Untuk diketahui, Sarinah sebagai department store modern pertama Indonesia bahkan di Asia Tenggara didirikan pada 1962 dan beroperasi 1966. Nama Sarinah diabadikan dari nama pengasuh setia Proklamator RI Bung Karno yang memiliki bakat menyulam dan mewakili berjuta rakyat Indonesia yang terampil dalam home industri kreatif.
Pendirian Gedung Sarinah sebagai retail store modern pertama tersebut, dilandasi atas semangat kebangsaan dan kepedulian Bung Karno terhadap home industry. Pembangunan yang terletak di pusat kota Jakarta, bersamaan waktunya dengan pembangunan Gedung Gelora Bung Karno (GBK), Semanggi, Monas dan mahakarya lainnya, merupakan proyek mercusuar yang manfaatnya terus dirasakan hingga kini, meskipun Bung Karno telah tiada.