close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti tengah berinteraksi dengan murid SDN 59 Kota Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (1/11/2024)./Foto Instagram Abdul Mu’ti/@abe_mukti
icon caption
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti tengah berinteraksi dengan murid SDN 59 Kota Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (1/11/2024)./Foto Instagram Abdul Mu’ti/@abe_mukti
Sosial dan Gaya Hidup - Pendidikan
Senin, 04 November 2024 06:07

Ujian nasional, sistem pendidikan problematik yang ingin dibangkitkan

Wacana ujian nasional ingin dihadirkan kembali menimbulkan pro dan kontra. Rekam jejak sistem pendidikan itu dinilai banyak kelemahan.
swipe

Di era pemerintahan baru, ada wacana ujian nasional diadakan kembali. Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menyampaikan, ada dalam posisi terbuka dan memberi kesempatan untuk membahas lebih jauh soal rencana itu. Menurutnya, rencana itu memang harus dikaji lebih lanjut supaya tak menimbulkan hal yang justru ditakuti para siswa.

“Kalau dulu UN (ujian nasional) itu yang membuat anak jadi stres. Jadi, setiap aturan apa pun pasti ada celah kelemahannya. Ini yang harus kita perbaiki,” kata Hetifah di Kompleks Parlemen, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Selasa (29/10).

Di samping itu, dia mengingatkan, jika ujian nasional kembali diterapkan perlu dilakukan pencegahan supaya kecurangan tidak terjadi dalam pelaksanaannya. Dia mengatakan, salah satu sisi baik ujian nasional adalah siswa jadi termotivasi dalam belajar.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti memang tengah mengkaji kebijakan pendidikan pada era pemerintahan sebelumnya. Dikutip dari Antara, pihaknya kini tengah menyerap aspirasi dari berbagai pihak soal kebijakan zonasi, kesejahteraan guru, termasuk ujian nasional.

Dia juga mengungkapkan, selain menampung masukan soal aspek teoretis dari para pakar pendidikan, aspirasi dari para penyelenggara kebijakan dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan masyarakat pun perlu dijadikan referensi.

Sebagai informasi, di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), persisnya tahun 2021, ujian nasional dihapus. Lalu diganti asesmen nasional. Asesmen tersebut tak menjadi penentu kelulusan siswa, tetapi guna mengukur kualitas pendidikan lewat asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

Pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah mengaku tidak ada masalah bila ujian nasional dihadirkan kembali. Selama kehadirannya sebagai pemetaan mutu sekolah, bukan syarat kelulusan semata.

“Nilai UN yang tinggi berarti guru dan fasilitasnya sudah bagus, yang tidak bagus berarti perlu dibantu peningkatan kompetensi guru dan penambahan fasilitas belajar,” kata Jejen kepada Alinea.id, Kamis (31/10).

Di sisi lain, pengamat pendidikan sekaligus Direktur Akademi Televisi Indonesia (ATVI)—yang menjadi Institut Media Digital Emtek (IMDE)—Totok Amin Soefijanto menjelaskan, jika ujian nasional dihadirkan kembali dengan kondisi kebocoran soal ujian, bisa menjadi program yang usang. Problem ujian nasional pun bukan cuma kebocoran soal ujian, tetapi juga stres yang dapat dialami siswa.

Totok pun mengatakan, tidak seharusnya kurikulum berganti, dengan ikut pula menghadirkan ujian nasional lagi. Kurikulum Merdeka yang dicanangkan Nadiem, kata Totok, adalah seluruh proses belajar dengan konten, instruksi, dan asesmen seperti ujian nasional.

“Nah, asesmen ini terserah mau kurikulum apa saja,” tutur Totok, Kamis (31/10).

Usang dan tidak relevan

Sementara itu, menurut Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Itje Chodidjah, kehadiran ujian nasional kembali sudah tidak relevan. Sebab, di masa sekarang yang paling dibutuhkan siswa adalah kematangan mental, serta kecakapan soft skill, seperti komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas yang tak dapat dikerjakan oleh mesin.

Itje menegaskan, yang harus dilakukan adalah evaluasi dan asesmen secara nasional terhadap kualitas dan lingkungan sekolah. Saat ini, kata dia, ada sejumlah mata pelajaran yang tidak dapat berdiri sendiri, sehingga kualitas tidak terbatas pada kecerdasan akademik semata.

“Jika ujian nasional dihadirkan kembali ke sekolah, maka ruang kelas kita akan dipenuhi oleh kegiatan melatih siswa menjawab soal ujian,” ucap Itje, Kamis (31/10).

“Apalagi yang diujikan hanya mata pelajaran tertentu saja yang dianggap penting. Untuk bertumbuh, anak memerlukan kecakapan yang dibawa oleh setiap mata pelajaran.”

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma menilai, menghadirkan kembali ujian nasional adalah keputusan paling bodoh. Sebab, selama ini dunia pendidikan sudah dirusak oleh ujian nasional. Apalagi belum pernah ada riset yang menunjukkan kalau ujian nasional bisa meningkatkan kualitas pendidikan.

Satria menerangkan, riset dari National Academy of Sciences (NAS) di Amerika Serikat menunjukkan, tes standar yang penuh “pertaruhan tinggi” macam ujian nasional dapat menyebabkan kerugian, baik bagi siswa maupun pendidikan itu sendiri. Riset NAS menunjukkan, ujian standar tidak seharusnya dijadikan sebagai penentu utama dalam menilai hasil pendidikan.

“UN jelas menghukum siswa dan guru atas hal yang di luar kuasa mereka. Hal ini mendorong mereka meninggalkan pembelajaran dan beralih kepada latihan soal,” ujar Satria, Kamis (31/10).

“Menyebabkan kurikulum sekolah menjadi terkorupsi dan pembelajaran menjadi tidak penting.”

Lebih lanjut, Satria mengatakan, ujian nasional juga sudah dianggap melanggar hukum atau ilegal. Dia mengingatkan, masyarakat pernah mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) yang meminta pemerintah meninjau ulang sistem ujian nasional.

MA kemudian mengetuk palu pada 14 September 2009 yang melarang ujian nasional digelar Departemen Pendidikan Nasional. Putusan MA tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 6 Desember 2007 dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 21 Mei 2007. Saat itu, PN Jakarta Pusat menyatakan pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional, terutama pada hak-hak atas pendidikan dan anak.

“Karena tidak terima dengan kekalahan tersebut, pemerintah kemudian mengajukan kasasi,” kata Satria.

“Ternyata (kasasi) ditolak oleh MA. Artinya, pemerintah harus tetap menghentikan ujian nasional tersebut. Anehnya, pemerintah masih saja ngotot menyelenggarakan UN sampai hari ini.”

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan