Kenapa wajib menonton film A Star is Born
"A Star Is Born" (2018) adalah mitos Hollywood yang terus diceritakan lintas zaman. Formulanya sama, sepasang kekasih yang menapaki jalan berbeda: pria yang menuju senjakala karier dan perempuan yang tengah melambung ke puncak.
Sebagai versi remake, sutradara sekaligus pemeran utama Jackson Maine (Bradley Cooper) memilih jadi musisi country. Kendati profesi aktor berbeda dengan tiga versi sebelumnya, yang rilis pada 1937, 1954, dan 1976, benang merah kisah tetap sama.
Jack seorang pemabuk fungsional yang terus diliputi kehampaan. Sebagai orang dengan masa lalu tak indah-indah amat, ditinggal mati ayah dan ibu, pria Arizona itu memilih musik sebagai jalan hidupnya. Lagu yang ia mainkan tak pernah biasa, gelap, dalam, dan terkadang pahit. Ia kerap bicara soal pulang, penyesalan, atau sekadar berdialog dengan Tuhan. Entah kesedihan atau keriaan yang membentuknya, tapi musik tak cukup jadi teman. Ia membutuhkan alkohol dan pil, hingga jadi candu.
Suatu hari, usai mengisi sebuah konser dan lelah dengan fans yang berebut berswafoto dengannya, ia kehabisan doping. Setelah berputar-putar di sebuah jalan timur kota, ia menemukan drag bar. Ini sebutan buat tempat minum sekaligus hiburan, yang lintas jender alias laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya, tak ada yang peduli.
Tak dinyana, bukan hanya lautan minuman keras yang menyambutnya di sana, tapi juga Ally (Lady Gaga), perempuan dengan suara manis, yang melantunkan “La Vie En Rose”. Seketika, penampilan Ally membius Jack.
Ally yang malam itu memoles wajah dengan alis selotip hitam layaknya drag queen, tampil sesuka hati: terlentang di atas meja, berjoget, dan melempar bunga ke para pengunjung. Ally seperti halnya para transgender di bar itu memang bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa ada penghakiman saat bernyanyi di sana. Bagian ini memang menyimpan pesan tersendiri soal LGBT. Bisa jadi, ini permintaan pribadi Gaga, karena faktanya, di kehidupan nyata, ia banyak bersinggungan dengan kelompok tersebut.
Kisah yang mulanya bergerak dengan pelan dan hati-hati, lantas bergulir bebas. “Aku suka menulis lagu, tapi lebih baik tak menyanyikannya. Sebab, orang menyukai suaraku tapi bukan hidungku yang besar,” begitu curhat Ally pada Jack. Bukan tanpa alasan, mengapa kemudian banyak musisi di blantika musik dunia yang memilih berjualan sensasi atau penampilan, alih-alih menonjolkan suara mereka yang biasa saja.
Namun, Ally dan Jack menolaknya. Bagi mereka, musik adalah pelarian yang hanya bisa sempurna jika kamu bisa menyanyi dengan baik dan lepas, tanpa bayang-bayang tangan industri. Musik adalah saat di mana kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Itulah yang berusaha dihayati Jack. Namun, Ally yang awalnya enggan menghamba pada industri, terpaksa menyerah. Setelah sering diajak menyumbang lagu di konser-konser musik bareng Jack, Ally dilirik oleh manajer pencetak bintang Rez Gavron (Refi Gavron).
Visi pribadinya lantas dicekik habis-habisan oleh industri musik. Ia harus berganti warna rambut coklatnya jadi merah keemasan yang menyala. Tampil dengan baju meriah khas bintang, lengkap dengan kawanan penari. Ia toh akhirnya tunduk saja.
Di sini saya merasa ada dua catatan penting, pertama industri keartisan kadang memang sekeji itu hingga membuatmu terasing dengan diri sendiri. Kedua, saya kesal dan entah kenapa baru sadar, Ally alih-alih tangguh, justru menjelma perempuan subordinat dalam relasi patronase. Baik relasi dengan manajer gilanya, sang ayah yang terasa pas jadi social climber sehingga menuntut Ally tampil sempurna. Yang lebih mengesalkan, Ally juga terjebak dalam industri yang tak jarang terasa sangat maskulin.
Hanya Jack yang menurut saya paling manusiawi, atau setidaknya mendekati. Bahwa di balik penampilannya yang garang, rambut gondrong dengan brewok urakan dan suara baritonnya, ia adalah pribadi yang rapuh. Pun romantis. Bagian saat Jack bergulingan dengan anjing peliharaan mereka Charlie, merelakan waktu untuk menemani istrinya mendaki tangga karier, membuatkan lagu dengan lirik dalam, berpura-pura baik-baik saja saat Ally yang sudah mashur berpamitan dan mencium bibirnya, atau saat ia memanggil Ally hanya untuk melihat wajahnya sekali lagi, menjadi bagian yang membuat saya meleleh.
Ia menangis saat bersedih. Ia pipis di celana dan mabuk parah di penghargaan Grammy. Mungkin tertekan dengan karier tragisnya hingga berakhir sebagai pemain gitar, sedang pasangannya justru sukses meraih piala Grammy. Ia pun berusaha lepas dari kecanduan alkohol dengan ikut komunitas dan rehabilitasi selama berbulan-bulan demi menjalani kehidupan normal. Menurut saya, ini bisa terjadi pada siapa saja dan sangat manusiawi.
Pilihan tepat menggandeng Gaga
Cooper membuat pilihan tepat mengajak Gaga main di film ini. Sebelumnya ada beberapa artis yang duluan tenar sempat diwacanakan mengisi posisi ini seperti Selena Gomez, Beyonce, hingga Jennifer Lopez. Mendandani Gaga yang biasa tampil aneh dengan rok daging merah atau bra yang bisa memercikkan api, adalah pilihan sulit. Namun, di debut penyutradaraan pertamanya ini, Cooper berhasil membuat sosok Ally jadi tampak asli. Autentik.
New York Times menulis, menjodohkan Gaga dan Cooper seperti menjodohkan dua orang yang memang dari awal diciptakan untuk menjadi pasangan yang saling mengisi. Kamu akan bisa melihat dua orang jatuh cinta, seks yang panas. Keduanya tak hanya bercakap-cakap lewat mulut, tapi mata dan bahasa tubuh lainnya. Kemistri keduanya tak terbantahkan, seperti melihat Gosling dan Emma, atau Brad Pitt dan Angelina Jolie.
Lady Gaga pun tampil sangat prima. Kepolosan seorang biasa yang akan menjajaki dunia keartisan berjalan mulus dan alami. Jangan lupakan aksinya di atas panggung, yang membuat saya bertanya, “Ini beneran Lady Gaga? Beda banget.”
Oya, beberapa aksi sinematik konser mereka berdua mengambil latar di Coachella, pagelaran konser musik dunia di Amerika yang menyatukan berbagai bintang. Namun, jangan khawatir, Cooper baik sekali karena tak mengeksploitasi ruang besar di konser itu. Ia justru menyelami ruang kecil si Jack, yang tak hanya traumatis tapi juga melodramatis. Membuat kita mudah bersimpati pada Jack, meski dia adalah pecandu alkohol yang ngompol dan mempermalukan istrinya di muka umum.
Sebaliknya, Gaga sukses menuntun saya ikut menyelami emosi sebagai perempuan yang rawan namun dipaksa kuat. Ia tak seperti Barbra Streisand di film 1976 yang tampil bak diva dan seolah-olah polos. Gaga hadir dengan kegamangan, kesedihan, sekaligus ambisi jadi satu.
Cooper sendiri sengaja menambahkan sejumlah elemen psikologis tambahan, lewat pendalaman karakter aktor laki-laki dan perempuan. Saya merasa harus berterima kasih pula pada penulis naskah Eric Roth (Forrest Gump, The Curious Case of Benjamin Button) dan Will Fetters, yang membuat saya menganggap Judy Garland di film remake “A Star is Born” (1954) pun kalah dari Gaga.
Memang, di beberapa bagian, kadang Cooper berambisi menjelaskan terlalu banyak tentang alasan ia kecanduan alkohol. Tak cukup menjelaskan lewat latar profesinya saja yang melelahkan menjadi bintang yang harus siap kapan jadi objek foto para fans, ketenaran yang menuntutnya untuk tampil sempurna depan publik. Namun, Jack merasa harus menjelaskan ke Ally lewat dialog yang menurut saya tak terlalu perlu.
Terakhir, ada 34 lagu dalam film ini yang enak didengarkan. Tak tanggung-tanggung, Cooper melantunkan sendiri lagu-lagu itu karena Gaga sangat anti-lipsing. Coba dengarkan Shallow, suara magis Gaga di I’ll Never Love Again, Look What I’ve Found, dan lagu lain yang membuatmu akan makin dimanjakan di depan layar bioskop.
Sajian heartbreaking dengan kualitas sinematik yang apik.