Tuah cabai dan bawang merah sang pawang hujan
Sejak dahulu, pawang hujan sudah dikenal di Indonesia—meski belum ada penelitian kapan tepatnya mereka eksis. Walau begitu, mereka bekerja di belakang layar, sehingga tak banyak orang mengenal.
Pawang hujan Rara Istiati Wulandari yang tiba-tiba terkenal adalah pengecualian. Tak seperti pawang hujan lain, dalam menghalau hujan deras yang mengguyur Sirkuit Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu (20/3) siang, Rara tampil di muka. Ia berjalan di lintasan sirkuit, membawa cawan kuningan dan hio di tangannya.
Rara ditugaskan menghalau hujan agar balapan MotoGP 2022 terlaksana, walau ngaret dari jadwal yang telah ditetapkan. Entah kebetulan atau tidak, hujan reda tak lama setelah Rara melakukan ritual.
Even internasional itu mengerek nama Rara. Media asing menyoroti aksinya. Kekuatan jagat media sosial ikut membuat ia viral.
Disewa berbagai even
Kisah Rara cuma satu dari sekian banyak jasa pawang hujan dalam even besar di negeri ini. Semisal pawang hujan yang disewa demi kelancaran pertandingan tinju antara juara kelas berat asal Amerika Serikat Muhammad Ali melawan petinju Belanda, Rudi Lubbers di Stadion Senayan, Jakarta, pada 20 Oktober 1973.
Kala itu, promotor tinju Sumantri sempat ketar-ketir karena sehari sebelum adu jotos di atas ring, Pusat Meteorologi dan Geofisika—sekarang Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)—meramalkan Jakarta akan diguyur hujan lokal.
Pertarungan yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu dikhawatirkan sepi penonton lantaran hujan. Untuk mengantisipasinya, Sumantri mendatangkan empat pawang, berasal dari Aceh, Banten, Jawa Timur, dan Maluku.
“Siapa yang akan menang dalam pertarungan antara ramalan ilmiah dan ramalan bawang-cabai nanti, tidak perlu diperdebatkan,” tulis Kompas, 20 Oktober 1973.
“Lebih baik para penonton berangkat dari rumah sambil menjinjing payung dan jas hujan.”
Menurut Kompas edisi 26 Mei 1977, konon PSSI juga meminta bantuan pawang hujan setiap mengadakan pertandingan. Tujuannya, agar sewaktu laga sepak bola dilakukan, hujan tak turun karena bisa mengakibatkan penonton sedikit dan pertandingan terganggu.
Bahkan, acara terkait politik tak jarang pula menggunakan pawang hujan. Misalnya, dimanfaatkan partai politik dalam kampanye. Salah satu contohnya, kampanye Golkar di Jakarta menjelang Pemilu 1982.
“Kita berusaha. Usaha itu kan boleh memakai pawang,” kata Ketua DPD tingkat I Golkar DKI Jakarta Achmadi dalam Sinar Harapan, 2 April 1982.
Panitia peringatan 25 tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1980, yang cemas hujan turun kala upacara, juga menyewa pawang hujan. Saat itu, bahkan didatangkan tujuh pawang. Usaha itu tak sepenuhnya berhasil.
“Ketika acara berjalan, memang ada sedikit turun hujan, tapi hujan yang lembut sehingga tak memaksa penonton lari tunggang-langgang,” tulis Tempo, 17 Mei 1980.
Ternyata pawang hujan bisa pula diperintahkan untuk menurunkan air dari langit. Hal itu dilakukan lima paranormal, seperti Ki Joko Bodo, Sunarto, Teguh Hudiono, Nyoman Sukadana, dan Nurul, yang konon disewa menurunkan hujan di Jakarta ketika berlangsung demonstrasi ribuan buruh pada 1 Mei 2006.
Menurut Purwanto, Bagja Hidayat, dan Yuliawati dalam Tempo edisi 8 Mei 2006, tujuan menurunkan hujan agar unjuk rasa berhenti dan tak merusak. Dengan segala ritual selama seminggu sebelum demonstrasi dan menanam sesajen di empat penjuru lokasi aksi, hujan berhasil turun deras.
Diduga, lima paranormal itu disewa pemerintah. Namun, Wapres Jusuf Kalla membantahnya dalam sebuah keterangan pers.
“Saya belum pernah mendengar ada pawang minta hujan, karena pawang tugasnya mengusir hujan,” kata Kalla, dikutip dari Tempo, 8 Mei 2006.
Tak selamanya pawang hujan berhasil melaksanakan tugasnya. Pada kompetisi sepak bola Divisi Utama 1986 misalnya, lima pawang hujan yang dikerahkan di Stasion Gelora 10 November, Surabaya, gagal menolak jatuhnya air dari langit.
“Pawang terakhir didatangkan panitia dari Madura, dan memasang tumbal penolak di ujung tiang bendera dalam stadion,” tulis Kompas, 1 Februari 1986.
Pawang hujan juga ada yang meregang nyawa saat ritual. Salah satunya menimpa seorang pawang di Dukuh Gayasan, Jember, Jawa Timur bernama Damian.
Dikutip dari Tempo, Damian tersambar geledek saat mengacung-acungkan kerisnya ke langit di depan rumahnya untuk mengusir hujan dan petir pada akhir November 1988.
“Dengan tubuh hangus terbakar, kopiahnya mencelat sejauh lima meter,” tulis Tempo, 24 Desember 1988.
Mistik vs logika
Lazimnya, hujan ditolak saat menghelat pesta pernikahan. Antropolog asal Amerika Serikat Clifford James Geertz yang meneliti perilaku dan tradisi mistik masyarakat di Mojokuto—bukan nama wilayah sebenarnya, kemungkinan Pare, Jawa Timur—pada 1950-an, menulis ada beragam slametan di sana. Salah satunya slametan menolak atau meminta hujan.
“Ada berbagai macam dukun,” tulis Geertz dalam Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (2013).
“Salah satunya dukun siwer, yang ahli mencegah kesialan alami, seperti mencegah hujan ketika orang sedang mengadakan pesta besar.”
Antropolog Tan Soe Lien atau James Danandjaja, dalam buku Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (1997) menulis, orang Indonesia percaya takhayul terkait alam semesta. Salah satunya soal cuaca. Maka, ada beragam ritual yang dilakukan untuk menolak hujan.
“Di Jakarta, di antara orang Betawi keturunan Tionghoa ada kebiasaan untuk menusukkan sebutir bawang merah dan cabai merah pada tusuk sate, yang kemudian ditancapkan pada pagar rumah,” tulis James.
Sedangkan orang Jawa Timur keturunan Tionghoa yang akan menggelar pesta pernikahan, menurut James, mencegah datangnya hujan dengan cara melarang calon mempelai mandi sejak hari sebelumnya.
Dosen Fakultas Ushuluddin, Dakwah, dan Adab, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, Eneng Purwanti dalam tulisannya “Tradisi Nyarang Hujan Masyarakat Muslim Banten (Studi di Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang)” menyebut, ada beragam cara dan syarat pawang hujan melakukan ritual, di antaranya ada pawang yang mensyaratkan beberapa kaleng bir untuk minum makhluk halus penggeser hujan, ada pawang yang merapal mantra dan meminta keluarga mengucapkannya, serta ada pawang yang membalikkan sapu lidi, serta ditancapkan bawang merah dan cabai merah.
Biasanya, bawang merah, cabai merah, dan sapu lidi menjadi tiga benda yang kerap ada dalam ritual mengusir hujan. Menurut Kurniadi Adha dalam “Kepercayaan Masyarakat terhadap Ritual Memindahkan Hujan di Desa Tualang, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak” yang terbit di Jurnal Online Mahasiswa (JOM) FISIP, Juli-Desember 2018, cabai merah dan bawang merah yang punya sifat pedas dan panas, dipercaya bisa membuat hujan takut turun.
“Sapu lidi digunakan oleh sang pawang hujan dengan maksud dipercayai sebagai pembersih, maka diharapkan mendung yang ada di langit akan bersih dan awan kembali cerah,” tulis Kurniadi.
Sangat jelas keberadaan pawang hujan yang eksis di ranah metafisika, bertolak belakang dengan ilmu fisika—yang ilmiah dan berbasis logika. Akan tetapi, keberadaan pawang hujan pernah membuat penasaran orang-orang yang berpikiran logis.
Pada 1977, dua pawang hujan diundang dalam seminar Meteorologi Antariksa yang diadakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Para ahli meteorologi dari berbagai jawatan, seperti PMG, Angkatan Udara RI (AURI), dan Angkatan Laut RI (ALRI) penasaran dengan ilmu yang dimiliki pawang hujan.
“Tentu mereka punya dasar atas observasi terhadap awan-awan, sehingga berani mengatakan hari akan hujan atau tidak,” kata ketua panitia seminar sekaligus Kepala Proyek Pemanfaatan Satelit Observasi Lingkungan dan Cuaca LAPAN, Arief Sulo, seperti dikutip dari Kompas, 26 Mei 1977.
Arief percaya, pawang hujan punya cara menahan hujan dengan kekuatan semacam telepati. “Rahasia ini yang ingin diketahui,” ujar Arief.
Rencananya, dari hasil seminar itu, metode ramalan para pawang hujan akan digabungkan dengan data permukaan bumi yang dikumpulkan PMG, data dari angkasa lewat balon, pesawat udara, dan roket, serta data dari antariksa lewat satelit.
“Semua data yang ada itu, akan digabungkan menjadi suatu sistem untuk mendapatkan suatu ramalan cuaca yang lebih tepat,” tulis Kompas.
Sayangnya, entah karena ilmunya bakal diketahui atau alasan lain, dua pawang hujan yang diundang itu tak datang. Rahasia mereka pun tak jadi terbongkar.
Wartawan Ninuk M Pambudy dan Lusiana Indriasari dalam “Soal Hujan: Itu Wilayah Metafisika” yang terbit di Kompas, 25 Januari 2009, pernah menanyakan perihal cara kerja pawang hujan kepada Kepala Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Handoko.
Handoko pun kesulitan menjelaskan secara ilmiah. Perkaranya, tulis Ninuk dan Lusiana, setiap milimeter curah hujan pada luasan satu hektare berbobot 10 ton.
"Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana satu orang bisa menahan bobot sebesar itu," kata Handoko dalam Kompas, 25 Januari 2009.
Sementara narasumber lainnya, yakni Kepala Subbidang Informasi Meteorologi Publik BMKG Kukuh Ribudiyanto menjelaskan, secara ilmiah hujan bisa dipercepat turunnya lewat hujan buatan atau dibatalkan dengan metode membubarkan awan.
“Dengan penalaran ilmiah, artinya seorang pawang hujan harus memiliki energi sangat besar, bisa berupa tiupan angin yang membubarkan awan atau energi panas yang sangat besar untuk menguapkan titik air di awan,” tulis Ninuk dan Lusiana.