Tren barbershop dan gaya rambut masa kini
Sore itu, hanya ada empat pemangkas rambut yang tengah menunggu pelanggan, saat saya tiba di Big Boys Barbershop—salah satu salon di bilangan Tebet, Jakata Selatan. Ruangan di dalam barbershop itu tak terlalu luas, hanya sekitar 3x8, dengan dekorasi cat berwarna hitam.
Ada tiga bangku busa lebar berlapis kulit imitasi menghadap cermin besar, dan sebuah meja panjang tempat segala alat cukur. AC yang ada di ruangan itu, membuat suasana terasa sejuk.
“Mau model rambut kayak gimana?” tanya Ari, salah seorang pemangkas yang bekerja di sana.
Ari sudah menjadi tukang pangkas rambut sejak 2000-an. “Dulu kalau kerja sebagai tukang pangkas gini, suram,” katanya.
Sekarang, dia bersyukur. Tren barbershop alias tempat cukur cowok menjamur di berbagai kota besar. Hal itu ikut menaikan pamor para pemangkas rambut seperti Ari.
Tren barbershop
Pada 1990-an, masih sering dijumpai tukang cukur yang keliling membawa kursi lipat dan tas berisi peralatan pemangkas rambut. Tukang cukur yang mangkal di sudut-sudut jalan pun, atau yang diistilahkan tukang cukur DPR alias “di bawah pohon rindang” masih bisa ditemui.
Saat ini, tukang cukur seperti itu sudah tak ditemui lagi di kota besar seperti Jakarta. Kalau pun ada, hanya satu-dua saja di pinggiran kota. Sementara, salon pria yang dikenal dengan istilah barbershop makin jaya.
Menurut penata rambut profesional sekaligus pemilik jaringan bisnis salon rambut dan kecantikan, Rudy Hadisuwarno, naiknya tren barbershop di Indonesia tumbuh seiring perkembangan barbershop di negara-negara Eropa.
“Sejak tiga tahun belakangan, tren barbershop telah menggeser posisi salon dan tukang cukur tradisional,” kata Rudy saat dihubungi, Kamis (7/2).
Dia mengatakan, bercukur di barbershop bagi kaum pria sudah menjadi bagian dari gaya hidup. “Lagian kan salon bukan tempat cukur khusus pria ya, dan kalau tukang cukur tradisional mereka tidak melayani creambath dan keramas,” kata Rudy.
Tukang cukur tradisional pun dinilai kurang profesional. Mereka rata-rata mendapatkan keahlian mencukur secara otodidak. Berbeda dengan pemangkas di barbershop, yang mendapat keahlian dari pelatihan atau kursus.
“Selain itu, potongan di barbershop hasilnya lebih tegas jika dilihat dari garis-garis potongannya, dibandingkan dengan salon dan tukang cukur tradisional,” ujar Rudy.
Barbershop, terang Rudy, lebih mencerminkan anak muda, karena pemangkasnya bukan lagi bapak-bapak, seperti di tukang cukur tradisional. Pemangkasnya kebanyakan digawangi anak-anak muda.
Selain itu, menurut Rudy, dekorasi dan suasana yang ditampilkan dalam desain barbershop lebih kekinian, sesuai dengan jiwa anak muda masa kini.
Sore itu, hanya ada empat pemangkas rambut yang tengah menunggu pelanggan, saat saya tiba di Big Boys Barbershop—salah satu salon di bilangan Tebet, Jakata Selatan. Ruangan di dalam barbershop itu tak terlalu luas, hanya sekitar 3x8, dengan dekorasi cat berwarna hitam.
Ada tiga bangku busa lebar berlapis kulit imitasi menghadap cermin besar, dan sebuah meja panjang tempat segala alat cukur. AC yang ada di ruangan itu, membuat suasana terasa sejuk.
“Mau model rambut kayak gimana?” tanya Ari, salah seorang pemangkas yang bekerja di sana.
Ari sudah menjadi tukang pangkas rambut sejak 2000-an. “Dulu kalau kerja sebagai tukang pangkas gini, suram,” katanya.
Sekarang, dia bersyukur. Tren barbershop alias tempat cukur cowok menjamur di berbagai kota besar. Hal itu ikut menaikan pamor para pemangkas rambut seperti Ari.
Tren barbershop
Pada 1990-an, masih sering dijumpai tukang cukur yang keliling membawa kursi lipat dan tas berisi peralatan pemangkas rambut. Tukang cukur yang mangkal di sudut-sudut jalan pun, atau yang diistilahkan tukang cukur DPR alias “di bawah pohon rindang” masih bisa ditemui.
Saat ini, tukang cukur seperti itu sudah tak ditemui lagi di kota besar seperti Jakarta. Kalau pun ada, hanya satu-dua saja di pinggiran kota. Sementara, salon pria yang dikenal dengan istilah barbershop makin jaya.
Menurut penata rambut profesional sekaligus pemilik jaringan bisnis salon rambut dan kecantikan, Rudy Hadisuwarno, naiknya tren barbershop di Indonesia tumbuh seiring perkembangan barbershop di negara-negara Eropa.
“Sejak tiga tahun belakangan, tren barbershop telah menggeser posisi salon dan tukang cukur tradisional,” kata Rudy saat dihubungi, Kamis (7/2).
Dia mengatakan, bercukur di barbershop bagi kaum pria sudah menjadi bagian dari gaya hidup. “Lagian kan salon bukan tempat cukur khusus pria ya, dan kalau tukang cukur tradisional mereka tidak melayani creambath dan keramas,” kata Rudy.
Tukang cukur tradisional pun dinilai kurang profesional. Mereka rata-rata mendapatkan keahlian mencukur secara otodidak. Berbeda dengan pemangkas di barbershop, yang mendapat keahlian dari pelatihan atau kursus.
“Selain itu, potongan di barbershop hasilnya lebih tegas jika dilihat dari garis-garis potongannya, dibandingkan dengan salon dan tukang cukur tradisional,” ujar Rudy.
Barbershop, terang Rudy, lebih mencerminkan anak muda, karena pemangkasnya bukan lagi bapak-bapak, seperti di tukang cukur tradisional. Pemangkasnya kebanyakan digawangi anak-anak muda.
Selain itu, menurut Rudy, dekorasi dan suasana yang ditampilkan dalam desain barbershop lebih kekinian, sesuai dengan jiwa anak muda masa kini.
Gaya rambut
Ari mengisahkan tentang pelanggannya yang sebagian besar karyawan kantoran dan mahasiswa. Biasanya bila mau merapikan rambut pelanggan, Ari menanyakan dulu profesi si pelanggan.
Model rambut, meski terkesan remeh, punya arti tersendiri bagi pelanggan. Pelanggan ingin tampil beda, usai memotong rambutnya di barbershop.
Menurut pemilik salon Gorjes, Nurika Effendi, tak semua contoh model rambut sesuai dengan keinginan pelanggan. Kata Nurika, selain profesi, bentuk wajah menentukan pula model rambut apa yang cocok. Nurika menjelaskan, selain profesi, bentuk wajah juga menentukan model rambut apa yang cocok bagi pelanggan.
“Kadang saya nanya gini ke mereka, coba bayangkan wajah kamu yang berada di foto itu, kira-kira cocok enggak dengan kamu model yang begitu?” kata Nurika saat dihubungi, Rabu (30/1).
Lebih lanjut, Nurika mengatakan, model potongan rambut yang banyak dilihat sekarang, hanya pengulangan dari model-model rambut yang sudah ada sebelumnya. Menurut dia, kembali trennya model rambut yang ada sebelumnya, akibat pengaruh dari artis atau influencer yang kebetulan memengaruhi penggemarnya.
Dia melanjutkan, potongan rambut undercut, buzzcut, dan man bun, yang kini tren, menurut dia merupakan model-model rambut yang sudah tak asing lagi baginya.
“Untuk saya yang lama berkecimpung di dunia salon, gaya rambut seperti itu sebenarnya gaya potongan lama,” ujarnya.
Sementara itu, Rudy Hadisuwarno mengatakan, gaya klasik akan kembali mewarnai tren model rambut pria tahun ini. Rudy pun menyebut, model rambut undercut, dengan sisi-sisi terpangkas tipis, seperti yang tren pada 2018, akan tergeser dengan model jambul.
“Kalau dilihat dari tren yang sekarang berkembang di Eropa dan Amerika, di tahun ini Indonesia juga akan mengikuti model yang sama. Model klasik dengan sedikit berjambul,” ujar Rudy.
Model rambut seperti itu, kata Rudy, merupakan model potongan dengan pinggiran yang tak terlalu tipis, dan menyisakan rambut yang panjang di atas kepala, sedikit berjambul.
“Potongan begini mengesankan tipe pria yang macho dan seksi,” katanya.
Selain itu, model rambut mandarin, yang sempat ramai di Indonesia pertengahan 1990-an, menurutnya, akan berpotensi kembali populer pada 2019. Berbeda dengan perempuan, kata Rudy, laki-laki lebih sulit untuk berganti model rambut. Oleh karena itu, model rambut laki-laki bergerak tak terlalu drastis dari model yang sudah ada.
Menurut Rudy, Eropa dan Amerika merupakan tren acuan untuk fesyen di dunia. Perkembangan model rambut yang biasanya ramai di negara-negara yang ada di benua itu, kata dia, akan pula diikuti warga negara-negara di belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia.
“Kita kan enggak mungkin berdiri sendiri. Jadi, selalu mengikuti model tren yang ada di dunia, kecuali Korea ya, itu mungkin beda sendiri,” katanya.