close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sagu. Foto ilustrasi Wikipedia
icon caption
Sagu. Foto ilustrasi Wikipedia
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 26 November 2022 12:12

Upaya menjaga pangan lokal tetap ada di meja makan

Beban itu pun mendorong Adriana dan Monic untuk membuat ‘CUYAM’ Papua sebagai produk tradisional yang dipasarkan secara komersial.
swipe

Fenomena pangan lokal dalam budaya generasi milenial rupanya tidak hanya tergerus karena lingkup perkotaan, namun hingga pedesaan. Sejumlah pangan lokal atau tradisional akhirnya masuk dalam tahapan untuk tergerus secara perlahan.

Beban itu pun mendorong Adriana dan Monic untuk membuat ‘CUYAM’ Papua sebagai produk tradisional yang dipasarkan secara komersial. Bukan sekedar mencari keuntungan, namun juga untuk mengembalikan sagu sebagai tuan dalam tanah kampungnya sendiri.

“Kondisinya saat ini kita tidak makan sagu sebenarnya, oleh karena itu kita coba kembalikan,” kata Adriana dalam diskusi Konsorsium Pangan Lokal: LSDAYAK-21, ELPAM & TFLC, dan WWF Indonesia, Sabtu (26/11).

Kerinduan akan sagu supaya hadir dalam meja makan tiap keluarga bukan sebuah cita-cita tinggi sebenarnya di Bumi Cendrawasih. Namun, kota besar seperti Merauke, kini dinobatkan sebagai lumbung padi, rupanya dapat menggeser menu meja makan.

Beras menjadi nasi, adalah situasi yang kini lazim terlihat dalam kudapan di Papua. Sayangnya, sagu semakin tergeser dengan makanan nasional lainnya, seakan identitas Papua juga luntur.

“Kita ingin sagu tetap disajikan di meja makan,” kata Monic dalam kesempatan serupa.

Monic dan Adriana sempat menjajakan diri ke kampung-kampung ketika menemukan fenomena tersebut. Namun, di saat bersamaan, mereka masih melihat adanya pembuatan sagu dengan daun.

“Suatu waktu kita ke kampung, ada orang bakar sagu dengan daun, ini jarang sekali, kita terpikirkan untuk membuat seperti ini,” ujar Monic.

Akhirnya keduanya sepakat untuk membuat sagu dengan berbagai macam variasi. Seperti keju atau coklat, tentu harapannya bisa sampai merambah anak muda atau generasi milenial dewasa ini.

Tidak sampai situ saja, keduanya juga tengah melakukan pendekatan kepada sejumlah barista kopi yang menjamur di Merauke. Banyak cafe yang berdiri, dipandang sebagai batu loncatan bagi sagu supaya bisa menjadi bagian dari menu kekinian. 

“Supaya bisa menularkan virus suka sagu,” ucapnya Monic.

Terkait dengan hal itu, Culinary Researcher NUSA Indonesia Gastronomy, Meilati Batubara mengatakan, pangan tradisional yang dianggap kampungan justru tengah ditiru oleh orang-orang lainnya di luar negeri. Padahal di Indonesia, membawa hasil panen dari sawah ladang ke meja makan juga hal yang lumrah.

“Budaya kita farm to table, di luar negeri lagi seperti itu, kita sudah terjadi lama. Harusnya ini jangan lepas, walaupun ada trend baru,” kata Mei dalam kesempatan serupa.

Maka dari itu, gerakan seperti ‘CUYAM’ Papua harus digalakkan lebih dan tidak hanya di Bumi Cendrawasih. Semua daerah di Indonesia perlu menjajaki hal serupa.

Bila sudah, diharapkan gerakan ini tidak berhenti begitu saja namun terus dilakukan tidak jemu. Sebab, banyak gerakan yang sudah dibuat apalagi melalui narasi dan menjadi tekanan bagi pemerintah, hingga melahirkan regulasi.

“Gerakan yang dilakukan dengan cukup kuat sehingga menjadi tekanan bagi pemerintah untuk membuat regulasinya,” ujar Mei.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan