Tukang cukur asli Garut: Eksis karena eksodus konflik DI/TII
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Budi Hermawan alias Beni, yang bekerja sebagai tukang cukur rambut Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe. Budi diperiksa sebagai saksi untuk mendalami terkait aliran uang tersangka suap proyek pembangunan infrastruktur Provinsi Papua, yang menyeret Lukas.
Profesi tukang cukur sudah ada sejak lama di Indonesia. Laporan seorang tentara pengelana, yang ditulis ulang mantan tentara yang jadi jurnalis H.C.C. Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2003) menyebut, tukang cukur Tionghoa sudah menjajakan jasa di bawah pohon di daerah Pasar Senen, Batavia pada 1900-an.
“Seorang tukang cukur rambut Tionghoa sibuk memangkas para jongos perwira dan pembantu rumah tangga,” tulis H.C.C. Clockener Brousson.
“Tukang cukur itu bukan saja cepat dan pandai mencukur, dengan bermacam peralatan ia mengerjakan (membersihkan) telinga, bagian mata, lubang hidung orang yang datang bercukur.”
Dari orang Tionghoa hingga Madura
Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1985), penulis Haryoto Kunto mengatakan, tahun 1844 orang-orang Tionghoa di Bandung dikenal dengan profesi pemangkas rambut dan pengorek kotoran telinga, dengan alat yang disebut kili-kili.
“Orang Jepang juga punya toko pangkas rambut di alun-alun Bandung pada 1932, misal Toko Tjijoda, Nanko, dan Toyama,” tulis Haryoto.
Karena penampilan necis dengan rambut rapi menjadi kebutuhan, beberapa orang Eropa pun ada yang membuka usaha cukur. Hanya saja, terbatas untuk para pejabat Belanda dan Eropa.
“Mereka bekerja di hotel-hotel. Misalnya, salon rambut di Grand Hotel Java pada 1910-an,” tulis Moch. Khozin di buku Sketsa Tukang Cukur di Indonesia Pada Masa Kolonial (2020).
Eksis pula tukang cukur Madura. Orang-orang Madura yang memilih profesi sebagai tukang cukur pada masa kolonial merupakan mereka yang meninggalkan kampung halamannya. Lalu, menyebar ke beberapa kota di Jawa Timur, Batavia, Yogyakarta, bahkan Kalimantan.
Mulanya, menurut pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Muh. Syamsuddin dalam “Agama, Migrasi, dan Orang Madura” di Jurnal Aplikasia, Desember 2007, orang Madura eksodus dari daerahnya karena perang antara Trunojoyo melawan Amangkurat II yang didukung VOC pada 1677-1680.
Raden Trunojoyo adalah seorang bangsawan Madura. Menurut sejarawan R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (2003), tahun 1674 Trunojoyo memimpin pemberontakan terhadap Raja Mataram Amangkurat I. Ibu Kota Mataram, Keraton Plered berhasil direbut pada 1677.
Amangkurat I dan putra sulungnya, Amangkurat II lalu melarikan diri. Saat dalam perjalanan ke Batavia meminta bantuan VOC, Amangkurat I meninggal di Tegal. Kemudian, Amangkurat II naik takhta menjadi Raja Mataram.
Amangkurat II berhasil bersekutu dengan VOC, setelah menyetujui sejumlah syarat. Trunojoyo berhasil ditangkap pada 1679 di dekat Ngantang, Malang. Theodore G. Th. Pigeaud dan H.J. de Graaf dalam Islamic States in Java 1500-1700 (1976) menulis, Trunojoyo ditikam Amangkurat II ketika melakukan kunjungan ke kediaman bangsawan di desa Payak, Jawa Timur pada awal 1680.
Karena kalah perang, banyak pengikut Trunojoyo asal Madura tak kembali ke kampung halamannya. Di samping itu, kondisi sawah-sawah di Madura yang berada di bawah hasil panen Pulau Jawa, menyebabkan mobilitas penduduk untuk mencari peruntungan baru.
“Sebagai kaum migran, kebanyakan dari mereka bekerja di sektor-sektor informal, misalnya sebagai penjual sate, soto, tukang cukur, jual beli besi tua dan lain sebagainya,” tulis Syamsuddin.
Lazimnya—tak seperti orang Jepang dan Eropa—pada awal abad ke-20 orang Madura membuka usaha cukur rambut di tepi jalan dan di bawah pohon. “Kebanyakan di Surabaya karena secara geografis sangat dekat,” tulis Moch. Khozin.
Di masa kolonial, tukang cukur dari Garut, Jawa Barat belum terlihat dominan. Idi dan Indi (ditulis pula Ini), disebut Oky Andries dan Fatsi Anzani dalam Peradaban Rambut Nusantara (2019) dianggap pelopor pangkas rambut di Garut.
“Dari mereka, kemampuan pangkas rambut mengalir ke masyarakat Garut yang ingin belajar,” tulis Oky dan Fatsi.
Dalam buku Eksistensi Pangkas Rambut Asgar (Asli Garut) di Kota Bandung, 1950-2016 (2021), Dedi Junaedi menuturkan, pada 1933 Idi diminta mencukur rambut khusus untuk pasukan Belanda. Pria asal Desa Cinunuk, Wanaraja, Garut itu diberangkatkan dari Bandung ke Batavia. Idi diminta mencukur rambut pasukan Belanda, tulis Dedi, karena orang Belanda tak mau dipangkas rambutnya oleh orang Tionghoa.
“Selanjutnya, pada 1937 usaha pangkas rambut diturunkan kepada adik Idi, yakni Indi,” kata Dedi.
DI/TII dan migrasi orang-orang Garut
Menurut Moch. Khozin, penyebaran tukang cukur asli Garut alias asgar ke seluruh Indonesia, tak bisa dilepaskan dari konflik politik yang muncul di daerahnya, yakni pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) 1949-1962.
“Banyak orang Garut mengungsi ke berbagai daerah untuk menyelamatkan diri. Demi bertahan hidup, memilih menjadi tukang cukur,” tulis Khozin.
Pimpinan DI/TII adalah Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo. Ia memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 lantaran kecewa dengan pemerintah pusat. Republik lantas bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkapnya.
Sejarawan Nina Herlina Lubis, dkk dalam buku Sejarah Tatar Sunda Jilid 2 (2003) menulis, antara 1950-1957 DI/TII bergerak di seluruh Priangan. Pengaruh gerombolan ini paling kuat di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Wilayah DI/TII di Kabupaten Garut terpusat di sekitar Gunung Guntur, Balubur Limbangan, Cibatu, Malangbong, dan Gunung Cikuray.
Menurut Nina, dalam perkembangannya DI/TII tak cuma mengarahkan permusuhan ke tentara Indonesia di bawah Divisi Siliwangi, tetapi rakyat yang tak sepakat dengan perjuangan mereka juga ikut diserang. Tak memahami persoalan, sikap penduduk pun serba salah.
“Penduduk desa mungkin pula (bisa) diculik pasukan DI/TII sebagai pembalasan untuk kejahatan yang mereka lakukan menurut pandangan NII atau mereka dipaksa masuk TII,” tulis Nina, dkk.
“Sebaliknya, mereka mungkin dipaksa turut dalam gerakan pagar betis yang dilakukan tentara Siliwangi atau pegawai desa.”
Contoh serangan yang dilakukan DI/TII di Garut, tulis Dedi, yakni penyerbuan ke sebuah pesantren di Cipari, Wanaraja pada 1952. Antara 1953-1956, anggota DI/TII melakukan serangan intensif ke kampung-kampung sekitar Garut untuk mencari perbekalan dan anggota baru.
Nina mengatakan, akibat perampokan, penghancuran, dan penyerangan anggota DI/TII, warga banyak yang melarikan diri dari desanya atau diungsikan. Di beberapa desa yang dikuasai DI/TII, dalam catatan Nina, antara 1955-1962 jumlah pengungsi atau yang melarikan diri dari desanya rata-rata mencapai 209.355 orang per tahun.
Warga Garut yang meninggalkan kampung halamannya, merantau ke kota-kota terdekat, seperti Bandung dan Jakarta. Mereka lantas banyak yang mencari nafkah menjadi tukang cukur.
Dalam bukunya, Oky dan Fatsi menyinggung beberapa orang dari Garut yang lari karena DI/TII dan memilih jadi tukang cukur di perantauan. Misalnya, Muhammad Ridwan alias Ana, yang meninggalkan desanya di Banyuresmi, Garut ke Jakarta saat masih duduk di bangku SMP karena takut diculik gerombolan DI/TII.
“Ia memilih menjadi tukang cukur selesai SMA di Jakarta. Bekal pangkas rambut sudah dimiliki Ana sejak masih di Garut,” tulis Oky dan Fatsi.
Aman, salah seorang sesepuh tukang cukur asal Garut juga terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai petani, usai angkat kaki dari desanya karena DI/TII dan beralih profesi jadi pemangkas rambut di Jakarta.
Yang paling dikenal adalah Ero Saefulloh, pendiri Sawargi Barbershop di Bandung pada 1949. Menurut generasi ketiga dari Sawargi, Risyad Erawan—seperti dikutip dari buku karya Oky dan Fatsi—Ero sempat diculik anggota DI/TII. Ia berhasil kabur dan pergi ke Bandung.
“Perkenalannya dengan dunia pangkas rambut adalah bersama dokter asal Jepang. Kala itu, tahun 1940-an, Ero diminta belajar sampai akhirnya ia mendirikan Sawargi,” tulis Oky dan Fatsi.
Dedi menerangkan, orang Garut yang menjadi tukang cukur kebanyakan berasal dari Banyuresmi—daerah yang juga terdampak konflik DI/TII dan membuat warganya mengungsi. Warga Banyuresmi terutama laki-laki, kata Dedi, sejak kecil sudah diperkenalkan dengan dunia pangkas rambut.
“Mereka mengenal cara memangkas rambut dari keluarga, biasanya dari ayah, paman, kakak, atau lingkungannya,” tulis Dedi.
Di perantauan, para pemangkas rambut asli Garut itu awalnya berkeliling membawa kursi, gunting, cermin, dan pisau. Namun, lama kelamaan, mereka berdiam di satu tempat. Biasanya di bawah pohon rindang—pola yang sama seperti tukang cukur Tionghoa dan Madura di masa kolonial. Maka, dari sana lahirlah istilah tukang cukur di bawah pohon rindang atau DPR.
Mula 1960-an, tampaknya tukang cukur Garut sudah mulai dikenal. Sampai-sampai, dalam sidang perdana Kartosoewirjo yang berhasil ditangkap di daerah Majalaya, Bandung pada awal Juli 1962, seorang pengacara terdakwa bergurau menyangsikan identitasnya.
“Jangan sampai yang dihadirkan di sidang ini adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo pemimpin geromblan (DI/TII),” kata pengacara itu, seperti dikutip dari buku Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (2016).