close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga./Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga./Foto Freepik.
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 20 Agustus 2024 06:05

Trauma bonding: Alasan seseorang terjebak hubungan KDRT

Korban KDRT yang memaafkan pelaku disebut terjebak dalam trauma bonding atau ikatan trauma.
swipe

Selebgram sekaligus mantan atlet anggar Cut Intan Nabila membantah isu bakal mencabut laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Armor Toreador. Dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu (18/8), Cut Intan mengatakan suaminya perlu mempertanggung jawabkan perbuatan yang sudah dilakukan selama lima tahun hingga membuatnya menderita selama menjalani pernikahan.

Seperti diketahui, Armor ditangkap polisi di sebuah hotel di bilangan Jakarta Selatan pada Selasa (13/8), beberapa jam usai video kekerasan yang dilakukan terhadap Cut Intan dan bayinya viral di media sosial.

Sayangnya, tak semua korban KDRT yang bisa bersikap seperti Cut Intan. Ada pula yang memaafkan pelaku.

Korban KDRT yang memaafkan pelaku disebut terjebak dalam trauma bonding atau ikatan trauma. Menurut Psychology Today, trauma bonding adalah ikatan emosional yang terbentuk dalam hubungan yang penuh kekerasan, terutama ikatan yang dirasakan korban terhadap pelaku.

Dilansir dari Verywell Mind, istilah trauma bonding diciptakan seorang spesialis terapi kecanduan dan pendiri International Institute for Trauma and Addiction Professionals (IITAP) Patrick Carnes pada 1997. Dia membagikan teori trauma bonding dalam presentasi bertajuk “Trauma Bonds, Why People Bond to They That Hurt Them”.

Carnes mendefinisikan ikatan trauma sebagai keterikatan disfungsional yang terjadi saat ada bahaya, rasa malu, atau eksploitasi, serta menganggapnya sebagai salah satu dari sembilan kemungkinan reaksi terhadap situasi traumatis.

Dia menduga, trauma bonding terjadi karena cara otak kita menangani trauma dan cara-cara ini didasarkan pada langkah kita yang harus beradaptasi ketika perlu bertahan hidup. Dia menemukan dua aspek terpenting dari trauma, yakni bagaimana orang merespons tingkat keparahannya dan berapa lama trauma tersebut berlangsung.

Psikolog spesialis penyembuhan trauma, Ivy Kwong LMFT dalam Verywell Mind menyebut, ikatan trauma berkembang dalam hubungan yang terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan siklus penghargaan atau hukuman. Pelaku berada dalam posisi berkuasa atau orang yang dianiaya, dan bergantian antara menyakiti serta menenangkan korban.

Healthline menulis, meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan tidak semudah meninggalkan rumah. Sebab, kerap dibayangi kekhawatiran tentang mencari tempat tinggal, menghidupi diri sendiri, atau dilarang bertemu dengan anak.

“Banyak hubungan yang penuh kekerasan dimulai dengan curahan kasih sayang dan jaminan cinta,” tulis Healthline.

“Upaya memanipulasi ini sering kali berhasil karena Anda mengingat masa-masa awal hubungan dan yakin mereka bisa menjadi orang yang sama lagi.”

Dilansir dari Psychology Today, salah satu alasan mengapa seseorang sulit meninggalkan hubungan penuh kekerasan tersebut karena adanya penguatan yang terputus-putus. Siklus ikatan trauma mencakup kekerasan yang berulang, dengan momen-momen sesekali korban “dicintai” atau “diselamatkan”.

“Otak mungkin akan melekat pada pengalaman positif berupa rasa aman dan berusaha untuk mencapainya lagi selama siklus kekerasan berikutnya,” tulis Psychology Today.

Situasi lainnya terjadi lantaran ada pembekuan respons. Menurut Healthline, ketika seseorang menghadapi kekerasan atau takut akan terjadi kekerasan di masa depan, otak mengenali tekanan yang akan terjadi dan mengirimkan peringatan ke seluruh tubuh. Adrenalin dan hormon stres atau kortisol meningkat, menambah naluri bertahan hidup dan memicu ketegangan emosional dan fisik.

Ketika pikiran tentang kekerasan menjadi terlalu menyakitkan, seseorang memilih untuk fokus pada bagian positif dari hubungan. Jika sudah begini, seseorang mungkin membuat alasan dengan membenarkan atau merasionalisasi kebutuhannya untuk tetap tinggal dengan pelaku.

Hormon juga berperan dalam trauma bonding. Permintaan maaf atau kasih sayang fisik yang diberikan pelaku kekerasan berfungsi sebagai sebagai hadiah yang membantu memperkuat rasa lega dan memicu pelepasan hormon dopamin. Kasih sayang atau keintiman fisik pun memicu pelepasan oksitosin—hormon perasaan senang lainnya yang dapat semakin memperkuat ikatan.

Seseorang yang memiliki riwayat trauma di masa kanak-kanak pun dapat mengalami kesulitan memutuskan ikatan trauma.

Verywell Mind mencatat tanda-tanda trauma bonding, antara lain korban menutupi atau membuat alasan kepada orang lain atas perilaku pelaku; korban berbohong kepada teman atau keluarganya tentang kekerasan; korban tidak merasa nyaman atau tidak mampu meninggalkan situasi kekerasan; korban menganggap kekerasan itu adalah kesalahannya; kekerasan mengikuti sebuah siklus; pelaku kekerasan berjanji mereka akan berubah, tetapi mereka tak pernah melakukannya; pelaku mengontrol korban; pelaku mengisolasi korban dari teman dan kelaurga; pelaku mendapatkan teman dan keluarga yang mendukungnya; serta korban terus mempercayai pelaku.

Beberapa hal yang membuat seseorang lebih rentan mengalami trauma bonding dalam hubungan yang penuh kekerasan, menurut Verywell Health, antara lain ketidakamanan keterikatan, penganiayaan masa kecil, paparan hubungan yang penuh kekerasan saat tumbuh dewasa, kurangnya dukungan sosial, dan rendah diri.

Healthline mengingatkan, ikatan trauma bisa bertahan lama. Seseorang kemungkinan bakal sulit untk berhenti memikirkan pelaku yang menyakitinya dan merasakan dorongan untuk menghubunginya kembali.

Padahal, ada dampak buruk dari trauma bonding. Salah satunya, perasaan positif yang dikembangkan pada pelaku kekerasan dapat membuat seseorang tetap berada dalam situasi kekerasan. Hal ini bisa menyebabkan kekerasan yang berulang, bahkan paling fatal adalah kematian.

Seseorang yang terikat dalam ikatan trauma, disebut Verywell Health, bakal berdampak terhadap trauma dan perasaan harga diri yang rendah terus menerus, bahkan berlanjut enam bulan setelah berpisah dari pelaku kekerasan. Selain itu, bisa mengakibatkan depresi dan gangguan kecemasan.

“Orang yang dianiaya mungkin merasakan perasaan yang saling bertentangan, seperti malu, cinta, menyalahkan diri sendiri, teror, lega, cemas, bersyukur, dan takut terhadap pelakunya,” ujar Kwong kepada Verywell Health.

“Mereka sering kali merasa bertanggung jawab atas perasaan orang yang menyakitinya dan mungkin mencoba untuk melakukannya terus menerus menyenangkan atau menenangkan pelaku.”

Menurut Healthline, untuk memutuskan trauma bonding, pertama-tama seseorang perlu mengenali keberadaan ikatan trauma itu. Caranya, menemukan bukti kekerasan dan mengenali tanda-tanda trauma bonding, dengan menulis hal-hal yang terjadi setiap hari dan mengidentifikasi masalah perilaku, mencari perspektif, dan berbicara dengan orang-orang terdekat.

Lalu, menghindari menyalahkan diri sendiri. Mempercayai diri sendiri sebagai penyebab kekerasan bakal mempersulit seseorang untuk menggunakan otonomi diri sendiri. Kemudian, memutuskan kontak sepenuhnya dengan pelaku.

“Dengan mengakui keberadaannya dan terbuka untuk memutus siklus tersebut, seseorang mengambil langkah maju yang berani menuju penyembuhan dan kebebasan,” ujar Kwong dalam Verywell Health.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan